The Alchemists: Cinta Abadi

Hadiah Rumah Dari London



Hadiah Rumah Dari London

1Benar saja, tidak lama kemudian Lily telah pulas tertidur. Dengan hati-hati London membaringkan anaknya di tempat tidur bayi yang ada di kamar utama. Setelah memastikan Lily tidur dengan baik, ia segera menarik L ke tempat tidur dan menagih bayarannya.     

"Ssshh... kau belum memberiku bayaran karena menyanyi untuk menidurkan Lily," kata L sambil menahan dada pria itu dengan kedua tangannya yang mungil. "Apa kejutan yang kau siapkan untukku besok?"     

London yang menindih tubuh L dengan penuh semangat dan sudah siap membuka pakaiannya kemudian mendesah agak lama sebelum akhirnya menjawab. "Aku membelikanmu rumah."     

"Oh..." L tertegun mendengarnya. "Benarkah? Tetapi kita sudah punya rumah di Grunewald."     

Dalam hati L baru menyadari bahwa rumah di Grunewald itu sebenarnya termasuk sederhana untuk ukuran seorang London Schneider. Mansion orang tuanya dan penthouse di St. Laurent ini menunjukkan jenis rumah yang biasa ia tempati, dan jauh lebih besar dan mewah daripada rumah di Grunewald itu.     

Apakah London hendak memberinya rumah baru yang semewah mansion keluarga Schneider?     

"Itu tidak perlu," kata L sambil menggeleng. "Rumah yang sekarang sudah cukup bagus kok. Lagipula, seperti yang kau bilang, rumah adalah isinya, orang-orang di dalamnya, bukan bangunannya."     

London membingkai wajah L dengan kedua tangannya lalu mencium mesra bibir gadis itu.     

"Rumah ini istimewa..." katanya dengan suara lembut. "Kau akan menyukainya."     

Akhirnya L mengangguk. Ia ingin tahu seperti apa rumah yang disiapkan suaminya untuk dirinya dan Lily. "Baiklah kalau begitu.. Terima kasih.."     

L mencium London sebagai tanda terima kasih atas hadiahnya, walaupun ia belum melihat seperti apa rumah yang disiapkan London untuknya. Pria itu menyambut ciuman inisiatif L dengan hati gembira dan membalasnya dengan lebih mesra.     

Akhirnya... mereka benar-benar bersama seutuhnya setelah melalui berbagai pasang surut hubungan yang melelahkan.     

"Sayang.." bisik London sambil mengigit pelan leher gadis itu. "Aku tidak keberatan menjadi suami simpananmu, tetapi kau harus mengumumkan kepada publik bahwa kau sudah menikah. Aku bisa mati cemburu kalau Kitaro dan semua laki-laki itu terus mengejar cintamu..."     

"Mmmm..." L mengangguk. Ia mengusap kepala suaminya dan menatap matanya dengan penuh cinta. "Aku akan melakukannya..."     

Tentu saja ia akan dengan senang hati melakukannya. Mengumumkan pernikahannya akan baik untuk mengurangi dampak buruk dari gosip yang lalu. Kariernya masih bisa diselamatkan, pikir L.     

Ia berterima kasih atas pengertian London yang tidak menuntutnya mengumumkan identitasnya sebagai suami L. Sebagai orang yang menyukai privasi, L masih berharap ia akan dapat melindungi kehidupan pribadinya dari sorotan publik. Kesepakatan ini tidak akan merugikan mereka sama sekali.     

Malam itu L dan London akhirnya memadu kasih dan bercinta sebagai pasangan suami istri, setelah lamaran yang kesekian kalinya dan rencana pernikahan yang gagal. Ini merupakan kegiatan bercinta mereka dalam sepenuh kesadaran dan sepenuh hati yang kedua, dan mereka merasa yang kedua ini lebih indah daripada yang pertama.      

London sangat mencintai L, walaupun awalnya gadis itu sangat menyebalkan dan menyembunyikan banyak rahasia dan dendam. Ia tak pernah berpaling ke lain hati dan memuja L dengan segenap jiwanya.      

L yang selama ini hidup sebatang kara dan tidak pernah merasakan kasih sayang keluarga sejak orang tua dan adiknya dibunuh, pelan-pelan tersentuh oleh ketulusan cinta London dan betapa kerasnya pria itu berusaha menerobos masuk untuk mendapatkan hatinya.     

Kini bagi L, harta dan dendam sudah tidak penting lagi. Ia hanya memikirkan bagaimana hidupnya bersama suami dan anaknya ke depan.     

