The Alchemists: Cinta Abadi

Mempersiapkan Lamaran



Mempersiapkan Lamaran

1Ketika melihat Aleksis menatapnya dengan pandangan tajam, barulah London menyadari kesalahannya. Ia memang terlalu asal bicara, tidak mengingat kondisi Alaric yang sensitif mengenai anaknya.     

Sekarang kalau dipikir-pikir, London sendiri akan marah kalau ia sedang menggendong Lily dan tiba-tiba orang dengan iseng menyebut Lily mirip tetangganya di Grunewald. Ahh... benar juga.     

"Aleksis... tolong sampaikan kepada Alaric kalau aku dan mulut besarku meminta maaf. Aku tadi asal bicara. Aku tidak akan mengulanginya," kata London dengan sungguh-sungguh. "Ngomong-ngomong bagaimana kabar Ireland dan Scotland? Mereka sudah bisa apa saja?"     

Barulah Aleksis tersenyum. Ia memamerkan Scotland yang ada dalam gendongannya dan membelai kepala anaknya dengan penuh kasih sayang.     

"Scotland dan Ireland sudah bisa tertawa dan tersenyum, cantik sekali. Kami bisa lupa waktu bermain dengan mereka berdua saja."     

"Ahh... menyenangkan sekali." London menjadi terpekur mendengar kata-kata kakaknya. Ia ingin sekali mendengar Lily tertawa dan memeluknya seperti yang sekarang dilakukan Aleksis dan Alaric kepada anak-anak mereka. "Hari ini penutup mata Lily baru dilepas, matanya sudah tidak sensitif terhadap cahaya. Aku ingin sekali memeluknya..."     

Aleksis ikut sedih melihat ekspresi adiknya yang murung. "Itu kemajuan bagus kok. Sebentar lagi pasti Lily akan sehat. Waktu berjalan cepat sekali kalau kau punya anak, sungguh."     

London mengangguk membenarkan. "Nanti kalau Lily sudah sehat, aku akan membawanya ke Singapura, agar ia bisa berkenalan dengan kedua sepupunya."     

"Kami berencana ke Jerman dua bulan lagi... Kita bisa bertemu di sana juga," balas Aleksis. Ia kemudian duduk di sofa, di samping suaminya yang kini tampak sudah tidak marah lagi. Aleksis menepuk-nepuk tangan Alaric dengan lembut. Ia menoleh ke arah Alaric sambil membahas rencana penerbangan mereka kembali ke Eropa. "Kita akan ke Eropa untuk bertemu anak-anak angkat Alaric dan memberikan ramuan keabadian kepada mereka, kan?"     

Alaric mengangguk.     

"Dua bulan lagi, anak-anak sudah akan cukup besar. Perjalanan jauh dapat terasa nyaman untuk mereka," balasnya.     

"Oh.. bagus sekali! Kabari aku jadwal pastinya biar aku bisa menyambut kalian di Eropa," tukas London dengan gembira. "Aku sangat ingin memperkenalkan L dan Lily kepada kalian."     

"Tentu saja." Aleksis mengangguk. "Ngomong-ngomong, apa tadi yang ingin kau tanyakan saat hendak menghubungi Alaric lewat Virconnect?"     

London seketika merasa tidak enak. Tujuannya menghubungi Alaric memang hendak menanyakan tentang informasi pembunuhan keluarga L, tetapi tadi ia malah menyinggung perasaan kakak iparnya. Ia merasa malu kalau sekarang merepotkannya.     

"Apa ini ada hubungannya dengan penyanyi itu?" tanya Alaric sambil menatap London dengan tajam.     

Karena ditanya langsung secara blak-blakan, akhirnya London tidak dapat berkutik. Dengan mengesampingkan rasa sungkan akhirnya ia menceritakan semua yang terjadi kepada Alaric dan Aleksis dan kemudian meminta pendapat mereka.     

"Hmm... pembunuhan yang dilakukan secara terbuka begitu biasanya hanya dilakukan mafia, atau orang yang sengaja ingin menebar ketakutan. Kami dulu selalu melakukannya secara halus. Kebanyakan korban kami dibuat seolah terkena kecelakaan atau bunuh diri." Alaric kemudian mengangkat bahu, "Pembunuhan keluarga hakim yang terbuka seperti ini, kemungkinan dilakukan orang amatir atau mereka sengaja melakukannya terang-terangan. Dugaanku adalah mafia."     

"Hmm... aku akan menyediki apakah ayah L pernah menangani kasus berkaitan dengan mafia semasa hidupnya." London mengangguk-angguk.     

"Kau bisa menghubungi Mischa untuk meminta bantuan soal itu. Koneksinya di dunia hitam masih banyak," kata Alaric. "Dia akan senang membantu."     

"Baiklah, terima kasih..." London mengangguk. "Dan... maaf untuk yang tadi."     

