The Alchemists: Cinta Abadi

Sayang...



Sayang...

0L hanya duduk memperhatikan London yang tampak sangat gembira dan mencuci piring bekas makan malam mereka. Berkali-kali ia melirik ke arah ponsel London yang terletak di meja dan wajahnya menjadi keruh.     

L sering melihat pemuda itu gembira tetapi tidak seperti ini, pikirnya.     

Saat London sedang bersiul-siul sambil menaruh mangkuk di tempat meniriskan piring dan tidak melihat ke arahnya, L melihat ada pesan masuk di layar ponsel itu. Keningnya seketika berkerut ketika melihat nama yang tertera di layar.     

FINLAND S     

[Sayang, aku titip beberapa pakaian untuk Lily di rumah sakit. Tolong dibawa kalau kau membawa Lily pulang ke rumah.]     

Seketika dada L tampak bergetar hebat. Ia tidak rela wanita lain bersikap begitu perhatian kepada anaknya... atau pun kepada ayah anaknya.     

Wajahnya memerah dan kedua tangannya disilangkan ke dada. London yang baru selesai mengatur piring-piring bersih di tempatnya menjadi keheranan melihat ekspresi L yang galak.     

Ia segera bertanya-tanya, apa lagi gerangan kesalahan yang baru ia lakukan sehingga L menatapnya dengan mata menyipit yang tampak berbahaya.     

"Kenapa wajahmu seperti itu?" tanya London pelan. Dalam hati ia segera mengingat-ingat kronologi peristiwa yang terjadi sejak acara memasak bersama dan makan malam yang damai. Kenapa tiba-tiba L tampak marah ya? pikirnya keheranan.     

Hmm... tidak ada yang aneh.     

L mengunjukkan dagunya ke arah ponsel London di meja. Pemuda itu mengambil ponselnya dan seketika tersenyum melihat maksud L. Ah... rupanya tadi ibunya mengirimnya SMS dan L sempat melihatnya.     

"Memangnya kenapa dengan hadiah pakaian untuk Lily? Kita harus menghargai pemberian orang lain."     

L terlihat benar-benar tidak menyukai Finland... Apakah, ini artinya dia cemburu?     

Pemikiran itu membuat London sangat bersuka cita.     

Orang bilang cemburu adalah pertanda cinta!     

Apakah ini tanda bahwa L sudah mulai jatuh cinta kepadanya???     

"Apa kau dan perempuan lain memang biasa bersayang-sayang seperti itu???" dengus L dengan suara ketus. "Kenapa kau bolak-balik memintaku menikah denganmu tapi masih saling memanggil sayang dengan perempuan lain?"     

London terpaku mendengarnya. Logika L benar. Tetapi juga salah. Pertama, Finland bukanlah perempuan lain. Ia adalah perempuan pertama yang berhak memanggilnya 'Sayang'. Kedua, panggilan itu hanya satu arah, karena London tidak memanggil ibunya 'Sayang'. Ayahnya bisa mengamuk kalau ia berani memanggil 'Sayang' pada ibunya seperti pada kekasih.     

"Kenapa tidak boleh? Toh kau juga masih tidak mau menerima cintaku," London membela diri. "Atau kau cemburu dan ingin aku juga memanggilmu 'Sayang'? Kalau itu masalahnya, aku tidak keberatan."     

L mendengus lebih keras dan menghentakkan kakinya lalu meninggalkan ruang makan kembali ke kamarnya.     

"Selamat tidur, Sayang!" seru London dari dapur.     

Ia mendengarkan baik-baik, siap menunggu pintu dibanting sebagai tanda L marah.     

Tidak ada bunyi pintu dibanting.     

Heheh... apa ini artinya aku sudah boleh memanggilnya 'Sayang'? pikir London.     

***     

London mendapatkan hukumannya karena keesokan paginya ia tidak mendengar suara indah L menyanyi membangunkannya dari tidur.     

Ishh... L memang pandai menyimpan dendam, pikirnya sebal. Ia sudah lama tidak memasang alarm karena tahu pada jam yang sama L akan selalu berlatih menyanyi dan suaranya telah menjadi alarm alami bagi pemuda itu.     

Tetapi pagi ini sepertinya L sengaja tidak latihan untuk menghukum London. Pria itu bangun ketika jam sudah menunjukkan pukul 11 siang.     

Astaga... ia belum pernah bangun sesiang ini.     

Apakah L sudah sarapan?     

Ia buru-buru mencuci muka dan keluar kamar menuju dapur. L sedang duduk di sofa dengan melipat kedua lengannya di dada.     

"Kau sudah sarapan?" tanya London dengan penuh perhatian. L mengangguk. London lalu duduk di sampingnya. "Kalau begitu kenapa cemberut?"     

"Kau bilang hari ini ada wawancara pekerjaan di Schneider Group. Kenapa bangun siang sekali? Seharusnya wawancaranya 4 hari lalu, tetapi kau menundanya untuk merenovasi rumah. Mereka sudah sangat baik memberimu kesempatan dua kali, masa kau akan menyia-nyiakan begitu saja???" omel L sambil mengangkat sebelah alisnya.     

