The Alchemists: Cinta Abadi

Jangan Tidak Konsisten



Jangan Tidak Konsisten

1Setelah hanya tinggal mereka berdua di kamar perawatan, London kembali duduk di tepi tempat tidur dan merapikan selimut L. Semua tindak-tanduknya tidak luput dari pengawasan L sedari tadi.     

"Pamanku sedang menyiapkan obat untukmu, semoga beberapa jam lagi kondisimu akan membaik," katanya sambil menggenggam tangan L.     

"Pamanmu?" L tampak mengerutkan kening. Ia telah bertemu banyak dokter seumur hidupnya dan tidak banyak yang dapat mereka lakukan.     

Hanya dua kemungkinan baginya untuk dapat pulih sepenuhnya, yaitu transplantasi jantung dari donor manusia yang sudah meninggal, atau transplantasi jantung sintetis.     

Hingga saat ini belum ada donor manusia yang cocok dan rankingnya untuk mendapatkan organ masih sangat jauh di bawah, sementara ia masih tidak berani menggunakan jantung sintetis karena masih banyak kontroversi seputar keamanannya.     

L sudah bekerja keras untuk ada di posisinya sekarang, ia tidak mau mati begitu saja karena jantung buatan yang tidak aman.     

"Pamanku ahli obat-obatan. Nanti kau akan bertemu dengannya," London menjelaskan.     

Tadinya ia hendak menceritakan tentang ayahnya yang juga seorang dokter, tetapi ia takut L akan kaget dan marah-marah lagi karena menganggap ia berbohong. Karenanya ia memutuskan untuk merahasiakan tentang ayahnya untuk sementara waktu.     

Ia juga sengaja meminta ayahnya tidak menampakkan diri di sekitar L karena ia akan kesulitan menjelaskan siapa Caspar kepada gadis itu, sebab Caspar tampak mirip sekali dengan dirinya. Ia dan ayahnya memiliki wajah yang mirip, rambut yang sama-sama hitam, mata biru cemerlang, bahkan lesung pipi yang sama. Ayahnya hanya sedikit saja lebih tinggi darinya.     

Ibunya pun disuruh menghindar dulu karena ia takut L masih marah kalau melihat wanita yang dikiranya memiliki hubungan spesial dengan London itu berkeliaran di rumah sakit. Setelah ia mengetahui kondisi kesehatan L, London sama sekali tidak mau mengambil risiko dan membuat gadis itu marah atau sedih.     

Ia juga menyesali keisengannya dan ibunya dua hari  yang lalu itu. Semua yang terjadi bagaikan efek dari riak air, di mana satu peristiwa memengaruhi peristiwa berikutnya.     

Kalau ia tidak membuat L marah karena cemburu, gadis itu tidak akan kabur kembali ke apartemen mereka, yang membuat London buru-buru kembali ke Jerman, dan diikuti dengan peristiwa pertengkaran mereka akibat Danny, lalu L menemukan semua kamera yang dipasangnya... sehingga akhirnya gadis itu jatuh sakit dan kini terpaksa harus melahirkan lebih cepat...     

Ugh...      

"Apa yang kau pikirkan?"  tanya L tiba-tiba. Ia memperhatikan lingkar hitam di sekeliling mata pemuda itu, dan baru menyadari London sudah dua hari tidak memakai kacamatanya. "Kau bisa melihat tanpa kacamatamu?"     

London hendak menjawab, 'aku memakai lensa kontak' ketika ia sadar L tidak suka dibohongi. Akhirnya ia hanya menggaruk kepalanya dan mengangguk.     

"Kacamataku ketinggalan... aku tak bisa menemukannya," ia menjawab jujur. Sesaat kemudian  ia terpikir sesuatu. "Ngomong-ngomong, kau lebih suka aku pakai kacamata atau tidak?"     

L kembali merengut. "Memang pendapatku penting? Kau pakai kacamata atau tidak, itu bukan urusanku."     

Saat itu rasanya London ingin sekali mencubit L. Gadis itu, kenapa sih tidak bisa berlama-lama bersikap manis kepadanya? Sebentar saja pasti judesnya sudah kembali.     

"Hmm... buatku penting." London berusaha menahan diri dan tidak mempedulikan kejudesan L. "Kalau menurutmu aku tampak lebih baik  tanpa kacamata, aku tidak akan memakainya lagi."     

L akhirnya menyipitkan mata mengamati London selama beberapa saat. Ia kemudian memegang wajah pemuda itu dan memutarnya ke kiri dan ke kanan, lalu mengangguk puas. "Tidak usah pakai kacamata kalau begitu. Begini lebih bagus."     

London tersenyum dan mengangguk. "Baiklah.. aku tidak akan memakai kacamata lagi."     

L hanya geleng-geleng melihat kesabaran London. Ia sengaja selalu bersikap ketus kepada pemuda itu, tetapi entah kenapa rasanya tidak pernah mempan. Pemuda itu selalu bersikap seolah L tidak pernah bersikap menyebalkan.     

