The Alchemists: Cinta Abadi

Hallo, Namaku London Killian Schneider



Hallo, Namaku London Killian Schneider

1London memutuskan mandi cepat-cepat dan berganti pakaian. Kali ini ia memilih pakaiannya yang terbaik. Ia sudah beberapa bulan tidak lagi mengenakan kacamatanya sejak L mengatakan lebih menyukainya tanpa kacamata, tetapi kemarin-kemarin ia masih mengenakan pakaian biasa, bukan pakaian aslinya yang keren dan mahal.     

Sekarang, karena identitasnya pun sudah terbongkar, ia merasa tidak ada lagi yang perlu disembunyikan. Setelah mematut diri di cermin dan puas dengan penampilannya, London keluar kamarnya sambil bersenandung gembira. Ia menuju dapur dan segera mengambil apron untuk mulai memasak sarapan enak untuknya dan L.     

Senandung gembiranya segera terhenti ketika melihat L masuk ke dapur dan berdiri memandanginya dengan pandangan kaget.     

"Kenapa melihatku seperti itu? Ada yang aneh?" tanya London kebingungan. Ia belum pernah melihat ekspresi L secanggung ini.     

L menggeleng. Dengan langkah canggung ia mengambil spatula dari tangan London dan mendorong tubuhnya ke samping.     

"Biar aku saja yang masak," gumam gadis itu dengan suara hampir tidak kedengaran.     

London mengerutkan keningnya. "Kenapa kau jadi bertingkah aneh seperti ini? Selama ini juga kan aku yang biasa memasak sarapan kita?"     

"Biar aku saja," balas L. Ia tidak mempedulikan pemuda itu dan mengambil alih kegiatan memotong sayuran dan bawang lalu mengambil telur dari kulkas.     

"L... kenapa kau jadi aneh begini?" London akhirnya terpaksa merebut kembali spatula dari tangan L.     

"Lepaskannn..." L tidak mau begitu saja melepaskan spatulanya. Dengan cekatan ia berusaha merebutnya kembali.     

"Aku saja yang memasak.... Masakanmu tidak enak," balas London sambil berusaha mempertahankan spatula yang baru direbutnya.     

"Aku sajaa...!! Kau itu tuan besar, tidak seharusnya melakukan pekerjaan rumah..." L masih berusaha sekuat tenaga menarik spatulanya kembali.     

Kedua pihak sama-sama tidak mau mengalah. London sendiri merasa sangat terkejut karena ternyata di dalam tubuh L yang mungil tersimpan tenaga yang begitu besar saat gadis itu berusaha dengan sekuat tenaga menarik spatula itu darinya.     

"Baiklahh.. kau menang!" setelah tiga puluh detik bergumul memperebutkan benda konyol itu, London akhirnya mengalah dan melepaskan spatulanya     

Ia lupa, tarikan tenaganya yang besar dan dilepaskan tiba-tiba akan membuat L terbanting ke belakang. Dengan mata terbelalak L menarik spatulanya ke dada dan seketika itu juga ia menyadari tubuhnya melambung ke belakang dengan sangat cepat akibat tenaga tarikannya sendiri. Dalam waktu satu detik saja tubuhnya akan menghantam meja dengan sangat keras.     

"Ellleeee...!!!"     

London yang melihat akibat perbuatannya secara refleks bergerak menarik L agar tidak terbanting ke belakang dan menabrak meja dapur dari jati yang sangat keras itu.     

Sebagai gantinya tubuh L tertarik membalik arah, menuju ke arahnya, dan kini giliran London yang terbanting ke belakang, menabrak konter dapur, dengan L dalam pelukannya, dan spatula sialan itu menghantam wajahnya.     

"Aduhhh...." Ia hanya bisa menahan sakit saat pinggangnya membentur konter dapur yang terbuat dari marmer keras itu, dan wajahnya yang terkena hantaman spatula.     

