The Alchemists: Cinta Abadi

Khayalan London



Khayalan London

3Mereka makan malam dalam diam tetapi hangat. London tahu L bukan gadis yang banyak bicara. Dulu entah kenapa ia menganggap gadis-gadis periang dan banyak bicara tampak sangat menarik, tetapi sekarang ia sangat senang menikmati makan malam dalam keheningan bersama L.     

Gadis itu tidak bicara kalau tidak perlu, sehingga setiap kata-kata yang keluar dari bibirnya menjadi berharga dan tidak ada yang sia-sia. Kalau ia sangat senang ia akan mengatakannya secukupnya, kalau ia marah atau sedih juga seperti itu.     

Seingat London, ia jarang melihat L bergosip tentang sesama artis atau mengeluhkan ini itu. Hal tesebut kadang membuatnya penasaran karena ia ingin mengetahui apa sebenarnya isi pikiran gadis itu.     

Ugh... sayangnya, walau bagaimanapun kekayaan yang dimilikinya, London tetap harus pasrah menerima nasib seperti semua laki-laki di dunia ini yang ditakdirkan tidak akan pernah mengerti wanita. Tidak ada satu pun alat atau program yang mampu menerjemahkan isi hati wanita yang dapat dibeli pria.     

Adiknya, Rune, telah menegaskan bahwa mesin atau metode untuk menerjemahkan bahasa ataupun isi  pikiran wanita telah berusaha diciptakan sejak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun lalu, tetapi tidak ada yang berhasil. Sehingga mereka dengan sadar tidak melanjutkan upaya konyol tersebut dan menerima kenyataan bahwa wanita memang sulit dimengerti.     

Saat mereka makan malam dengan diterangi sinar lilin, London berkali-kali mencuri pandang untuk melihat wajah L dan berusaha menebak apa yang ada di pikirannya.     

Sayangnya ia tidak pernah tahu.     

"Aku heran... kenapa sudah lama sekali tidak turun hujan..." kata L tiba-tiba. "Aku rindu mencium bau wangi tanah saat pertama kali disentuh air hujan."     

"Eh...? Maksudmu petrichor?" tanya London. "Bau yang timbul saat hujan baru turun itu bukan berasal dari tanah, melainkan reaksi bakteri petrichor terhadap air hujan."     

"Aku tahu," balas L. "Aku hanya rindu hujan. Sudah lama sekali. Aku juga berharap hujan akan segera turun agar bunga-bunga yang ada di taman rumah baru kita bisa tumbuh dengan baik."     

London baru ingat bahwa ia memerintahkan Jan untuk mengatur cuaca agar di mana pun L berada hujan tidak boleh turun. Ia masih ingat betapa L sangat ketakutan ketika mendengar bunyi petir waktu itu...     

Tanpa sadar ia batuk-batuk karena hampir tersedak makanannya. Kalau terus begini, L bisa curiga, pikirnya. Kalau sampai ia sama sekali tidak mengalami hujan selama setahun, gadis itu pasti bingung.     

"Aku yakin besok pasti turun hujan," kata London sambil meneguk jus jeruknya.     

"Kenapa kau bisa yakin?" tanya L. "Aku barusan memeriksa ramalan cuaca dan seminggu ke depan akan kering sekali."     

Aku yakin karena aku bisa mengendalikan hujan, kata London dalam hati.     

"Uhm.. aku hanya sekadar menebak saja," jawab London santai. "Kenapa? Kau mau taruhan? Kalau besok benar-benar turun hujan, aku menang dan berhak memperoleh hadiah. Kalau besok tidak hujan, berarti kau yang menang."     

L hanya mendengus melihat betapa London sangat percaya diri. Ia lebih percaya pada teknologi dan prakiraan cuaca dari para ahli. Lagipula sudah lama sekali tidak hujan.     

"Baik, kita bisa taruhan. Kalau aku menang aku dapat apa?" tanya L.     

"Hmm.. kalau kau menang, aku bersedia mengabdi kepadamu seumur hidupku..." jawab London sambil nyengir.      

"Ish... " L memutar bola matanya tetapi tidak protes. "Kalau kau yang menang?"     

"Uhm.... kalau aku menang, kau mau menjadi istriku?" London buru-buru meralat perkataannya dan berdeham ketika melihat L melotot seram sekali. Ia ingat L memberinya waktu tiga tahun, ia tidak boleh memaksakan keberuntungannya dan mengambil risiko L akan berubah pikiran. "Uhm... kalau aku menang, aku dapat ciuman."     

Sepertinya ciuman adalah hadiah yang masuk akal  bagi L, karena ia hanya mendengus, tetapi tidak membantah.     

