The Alchemists: Cinta Abadi

Apakah Ini Rumahmu?



Apakah Ini Rumahmu?

0London buru-buru memerintahkan petugas untuk menurunkan balon udara mereka dan begitu mereka mendarat, ia segera menggendong L turun.     

"Panggilkan dokter!" serunya sambil membawa L keluar restoran Blue Sky diiringi pandangan tamu-tamu restoran yang kebingungan. L tidak sadarkan diri setelah London membuka identitasnya karena ia sangat terkejut.     

Pria itu menjadi sangat merasa bersalah. Berkali-kali ia merutuki dirinya sendiri karena telah dengan egois menceritakan suatu rahasia yang dari awal ia tahu dapat membuat L terguncang, hanya karena lagi-lagi lamarannya ditolak.     

Manajer Restoran membantunya dengan membukakan pintu dan kemudian memencetkan tombol lift.     

"Ke lantai berapa, Tuan?" tanya sang manajer dengan penuh hormat.     

"Paling atas. Aku mau ke penthouse," katanya cepat.     

"Baik, Tuan."     

Selama perjalanan menuju penthouse, dada London dipenuhi kecemasan. Ia tak dapat memaafkan dirinya sendiri bila sampai terjadi apa-apa dengan L karena perbuatannya.     

Oh Tuhan... bagaimana aku bisa menghadapi Lily kalau sampai L kenapa-kenapa... pikirnya cemas.     

Ia membaringkan L di tempat tidurnya dan segera menunggu kehadiran dokter yang sudah dipanggil dari tadi. Tidak sampai sepuluh menit kemudian, seorang dokter berumur 40'an telah datang dan memeriksa kondisi L dengan saksama.     

"Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya London dengan cemas.     

"Nyonya terkena shock. Saya akan memberikan beliau obat penenang supaya nanti kalau beliau siuman ia tidak terlalu resah." Dokter Schaffer memberikan obat yang dimaksudnya kepada London dan kemudian pamit pergi. Pria itu hanya bisa duduk di tepi tempat tidur sambil menggenggam sebelah tangan L dengan kuatir.     

Ia segera menelepon para perawat dan memberi tahu mereka bahwa ia dan L tidak akan pulang ke rumah malam ini karena L jatuh sakit dan memberi tahu mereka untuk menjaga Lily dan melaporkan segala sesuatu kepadanya.     

L baru membuka matanya pukul 1 malam, karena ia merasakan dadanya sakit. Ia merasakan kepalanya pusing dan tangan kanannya digenggam kuat sekali oleh seorang pria yang sangat kuatir. London jatuh tertidur saat sedang menunggui L siuman dan dengan kaget ia terbangun ketika menyadari L menarik tangannya.     

"Uhm... kau sudah bangun?" tanyanya dengan suara sangat lega ketika melihat L telah membuka matanya dan sedang menatapnya dengan kening berkerut.     

"Di mana aku?" tanya L. Ia mengedarkan pandangannya dan menyadari ia tidak mengenali ruangan tempatnya sekarang.     

"Kau ada di penthouse, di Gedung Hotel St. Laurent." London menjawab dengan lembut. "Ini tempat tinggalku sebelum aku bertemu denganmu."     

L seketika ingat semua yang terjadi, dan tanpa sadar ia bangun dari tempat tidur dan menarik tangannya lepas dari genggaman London.     

"Siapa kau...?" tanya L dengan nada bingung. Ia seketika teringat bahwa tadi sebelum ia pingsan, Killian mengaku sebagai London Schneider kepadanya, dan mengaku ia memiliki gedung ini beserta banyak properti lainnya, termasuk perusahaan-perusahaan yang ada di bawah Schneider Group.     

Ia juga ingat bahwa mereka bertetangga dengan keluarga Schneider di Grunewald. Bukankah...     

Bukankah saat itu ia melihat London Schneider bersama Killian sendiri?     

Kenapa Killian mesti mengaku-aku sebagai orang lain?     

"Aku London Schneider." London kembali mengulangi keterangannya.     

Walaupun di dalam hati kecilnya ia sempat berpikir untuk menarik kembali ucapannya dan berbuat seolah-olah L salah dengar saat mereka di balon udara, agar gadis itu tidak shock, ia sadar bahwa suatu saat kebenaran akan terkuak dan L akan semakin sakit hati jika dibohongi lebih lama.     

L mengerutkan kening dan menatapnya lekat-lekat. Gadis yang malang itu masih mengira otaknya tidak bekerja dengan baik sehingga ia salah dengar.     

"Aku mau pulang..." Akhirnya L membuang muka dan bangkit dari tempat tidur. Sesaat ia sempat tertegun melihat betapa mewahnya kamar tempatnya berada, tetapi kemudian ia buru-buru mengenyahkan perasaan itu dan turun dari tempat tidur. "Di mana sepatuku?"     

"Sebentar, kuambilkan..." London menahan tangan L dan mencegahnya turun dari tempat tidur tanpa alas kaki. "Tunggu di sini, lantai kayunya dingin sekali untuk kakimu."     