Alaric hanya mendengus pelan.      

Hubungan Virconnect kemudian dimatikan.     

Di Singapura, Aleksis hanya bisa geleng-geleng melihat sikap suaminya.      

"Kau tahu, orang-orang akan mengeluarkan komentar seperti itu tanpa kita dapat mencegahnya. Alangkah lebih baiknya bersikap lebih santai mengenai anak-anak..." komentar Aleksis. "Kau kan tidak mungkin membunuh orang-orang yang menyinggung Ireland dan Scotland?"     

"Kenapa tidak mungkin?" balas Alaric dengan suara datar.      

Aleksis hanya tertawa. Ia tahu suaminya bercanda dengan gayanya yang selalu terlihat serius itu. "Hush... anak-anak tidak boleh dengar kau bicara tentang membunuh orang. Ayo taruh Scotland di tempat tidurnya. Sekarang giliranmu menyiapkan air mandi anak-anak."      

Alaric mengangguk. Ia bergerak sangat perlahan dan menaruh bayinya di keranjang bayi yang ada di samping Aleksis lalu mencium istrinya dan bergerak ke kamar mandi.     

***     

Setelah mendengarkan sedikit penjelasan Alaric, London memutuskan untuk menghubungi Mischa. Seperti biasa, ia tidak akan meminta Jan untuk melakukan tugas ini, karena berhubungan dengan mantan anggota Rhionen Assassin. Ia tahu Jan masih menyimpan kebencian kepada mereka. Karena itulah London sengaja mengontak Mischa sendiri.     

"Hei... kebetulan, aku ada acara konferensi di Berlin minggu depan. Kita bisa bertemu untuk membahasnya. Aku akan cari tahu dari koneksiku di Paris," kata Mischa santai. Ia belum pernah bertemu London secara resmi tetapi Alaric telah memberitahunya tentang keperluan adik iparnya itu dan Mischa dengan sigap bersedia membantu.     

"Terima kasih banyak," London mengangguk. "Aku akan sangat senang menjamumu kalau kau datang kemari. Sampai jumpa minggu depan."     

Mischa melambai dan mengakhiri hubungan.     

Ugh... London sungguh berharap akan segera menemukan titik terang dari kasus pembunuhan keluarga L. Ia ingin bisa menyenangkan hati L dengan mengungkapkan misteri yang terjadi di masa lalunya, supaya gadis itu bisa berdamai dengan hidupnya dan memulai hidup baru dengannya.     

Setelah membereskan berbagai hal, London lalu berkoordinasi dengan Jan untuk menyiapkan lamarannya. Begitu semuanya beres ia lalu pulang menjemput L untuk makan bersama di Restoran Blue Sky.     

"Hei... wah, kau sudah siap. Cantik sekali!" cetus London dengan kagum saat melihat L di ruang tamu mereka sudah tampak cantik dengan gaun musim panas berwarna biru. Di saat seperti ini bentuk tubuh L sudah hampir kembali seperti semula dan setiap lekuknya membuat imaginasi London menggila. "Kalau begitu aku mandi dulu ya..."     

Ia harus menelan ludah dan buru-buru masuk ke kamarnya dan membersihkan diri dan berganti pakaian bagus. Ia harus tampil setampan mungkin malam ini. Ia tidak boleh mengambil risiko sedikit pun.     

"Ayo kita berangkat," katanya dengan gembira setelah memastikan ia tampak menawan dalam kemeja mahal berwarna putih dan jas abu-abu muda. Penampilannya terlihat kasual tetapi elegan. Untuk sesaat L tertegun menatapnya.      

"Kau kelihatan berbeda," komentar L.     

"Oh ya?" London memang menyadari kalau dibandingkan saat mereka pertama bertemu dulu, penampilan London sekarang memang sudah hampir seperti dirinya yang normal. Ia tidak lagi mengenakan kacamata kebesarannya, dan pakaiannya sudah mulai modis kembali. Ia ingin L pelan-pelan terbiasa dengan dirinya yang asli, itu sebabnya ia tidak lagi sengaja tampak miskin. "Kau lebih suka aku yang sekarang atau aku yang dulu?"     

L hanya mengangkat bahu dan tidak menjawab. Ia mengenakan sepatunya lalu berjalan keluar rumah menuju mobil VW London yang diparkir di halaman.     

[Jan, kami sudah bergerak ke sana. Apa semuanya sudah siap?] London buru-buru mengirim SMS kepada Jan untuk berkoordinasi.     

[Semuanya siap, Tuan.  Acara lamaran paling romantis abad ini akan segera dimulai.]     

Dengan menyunggingkan senyum di bibirnya, London segera mengejar L menuju mobil.     

Ahh... lihat saja, L. Malam ini kau tidak bisa lagi menolak. Aku akan melamarmu dengan benar, pikir London gembira.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.