Ahh... London hampir lupa bahwa ia harus 'mencari pekerjaan' untuk membuktikan kepada L bahwa ia dapat menghidupi keluarganya, dan L memberinya waktu maksimal tiga tahun untuk memperoleh penghasilan di atas gadis itu.     

Ia hanya dapat menggaruk-garuk kepalanya. "Kau benar... wawancaranya sesudah makan siang, kok. Jangan kuatir, aku pasti pergi."     

"Jangan lupa kirimkan bunga ucapan terima kasih kepada Tuan Schneider." L mengeluarkan sebuah kartu kecil berwarna biru dari dalam buku yang ada di sampingnya di sofa. "Aku sudah menulis kartu ucapannya. Tolong belikan bunga yang pantas."     

"Baik..." London menerima kartu itu dan membaca isinya. L memang tidak banyak bicara, dan sama halnya dengan menulis. Ia hanya menulis seperlunya.     

[Terima kasih atas bantuan Tuan Schneider selama ini. Saya akan bekerja keras.]     

Tulisannya cukup singkat dan tanpa basa-basi. Hmm... London akan sangat senang seandainya di kartu itu ada cetakan bibir L saat ia mencium kartunya setelah mengenakan lipstik.     

Ugh... sayangnya ia tak mungkin memberi anjuran seperti itu, karena L sama sekali tidak mengetahui bahwa penerima kartu itu adalah London sendiri yang saat ini sedang menggunakan identitas sebagai Killian Makela.     

Ia menyimpan kartu itu di sakunya dan kembali ke kamar. Tadi dilihatnya L sudah siap, maka ini berarti ia juga harus segera mandi dan bersiap untuk pergi. Mereka akan pindah ke rumah baru dan kemudian ia akan pergi 'melamar pekerjaan'.     

Lima belas menit kemudian ia telah keluar kamar dengan rambut agak basah karena habis keramas, pakaian rapi dengan jas lengkap untuk melamar pekerjaan, dan koper di tangannya.     

"Aku sudah siap. Kita pergi sekarang, Sayang?" tanya London kepada L yang masih duduk di sofa dengan kopernya di atas meja. L mengangguk dan bangkit berdiri lalu berjalan menuju pintu. Ia mengenakan gaun musim panas yang cantik sekali dengan sandal bertali yang sesuai.     

Bentuk tubuh L selama hamil kemarin hampir tidak berubah, hanya perutnya yang membesar, dan wajah serta kaki dan tangannya menjadi agak chubby.     

Sekarang setelah ia melahirkan Lily, perutnya perlahan-lahan telah kembali menjadi rata dan kehamilan yang lalu hanya menyisakan sedikit bentuk chubby pada wajahnya, yang menurut London justru membuatnya terlihat tambah seksi.     

"Kau cantik sekali, apa itu gaun baru?" tanya London sambil mengambil koper L dari meja dan mendorongnya di tangan kanan, sementara tangan kiri mendorong kopernya sendiri. L tidak menjawab, hanya mengangkat bahu.     

Mereka berjalan beriringan menuju lift dan turun ke lobi. Di depan gedung, mobil VW London masih terparkir di  tempat semula. Ia memasukkan kedua koper mereka ke dalam bagasi lalu membukakan pintu untuk L sebelum ia sendiri masuk ke kursi pengemudi.     

Sebelum ia menyalakan mobil, tanpa sadar London menatap gedung apartemen itu dengan perasaan dipenuhi nostalgia.     

Ia dan L tinggal di apartemen sederhana ini bersama selama hampir tiga bulan. Entah kenapa rasanya sudah lama sekali.     

Ahh... Ia akan selalu mengenang masa-masa di apartemen ini dengan hati yang hangat.     

Baiklah... sekarang saatnya memulai lembaran baru, di rumah baru, pikirnya.     

Ia menoleh ke samping dan menemukan bahwa sepertinya L memiliki perasaan serupa dengannya. Gadis itu juga sedang menatap gedung apartemen mereka dengan wajah yang tidak dapat ditebak ekspresinya.     

"Ayo kita pergi," katanya kemudian, menggugah London dari lamunannya.     

"Baiklah, Sayang..." London mengerling ke arah L sambil menyalakan mesin mobil. Sejak tadi malam ia iseng memanggil L dengan panggilan 'Sayang', untuk mencari tahu sampai kapan L akan membiarkannya, hingga nanti gadis itu akan marah-marah lagi dan menyuruhnya berhenti.     

Tetapi sampai sekarang L masih tidak memprotes panggilannya. Ia juga belum marah sama sekali...     

"Sayang, kau cantik sekali hari ini..." London yang merasa diberi angin akhirnya tidak ragu-ragu lagi menggunakan panggilan yang sedari dulu ingin sekali ia gunakan untuk L.     

Gadis itu membuang pandangannya ke jendela mobil, tidak mempedulikan rayuan London yang sedang menyetir dengan wajah gembira.     

"Sayang, nanti setelah selesai membereskan barang-barang di rumah, kita makan siang di luar ya..."     

"Sayang, setelah aku mengantarmu ke rumah sakit, aku akan datang ke kantor Schneider Group untuk wawancara pekerjaan."     

"Astaga, Sayang, lihat orang itu melanggar lampu merah! Keterlaluan sekali."     

"Aku putar radio ya, Sayang..."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.