Ia pergi ke luar kamar dan kembali dengan sepatu L dan dengan sabar memasangkannya ke kaki gadis itu. L tertegun melihat pria yang mengaku sebagai pemilik salah satu grup perusahaan terbesar di dunia ini memakaikan sepatunya. Ia berusaha mencegah tetapi London sama sekali tidak mengindahkan penolakannya.     

"Terima kasih, atas bantuan Tuan. Mohon maaf, aku mau pulang sekarang." Setelah sepatunya dipasang, L segera berdiri dan membungkuk sedikit ke arah London.      

Pemuda itu sangat terkejut mendengar L memanggilnya dengan sebutan sangat formal. Saat itu lebih dari apa pun ia lebih memilih jika L marah-marah dan meneriakinya karena merasa dibohongi, tetapi gadis itu malah menjaga jarak dan bersikap sangat formal.     

"L... ini aku. Kenapa kau mesti memanggilku Tuan?" tanyanya sambil berusaha memegang tangan L. Gadis itu menatap tangannya dengan pandangan rumit dan pelan-pelan menariknya lepas.     

"Tuan Schneider adalah bos pemilik agensiku.. Aku tidak boleh bersikap kurang ajar dengan bersikap seenaknya," balas L dengan suara datar. Ia membungkuk lagi dan melangkah pergi. Sia-sia saja London hendak menahannya.     

"L... kumohon jangan pergi. Banyak yang ingin kubicarakan denganmu..." London berjalan menjajari langkah L dan mengikuti gadis itu keluar dari pintu penthouse. Ia tadinya ingin sekali mengunci pintu dan menahan L di sini, tetapi akal sehatnya masih bekerja. Ia tidak boleh menahan gadis itu di luar keinginannya.     

"Kepalaku sakit... bisakah kita bicara besok saja, Tuan? Aku akan datang ke kantor..." jawab L dengan suara lemah. Ia memencet tombol lift ke lantai dasar.     

"Kalau kau sakit, jangan pulang sendiri, biarkan aku yang mengantarmu."     

L tidak menjawab, tetapi saat pintu lift terbuka dan London menarik tangannya ke parkiran lobi dan membukakan pintu ke mobil Mercedesnya, L tidak berusaha melepaskan diri. Rupanya ia tidak mau menarik perhatian orang-orang di sekeliling mereka.     

Perjalanan menuju rumah mereka di Grunewald hanya berlangsung selama 15 menit tetapi keheningan dan kebekuan di antara keduanya membuat perjalanan terasa seolah berlangsung selamanya.     

Begitu pintu gerbang terbuka dan mobil masuk ke dalam pekarangan, L meremas tasnya dan bersiap untuk segera turun dari mobil. Saat mobil berhenti dan parkir, L membuka pintu mobil dan segera keluar, padahal biasanya ia membiarkan London membukakan pintu untuknya. Hal ini membuat London hanya bisa geleng-geleng.     

"Kenapa kau tidak menunggu aku membukakan pintu untukmu?" tanya pria itu dengan suara lelah. Saat ini sudah hampir pukul 2 pagi dan ia membutuhkan istirahatnya.     

L berbalik ke arahnya dan menggeleng canggung. "Aku tidak berani merepotkan Tuan. Terima kasih sudah mengantarku pulang."     

Ia kembali berjalan dan sebelum tangannya membuka pintu depan, tiba-tiba saja langkahnya terhenti.     

Rumah ini indah sekali...     

Juga piano langka yang ada di ruang tamunya...     

Dan lampu kristal yang kata London adalah imitasi...     

Saat itu barulah L sadar bahwa kemungkinan semua tentang rumah ini juga merupakan kebohongan. Ia kini mengerti bahwa walaupun penghasilannya sebagai artis cukup besar, ia takkan mampu membeli rumah semewah ini di daerah pemukiman termahal di Berlin.     

Pemikirannya yang cerdas segera dapat mengira bahwa manajernya, Pammy, juga terlibat dari semua rencana ini.     

Ia berbalik menghadap London, tidak jadi membuka pintu, air matanya berlinang tiada henti saat suaranya yang serak bertanya untuk memastikan. "Rumah ini... apakah rumahmu?"     

L sadar bahwa tidak mungkin ia mampu membeli rumah semahal ini dengan semua perlengkapannya yang demikian mewah. Bahkan piano Stenway yang langka itu pasti bukan barang tidak terpakai yang ditemukan di gudang.. dan semua perlengkapan mesin penunjang kehidupan untuk Lily...     

Mengapa ia bodoh sekali, mengira ia sudah begitu sukses dan mampu memperoleh segalanya, bahkan mengatakan kepada seorang London Schneider bahwa L akan menghidupi keluarga mereka selama tiga tahun hingga pria itu mampu memperoleh penghasilan di atas dirinya. Sungguh memalukan...     

"L, jangan menangis... aku tidak bermaksud menipumu. Aku hanya ingin memberimu apa yang kaubutuhkan..." bujuk London. Ia tak pernah tahan melihat L menangis.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.