Ugh... tidak apa-apa, asalkan L tidak terluka, pikirnya. Ia tak akan dapat memaafkan dirinya sendiri kalau L sampai menabrak meja dapur itu dan kesakitan, karena kesalahannya. Hadeuh... cuma spatula saja seharusnya mereka kan tidak usah sampai berebutan, pikirnya gemas.     

"Aduh... maafkan aku..." L buru-buru melepaskan diri dari London dan memeriksa pinggang pemuda itu. Ia tahu pasti rasanya sakit sekali membentur konter dapur dari marmer seperti itu. "Sakit sekali? Mau kuambilkan es untuk mengompresnya?"     

London melepaskan spatula yang masih menempel di wajahnya dan membuangnya ke lantai. Ia lalu mengaduh-aduh dan mengurut pinggangnya yang terasa nyeri.     

"Harusnya kita tidak usah berebutan, konyol sekali," omelnya pelan.     

"Mana bisa aku membiarkanmu yang mengerjakan itu semua..." cetus L membela diri sambil buru-buru membawakan es dari freezer yang dibungkusnya dengan serbet. "Kau adalah..."     

"Aku adalah apa?" tanya London sambial mengerutkan keningnya.     

"Kau tidak pantas melakukan pekerjaan rumahan... Apa kata orang-orang nanti?" tanya L lagi dengan nada putus asa. Seolah London adalah seorang murid bodoh yang tidak mau mengakui kebodohannya.     

"Aku sudah menyiapkan sarapan untuk kita selama hampir lima bulan kita bersama. Aku tidak melihatmu mempermasalahkannya sebelum ini. Kenapa tiba-tiba berubah?" tanya London keheranan sambil mengompres pinggangnya dengan es yang diberikan L. "Apa sebenarnya kau benci masakanku dan baru sekarang kau baru mau berterus-terang? Masakanku tidak enak?"     

"Bu... bukan itu..." L menjadi kehilangan kata-kata. "Kau itu tuan muda dari keluarga Schneider..."     

"Lalu? Apakah menjadi tuan muda keluarga Schneider adalah hal demikian buruk di matamu? Aku bingung sekali. Selama beberapa bulan ini aku merasa begitu sulit mendapatkan cintamu karena kaupikir aku ini miskin, tetapi herannya hubungan kita bisa sangat baik. Sekarang, setelah kau tahu aku sebenarnya kaya, kau justru memperlakukanku dengan aneh. Lalu aku harus bagaimana? Tidak bisakah kau bersikap seperti biasa kepadaku? Aku memang London Schneider, tetapi aku juga Killian Makela. Aku masih orang yang sama."     

"Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap kepadamu, oke...." L tampak merasa tersudut. "Aku tidak tahu kau siapa..."     

London sadar bahwa L benar. Ia sendiri yang mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman dan kebingungan di antara mereka. Ia masih belum pernah memperkenalkan dirinya dengan baik-baik kepada gadis itu.     

Ia mengangguk dan setelah memperbaiki posisi tubuhnya, ia mengacungkan tangan kanannya dan mengajak L bersalaman.     

"Nona L... maukah kau memulainya dari awal bersamaku? Perkenalkan. Namaku London Killian Schneider. Makela adalah nama keluarga ibuku. Aku kadang-kadang menggunakannya untuk menyamar. Senang bertemu denganmu."     

L tertegun melihat tangan yang diacungkan kepadanya, tetapi kemudian dengan ragu-ragu ia mengulurkan tangan kanannya dan membalas salam London.     

"Hei... namaku Marianne De Maestri.. tapi aku sudah lama tidak menggunakan nama itu. Kau bisa memanggilku L." kata gadis itu dengan suara pelan.     

London menjabat tangan L dan meremas jari-jarinya dengan lembut. Wajahnya dihiasi senyum lebar.     