"Sayang..." London memeluk erat L dengan kedua lengannya saat mereka akhirnya menyudahi kegiatan panas mereka. "Aku mencintaimu."     

L mengerutkan tubuhnya seperti bayi dalam dekapan London dan membenamkan kepalanya ke dada pemuda itu. "Aku juga mencintaimu..."     

Suaranya terdengar serak dan mengantuk. Tidak lama kemudian ia pun jatuh tertidur. Deru napasnya menjadi teratur dan denyut jantungnya secara perlahan menyesuaikan dengan denyut jantung suaminya dan kemudian berderap bersama.     

***     

Mereka berdua terbangun saat waktu masih menunjukkan pukul 5 pagi. Sungguh terlalu pagi!     

Lily yang membangunkan mereka dengan suara tangisnya yang mengeluh kelaparan. L segera bangun dan mengenakan jubah tidur lalu menggendong Lily untuk disusui. London yang terkantuk-kantuk ikut bangun dan menemani. Akhirnya ia malah tertidur dengan kepalanya di pangkuan L yang sedang menyusui Lily.     

Saat melihat Lily dan London yang sama-sama menempel kepadanya, L hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia merasa seperti mempunyai dua orang anak yang menyita semua perhatian dan energinya.     

Ia berpikir dalam hati bahwa ia tidak siap memiliki anak ketiga mengingat tidak akan ada tempat bagi orang lain di pangkuannya. Memang benar kata London, cukup yang dua ini saja.. Aku sudah kerepotan mengurusnya, pikir L.     

Setengah jam kemudian Lily kembali tertidur setelah puas menyusu. London juga masih tidur dengan kepalanya di pangkuan L. Akhirnya gadis itu terpaksa duduk saja di sofa dan membiarkan suami dan anaknya beristirahat sementara ia berusaha keras menahan kantuk.     

***     

"Astaga.. sayang, seharusnya kau membangunkanku, biar kita bisa gantian..." cetus London berkali-kali ketika akhirnya ia bangun akibat masuknya sinar matahari melalui jendela ke ruangan duduk mereka.     

Ia buru-buru bangkit dan mengambil Lily dari gendongan L yang tampak sangat mengantuk.     

"Hmm.." L hanya menguap dan mengangguk.     

"Tidak apa-apa... kau sangat lelah setelah semalam kita..." London tidak meneruskan ucapannya. Pikirannya kembali melayang pada tubuh indah L yang terpampang polos di tempat tidur setelah ia melucuti semua pakaian istrinya. Kenangan itu membuat tanpa sadar ekspresinya berubah menjadi konyol. London baru tergugah ketika L menepuk bahunya. "Oh.. iya, benar. Kau pasti lelah, nanti kau tidur saja di jalan. Kita akan melihat rumah yang kubeli untukmu."     

L terlalu mengantuk untuk bertanya lebih lanjut tentang rumah itu, walaupun ia sangat penasaran.     

London memandikan Lily dan menyiapkan anaknya dengan pakaian onesie yang cantik. Ia mengurusi tas bepergian mereka sementara L membersihkan diri dan berpakaian. Pukul 8 pagi mereka telah selesai sarapan sederhana dan turun ke lobi gedung untuk berangkat ke rumah baru yang dimaksudkan London.     

L yang sangat mengantuk akhirnya melanjutkan tidurnya di jalan. Dengan nyaman ia memejamkan mata di mobil dan menyandarkan tubuhnya ke bahu London yang berfungsi menjadi pengganti bantalnya.     

Ketika mobil yang membawa mereka tiba di bandara, L sudah tertidur begitu pulas hingga akhirnya London menggendongnya keluar mobil dan masuk pesawat sementara Marc membawakan keranjang berisi Lily.     

Di dalam pesawat ia membaringkan L di tempat tidur di dalam kabin dan membiarkannya melanjutkan tidur. Penerbangan ke Prancis akan berlangsung satu jam ia ingin L sudah merasa segar ketika mereka mendarat.     

Ia berharap saat ia membawa L melihat rumah masa kecilnya yang telah dibeli London dan direnovasi, gadis itu akan merasa sangat senang dan bersemangat.     

"Aku ingin memberimu rumah orang tuamu.. tempat kenangan masa kecilmu. Agar kau bisa kembali mengingat kenangan indah bersama keluargamu," bisik London pelan saat meletakkan L di tempat tidur di pesawat. Ia mencium kening gadis itu lalu keluar dan duduk di sofa sambil menggendong Lily dan menunjukkan berbagai bentuk awan kepada bayi mungilnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.