Dalam hati, London bersorak gembira. Kalau tidak ada L di sebelahnya ia pasti telah menari girang membayangkan besok ia akan dapat mencium gadis judes yang membuatnya jatuh cinta setengah mati itu. Ia mengambil ponselnya dan buru-buru mengetik pesan untuk Jan.     

[Besok, tolong kirim hujan ke Grunewald. Gerimis saja sudah cukup, untuk menyiram bunga-bunga di taman kami. Jangan ada petir.]     

Ia buru-buru menyimpan ponselnya ketika L menoleh ke arahnya dan berusaha melihat apa yang sedang ia lakukan.     

"Kau kirim SMS ke siapa?" tanya L sambil mengerutkan keningnya. "Apa pesannya luar biasa penting sampai kau mesti mengeluarkan ponsel saat sedang makan malam denganku?"     

London tahu tindakannya barusan bisa dianggap tidak sopan, karena ia menggunakan ponselnya saat sedang makan, apalagi makan malam bersama orang lain. Tetapi ia juga tahu, kalau tidak buru-buru mengirim pesan tersebut kepada Jan, besok ia bisa melupakan hal sepenting itu.     

Ia tak mau mengambil risiko kalah taruhan dan kehilangan kesempatan untuk mencium L. Matanya tertumbuk pada bibir merah jambu L yang sekarang sedang merengut dan matanya menatap London dengan tajam. Ahhh... besok ia akan dapat menikmati bibir seksi itu.     

"Ma.. maafkan aku, tadi ada keperluan mendesak. Aku takut lupa," kata London agak tergagap-gagap. Entah kenapa pandangan mata L seakan menembus matanya hingga ke dalam otak dan membaca pikirannya. Ia takut sekali L akan mengetahui bahwa ia berbohong.     

Duh.. bagaimana ini? Ia sudah tahu bahwa L sangat benci dibohongi, tetapi dari hari ke hari, London justru menumpuk kebohongan kepada gadis itu.     

Mulai dari identitasnya, keluarganya, fasilitas di rumah sakit, rumah baru yang megah, barang-barang mahal di rumah yang katanya diperoleh dari toko loak, seperti piano Stenway langkanya dan lampu kristal Swarovski di ruang tamu... dan sekarang tentang hujan.     

Ia sungguh berharap dirinya tidak perlu berbohong lagi begitu mereka tinggal bersama di rumah baru. Pelan-pelan ia akan mencari waktu dan cara yang tepat untuk mulai membuka diri dan menceritakan semua yang terjadi kepada L.     

Atau... ia akan menunggu untuk berterus-terang dan membuka semua kebohongannya ke depan L saat Lily sudah cukup umur untuk membelanya dari Mami L.      

Ya... ia bahkan sudah dapat membayangkan adegan itu di kepalanya. Ia akan meminta maaf kepada L dan mengaku dosa. Saat L mengamuk dan hendak memarahinya, London akan berlindung di balik tubuh Lily yang sudah berumur tiga tahun dan Lily akan membujuk ibunya agar tidak memarahi ayah.     

L tidak akan tega karena Lily yang lucu dan menggemaskan akan membuat hatinya luluh, dan mau tidak mau ia pun akan terpaksa memaafkan London.     

Lalu London akan melamar L dengan bunga, cincin berlian yang sangat besar, diiringi orkestra yang keren, dan kemudian L akan menerima lamarannya, karena London berhasil membuktikan bahwa ia memiliki penghasilan lebih besar dari L.     

Lalu mereka akan menikah, dan akhirnya hidup bahagia selama-lamanya.     

Ha ha ha....     

Khayalan indahnya buyar ketika L memukul bahunya. "Heii... aku tanya, kau sudah selesai makan atau belum? Aku mau mencuci piring."     

"Eh... iya, sudah." London baru sadar dari tadi L melambai-lambaikan tangan berusaha menarik perhatiannya, tetapi ia terlalu sibuk berkhayal akan masa depan mereka sehingga tidak memperhatikan. Akhirnya gadis itu terpaksa memukulnya. Ia buru-buru mengangkat piring bekas makan malam mereka ke bak cuci. "Aku saja yang cuci piring. Kau beristirahat yaaa..."     

L menyipitkan matanya menatap London dengan curiga. Ia penasaran apa sebenarnya yang dipikirkan London sehingga wajahnya tampak demikian bahagia. Ia ingat pria itu tersenyum-senyum setelah mengirim SMS kepada seseorang.     

Apakah ia mengirim SMS kepada perempuan lain? Apakah pembicaraan mereka sangat menyenangkan sehingga London menjadi melamun dan tersenyum-senyum sendiri? Hati L mulai merasa tidak nyaman.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.