"Sekarang, bagaimana kalau kita berdua bekerja sama menyiapkan sarapan, dan kemudian kita bisa duduk makan sambil berbincang-bincang agar kita bisa saling mengenal. Kau setuju?" tanyanya dengan nada ceria.     

L akhirnya mengangguk pelan.     

London melepaskan tangan L dan menyerahkan spatula ke tangannya. "Kau bisa pakai spatulanya. Aku rela, karena sepertinya kau benar-benar menyukai spatula ini."     

Ia tertawa melihat L menerima spatula itu sambil cemberut. L tidak berkata apa-apa, hanya kembali bekerja untuk menyiapkan bacon goreng dan telur rebus, sementara London menyiapkan semangkuk salad dan irisan buah untuk mereka.     

"Daripada berkelahi memperebutkan siapa yang harus mengerjakan apa, lebih baik kita bekerja sama mengerjakannya berdua, iya kan?" tanya London sambil menyentil hidung L dengan gembira. L mendengus. Ia hendak marah karena hidungnya disentil seperti itu tetapi ia segera menahan diri. Ia segera teringat bahwa pria di depannya ini bukanlah laki-laki biasa. Ia sadar sekarang ia tidak boleh bersikap seenaknya.     

"Hei.. kenapa kau diam saja?" London segera menyadari apa yang terjadi dan seketika ia merasa tidak enak. Sungguh canggung rasanya kalau L memperlakukannya dengan hormat seperti kepada seorang tuan besar, padahal kemarin gadis itu masih bersikap normal dan tidak sungkan-sungkan mengomelinya. Kenapa sih L tidak bisa bersikap seperti biasa?     

Mereka lalu duduk bersebrangan di meja makan menghadapi hidangan sarapan yang mereka siapkan berdua barusan. L menuangkan secangkir teh untuk mereka berdua.     

"L.. jangan bersikap canggung kepadaku. Kumohon... " Saat ini London sudah merasa sangat menyesal telah membuka identitasnya kepada L. Kalau ia tahu betapa canggungnya sikap L kepadanya kalau mengetahui ia adalah seorang Schneider... tentu ia akan memilih tidak membuka identitasnya selamanya.     

L menatapnya dengan pandangan rumit. Ia hanya tertunduk sambil menghabiskan sarapannya, tidak menjawab. Suasana sarapan pagi itu terasa canggung sekali dengan sikap diam L.     

"L... apakah kau masih menganggap dirimu bekerja untuk Brilliant Mind Media?" tanya London akhirnya.     

L mengangkat wajahnya keheranan, tetapi kemudian ia mengangguk. "Benar."     

"Kalau begitu kau masih harus menuruti perintah dari pemilik Brilliant Mind Media?" tanya London lagi. "Apa pun yang dimintanya untuk kau lakukan, akan kau anggap sebagai tugas?"     

L menelan ludah, tampak mulai kesal, tetapi ia menahan diri dan mengangguk pelan. "Benar."     

London mengusap bibirnya dengan serbet dan menyudahi sarapannya. Matanya kini menatap lurus ke arah L dengan pandangan yang sangat serius.     

"Kalau begitu, pemilik Briliant Mind Media sekarang memerintahkanmu untuk menciumnya."     

Wajah L seketika memerah. Rasa kesal yang ditahannya sedari tadi segera meluap keluar dan tanpa dapat ditahan lagi ia berdiri dan menyemprot London.     

"Apa kau bilang?? Jadi begitu kelakuanmu sebagai seorang bos perusahaan, ya? Sudah berapa artis kau suruh menciummu seperti ini? Dasar mesum! Mentang-mentang kau kaya dan berkuasa kau pikir bisa seenaknya mempermainkan wanita???"     

Dengan marah ia mengambil spatula dari atas wajan dan memukulkannya ke bahu London yang cengar-cengir melihatnya terpancing kemarahan. Tadinya London senang melihat L tampak murka tetapi ia tidak menyangka gadis itu akan memukulinya dengan spatula. Kekagetannya hanya berlangsung dua detik karena dengan sigap ia sudah menghindar dan menarik lepas spatula itu dari tangan L.     

