The Alchemists: Cinta Abadi

Keputusan L (1)



Keputusan L (1)

3"L.. kumohon jangan mengambil keputusan tergesa-gesa..." kata London dengan suara tegas. Ia sudah muak dengan semua kesalahpahaman di antara mereka dan ingin melakukan apa pun untuk mempertahankan L. Ia tahu kali ini ia yang bersalah dan ia bersedia menebusnya dengan cara apa pun.     

"Aku sangat lelah dengan semua ini..." L terduduk lesu ke lantai. Pandangan matanya yang merah dan basah oleh air mata mulai menjadi kabur. "Aku hanya ingin hidup tenang, tetapi sejak pertama aku bertemu denganmu... entah kenapa aku selalu terkena sial."     

London tahu maksud L adalah peristiwa di pesta Stephan... yang kemudian menjadi awal mula mereka menjadi terhubung seperti sekarang ini.     

"Kalau kau lelah... kau istirahat saja, ya. Nanti kita bicara lagi." London bersimpuh di depan L dan menyentuh lututnya pelan sekali, hampir tidak menyentuh kulitnya. "Maafkan aku."     

Ketika London hendak bangkit berdiri dan meninggalkan L agar gadis itu dapat menenangkan diri, L tiba-tiba buka suara.     

"Jan benar."     

London terhenyak mendengar kata-kata L. "Eh..? Apa maksudmu Jan benar?"     

"Jan benar saat ia mengatakan bahwa kau perlu bertemu wanita lain dan berkencan dengan mereka, agar kau tidak menyesal di kemudian hari kalau kau memutuskan untuk bersamaku."     

Kata-kata L yang kini tidak lagi diikuti nada kemarahan malah membuat London menjadi  bergidik ngeri.     

"Tunggu... kau menyuruhku untuk berkencan dengan mereka? Apakah kau ingin meninggalkanku...?" Suara pria itu tercekat. "Aku tidak mau. Aku tidak rela dihukum atas kesalahan yang belum kuperbuat. Aku tidak mau kau meninggalkanku begitu saja. Tadi malam kita sudah berbaikan... dan kita sudah saling mengerti... Komunikasi kita juga sudah membaik..."     

"London Killian Schneider, dengarkan aku..." tukas L, kali ini memanggil London dengan nama lengkapnya, membuat pria itu teringat ibunya, Finland, kalau sedang marah.     

"Jangan panggil nama lengkapku begitu... biasanya ibuku memanggilku dengan nama lengkap karena ia sedang marah..." tanpa sadar London merengut dan merengek agar L tidak mengikuti perilaku ibunya.     

"Aku MEMANG sedang marah," omel gadis itu, tidak peduli pada permintaan London. "Kau selalu membuatku kesal, dan hari ini juga... Aku tidak tahu apakah aku akan tahan menikah denganmu dan naik pitam setiap hari. Kau beruntung sakit jantungku tidak kambuh barusan, brengsek..."     

London terdiam. Ia tahu L benar. Duh.. ia sebenarnya tidak sabar ingin meminta L meminum ramuan keabadian dari Paman Aldebar agar gadis itu segera menjadi manusia abadi sepertinya dan tidak sakit-sakitan lagi.     

"Baiklah... kau boleh memanggil nama lengkapku kalau kau sedang marah..." Akhirnya London menyerah.     

Sebenarnya ia sudah agak lega karena  L berhenti menangis dan kini malah mau bicara kepadanya. Ini benar-benar suatu kemajuan. Mungkin memang pembicaraan mereka tadi malam tentang memperbaiki komunikasi mereka sudah menunjukkan hasilnya.     

"Aku sudah memutuskan, bahwa aku tidak bisa menikah denganmu. Aku tidak bisa percaya kepadamu lagi." Sebelum London hendak menyelanya, L telah mengangkat tangannya dan menghentikan pemuda itu.     

"Menurutku Jan benar, bahwa kau dan aku sama-sama perlu bertemu orang lain untuk bisa lebih mengenal macam-macam orang dan mengerti apa yang kita cari dalam diri pasangan kita. Aku tidak mau kau melewatkan kesempatan untuk bertemu wanita lain yang lebih cantik, lebih pintar dariku, dan punya suara lebih bagus dariku...     

Dari awal aku sudah bilang bahwa apa yang terjadi di antara kau dan aku merupakan musibah, dan kita berdua adalah korban. Aku tidak pernah memintamu bertanggung jawab atas hidupku."     

"Aku ingin menikah denganmu bukan karena aku sekadar ingin bertanggung jawab, L... tetapi aku benar-benar mencintaimu..." kata London cepat.     

"Kau tahu apa sih soal cinta? Kau belum pernah punya kekasih sebelumnya..." tukas L cepat. "Aku tidak yakin kau mengerti apa itu cinta. Buktinya kau bisa dengan mudah mencari penggantiku walaupun kita baru berpisah dua minggu..."     