Akhirnya L melipat kedua tangannya di dada dan mengamati London dengan penuh perhatian. Ia sama sekali tidak malu menatap seorang laki-laki dengan pandangan menyelidik seperti itu.     

"Kenapa kau melihatku begitu?" Malah London yang menjadi canggung karena entah kenapa ditatap seperti itu oleh L membuatnya merasa seolah ditelanjangi. Tanpa sadar ia melipat tangannya di dada, seolah melindungi dirinya agar tidak ditelanjangi.     

"Hmm... kenapa sih pendapatku penting bagimu?" tanya L tegas. "Aku ini kan bukan siapa-siapamu."     

"Kau salah, kau adalah ibu dari Lily, tentu saja kau itu siapa-siapaku," jawab London cepat. "Maka dari itu pendapatmu penting."     

"Tapi kan aku sudah bilang begitu dia lahir aku akan pergi. Aku tidak ingin menyakiti hatinya kalau sampai ia tahu ibunya meninggalkannya... Lebih baik kalau ia tidak pernah tahu tentang aku dan apa yang terjadi di antara kita." L terus menatap London dengan tidak berkedip. "Kalau Finland memang sangat menyayangimu, ia tentu tidak keberatan mengaku sebagai ibu Lily agar anak ini tidak tersakiti..."     

Ugh... kenapa pembahasan kembali ke topik ini? pikir London. Ia sangat lelah. Selain ia belum tidur dan belum makan, kepalanya tidak dapat menerima jika mereka bertengkar lagi tentang hal itu.     

London menarik napas panjang dan mengangkat tangannya, memberi tanda agar L menghentikan kata-katanya.     

"L... kumohon... Bisakah kita menunda pembicaraan tentang itu selama dua hari saja? Aku tidak sanggup membahas topik itu lagi. Tolong, beri aku waktu dua hari ini saja, sampai Lily lahir dan kesehatanmu pulih... Setelah itu, apa pun yang kau inginkan akan aku kabulkan. Aku akan mengikuti semua kata-katamu."     

L akhirnya mengangguk pelan. "Maafkan aku."     

Mereka lalu terdiam. Suasana sudah menjadi rusak karena topik satu itu. London akhirnya memalingkan kepalanya ke arah pintu, tidak melihat L lagi. Ia takut kesabarannya akan habis kalau ia mengingat bahwa barusan L masih bersikeras untuk pergi.     

Setelah sepuluh menit tidak ada yang berkata-kata, akhirnya L menyentuh bahunya.     

"Ada apa?" tanya London tanpa menoleh.     

"Di mana Danny... ?" tanya gadis itu. "Apakah dia tidak menghubungiku? Dia pasti kuatir."     

Ugh... mendengar L menyebut nama laki-laki lain di depannya, London akhirnya benar-benar tidak tahan lagi. Ia lalu bangkit berdiri dan berjalan ke arah pintu.     

"Aku tidak tahu. Aku belum bertemu dia dari kemarin. Aku langsung membawamu ke sini dan tidak kemana-mana lagi," jawabnya ketus.     

Ia tidak berbohong. Ia memang tidak tahu di mana Danny Swan berada. Jan yang tahu, dan London sengaja tidak menanyakannya kepada Jan.     

"Eh, kau mau kemana?" tanya L dengan suara cemas ketika ia menyadari London akan meninggalkannya. "Tunggu dulu...!"     

"Aku mau tidur..." London menjawab sekenanya. "Aku belum tidur dari kemarin."     

L segera ingat lingkaran hitam di sekeliling mata London dan ia baru menyadari bahwa semalaman ternyata pemuda itu tidak tidur, walaupun ia berbaring di sampingnya. Apakah London tidak bisa tidur karena terlalu  kuatir akan dirinya?     

Dada L menjadi sesak karena dipenuhi rasa bersalah.     

Ia telah menyusahkan pemuda ini secara berlebihan, tetapi dari tadi London malah mengatakan bahwa L tidak menyusahkan dan mengurusi L adalah hal yang menyenangkan.     

"Kenapa mesti keluar untuk tidur?" tanya L. Ia lalu buru-buru menambahkan, "Di sini kan ada tempat tidur..."     

Kata-katanya membuat London tertegun. Ia memutar tubuhnya dan menatap L dengan pandangan antara bingung, lelah, dan sedih.     

"L... kumohon, jangan tidak konsisten begini kepadaku... Aku bisa gila..." katanya lirih. "Kau kadang bersikap sangat manis hingga membuatku mengira kau juga mencintaiku. Kalau kau begitu, kau membuat hatiku terbang ke langit ketujuh. Tetapi kemudian kau akan bersikap dingin dan menyebalkan... dan mengatakan hal-hal yang menyakitkan hati... sehingga aku tidak tahu bagaimana harus bersikap..."     

L menggigit bibirnya.     

Ia mengakui bahwa London memang benar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.