"L... jangan galak-galak, nanti Lily akan tumbuh dengan meniru temperamenmu ini..." goda London sambil menarik gadis itu ke pelukannya.     

L berusaha melepaskan diri, tetapi London sama sekali tidak membiarkannya lolos kali ini. Ia memeluk L erat sekali dan berusaha menenangkannya.     

"Sayang.. jangan marah-marah... aku tidak pernah meminta artis manapun menciumku.. hanya kau saja. Aku bukan laki-laki seperti itu," katanya dengan suara tegas. "Tapi kalau kau masih terus menolakku, aku tidak menjamin hatiku yang rapuh ini tidak akan keluar dan mencari artis cantik lainnya di Briliiant Mind Media untuk memulihkan patah hatiku..."     

"Kau...!" L masih berusaha memukul London tetapi tangannya telah ditahan pemuda itu dan dengan cekatan London menjepit kedua tangan L ke dinding ruang makan dengan tangan kanannya, dan tangan kirinya menahan bahu gadis itu.     

"L... jujurlah kepadaku. Kau mau aku mencari artis lain untuk menciumku atau kau bersedia menciumku?"     

Keduanya sudah merasakan detak jantung mereka berdebar tidak beraturan.     

"L... Bagaimana?" tanya London lagi. Ia tahu L sudah jatuh cinta kepadanya, terlihat dari betapa cemburunya L kepada Finland waktu itu, dan kini sikapnya yang langsung meradang saat memikirkan London meminta dicium oleh artis lain. London tahu L hanya perlu dipaksa untuk mengungkapkan isi hatinya. "Aku bisa menjadi Killian Makela, atau London Schneider, atau siapa pun. Tetapi itu semua hanya nama. Aku masih tetap orang yang sama. Aku masih tetap laki-laki bodoh yang selalu bahagia mendengar suaramu menyanyi. Aku masih tetap ayah Lily, anakmu; aku masih tetap laki-laki yang sama yang begitu bahagia bisa memegang tanganmu dan mencium bibirmu; aku masih laki-laki yang sama yang tidak dapat membayangkan hidup tanpamu..."     

L tampak tertegun mendengar pernyataan cinta yang kesekian kalinya itu. Tubuhnya menjadi lemas dan ia sama sekali tidak lagi berontak. Ia menatap London dengan pandangan bingung.     

"Aku... aku tidak mau kau mencium wanita lain..." Akhirnya keluar cicit L dengan suara pelan. Wajahnya tampak memerah.     

London tersenyum mendengar pengakuan gadis itu.     

"Kalau begitu.. siapa yang boleh kucium?" tanyanya dengan suara tegas.     

L mengerucutkan bibirnya dan melengos.     

"Awas kau, kalau berani mencium wanita lain.." desis L.     

Belum selesai ucapannya, London telah menarik dagu L dengan lembut ke arahnya dan sambil menunduk ia mencium bibir merah jambu L yang sedang merajuk.     

London tahu, sebagai laki-laki sudah waktunya ia mengambil inisiatif karena L tidak akan mau berterus-terang dengan perasaannya. Ia melumat bibir L dengan penuh cinta dan menahan kepala gadis itu dengan tangan kirinya.     

L tidak menolak ciuman pria itu. Setelah beberapa saat, ia malah membalas mencium London, awalnya ragu-ragu, tetapi kemudian semakin percaya diri.     

London merasa dipenuhi sukacita saat ia menyadari L menyambut ciumannya. Dengan bersemangat ia menerobos pertahanan gadis itu dan menjelajah mulut L dengan lidahnya yang lincah. Desahan keduanya pelan-pelan terdengar semakin intens saat London dan L memadu kasih tanpa dapat ditahan lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.