"Itu kesalahan bodoh..." kata London. "Aku tidak akan melakukannya. Aku tidak akan berkencan dengan wanita lain."     

L menggeleng. "Menurutku sebaliknya. Kau harus menemui wanita-wanita luar biasa itu dan menguji hatimu. Siapa tahu kau memang akan tertarik kepada salah satu dari mereka dan melupakanku. Kita tidak akan pernah tahu kalau kau tidak pernah mencobanya."     

London sangat kebingungan mendengar kata-kata L. Bukankah tadi L sangat marah ketika mengetahui bahwa Jan menyiapkan kencan untuk London bersama tiga wanita. Kenapa sekarang ia malah menyuruh London untuk menemui mereka?     

Apakah ini jebakan?     

Ini pasti jebakan!     

Perempuan memang sulit ditebak maunya apa. Mereka bisa bilang A di mulut, tetapi maksudnya B.      

London tidak mau terjebak.     

"Aku tidak mau bertemu mereka," katanya tegas. "Aku hanya menginginkanmu."     

L menekan dada London dengan tangan kanannya dan menatap pria itu dengan sungguh-sungguh.     

"Temuilah wanita-wanita itu... Temui ketiganya. Aku tidak ingin kau kehilangan kesempatan untuk bertemu wanita yang lebih baik dariku."     

"Tidak ada yang lebih baik darimu."     

"Kau tidak punya perbandingan, maka pendapatmu tidak bisa diterima."     

"Kenapa kau memaksaku untuk berkencan dengan perempuan lain? Bukankah tadi kau marah saat mengetahui Jan mengatur kencanku dengan mereka?"     

"Tadi aku memang marah besar, tetapi setelah berpikir lama, aku sadar Jan benar. Kau memang harus bertemu wanita lain agar bisa mengerti isi hatimu sendiri. Kalau memang setelah bertemu wanita-wanita lain itu kau merasa bahwa tidak ada yang lebih baik dariku... kita bisa bicara lagi."     

Suara L terdengar getir, tetapi nadanya sangat tenang. Ketenangannya justru membuat London semakin ngeri. Ia tidak tahu apa sebenarnya yang dipikirkan L.     

"Apakah kau berjanji akan mau membicarakan hubungan kita setelah aku menemui mereka?" tanya London akhirnya.     

L mengangguk. "Kita bisa bertemu kembali dan membicarakan semuanya. Kalau setelah berkencan dengan wanita-wanita lain itu kau menyadari bahwa sebenarnya aku bukan wanita yang tepat untukmu, rasanya akan lebih baik kalau kita menyudahi semuanya dengan cara yang benar dan bersikap dewasa..."     

Saat itu rasanya ingin sekali London mencium L. Entah kenapa hari ini sikap gadis itu tampak dewasa sekali. Apakah ini karena mereka sudah bicara secara terbuka tadi malam?     

"Jadi kalau aku bisa berkencan dengan ketiganya hari ini juga, nanti malam kita sudah bisa bertemu kembali dan membicarakan hubungan kita?" tanya London penuh harap.     

"Kau jangan jadi laki-laki brengsek, dong. Kau pikir wanita-wanita itu mainan atau benda mati yang tidak punya hati? Tidak boleh begitu kepada mereka..." omel L mendengar kata-kata London barusan. "Beri aku waktu sebulan untuk berpikir. Kau boleh bertemu wanita sebanyak-banyaknya selama sebulan ke depan, tidak hanya ketiga wanita yang dipilihkan Jan untukmu. Lebih banyak lebih baik, dengan begitu... kau akan dapat bertemu macam-macam orang dan mencari tahu perempuan seperti apa yang menggetarkan hatimu, yang membuatmu tertarik dan jatuh cinta..."     

Ugh... sebulan? Lama sekali, pikir London.     

"Kenapa lama sekali?" tanyanya pelan.     

"Karena kau bisa dengan mudah berubah pikiran setelah dua minggu!" tukas L sewot. "Aku tidak mau berpikir secara tergesa-gesa... Menurutku satu bulan adalah waktu yang cukup panjang untuk bisa memikirkan semuanya. Kau juga bisa bertemu orang lain dan berpikir..."     

"Uhm... kau menyuruhku untuk bertemu wanita-wanita lain selama sebulan ini... lalu..." London menelan ludah sebelum melanjutkan pertanyaannya. "Apakah... kau juga akan bertemu laki-laki lain?"     

L mendelik sebal mendengar pertanyaan London. "Itu bukan urusanmu. Kau pikir aku sama sepertimu yang bisa dengan mudah mencari orang baru? Dasar..."     

London sangat lega mendengarnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.