The Alchemists: Cinta Abadi

Maukah Kau Menikah Denganku?



Maukah Kau Menikah Denganku?

1"L.. kumohon, kalau ada apa-apa, kau harus bicara kepadaku. Aku tidak tahu isi hatimu kalau kau tidak bilang." London akhirnya berhenti mengusap air mata L karena butir-butir air itu tidak juga berhenti. Ia menarik L ke pelukannya. "Maafkan aku yang tidak mengerti sudut pandangmu. Aku hanya ingin membuatmu senang... tapi aku tidak bertanya kepadamu apakah semua yang kulakukan itu sesuai keinginanmu atau tidak."     

"Aku juga minta maaf kalau kau merasa bahwa apa yang kau lakukan selama ini tidak kuhargai. Aku sangat menghargai semua yang kau lakukan untukku... tetapi kadang aku berharap kau akan memberiku sedikit kebebasan untuk membangun karierku sendiri." L melingkarkan tangannya dan balas memeluk pinggang London. "Aku tidak pernah bergantung kepada orang lain sebelumnya, dan bagiku sangat sulit untuk tiba-tiba menerima kehadiran seorang Sinterklas yang mengabulkan semua keinginanku dan menghujaniku dengan berbagai kemudahan... Aku tidak sepertimu yang sedari kecil terbiasa mendapatkan segalanya..."     

London mengangguk. Justru itulah yang membuatnya jatuh cinta kepada L. Gadis itu tidak pernah menuntut apa pun darinya. Ia tidak seperti gadis-gadis lain yang mendekatinya karena mengetahui bahwa ia kaya dan berkuasa. L tidak pernah memorotinya sekali pun. Ia bahkan sangat kesulitan menerima semua pemberian London untuknya...     

"Aku sekarang mengerti," London berbisik lembut ke telinga L. "Aku akan berusaha lebih baik..."     

Hembusan napasnya yang hangat di telinga L membuat gadis itu berdebar-debar. Mereka sudah sangat lama tidak berpelukan seintim ini. London merasakan betapa detak jantung L menjadi lebih cepat, dan itu membuatnya ikut berdebar-debar.     

Ia selalu sangat menyukai aroma tubuh L yang enak ini dan tanpa sadar ia mencium puncak kepala L, seolah ingin menghirup gadis itu masuk ke dalam tubuhnya.     

"L..." Suara pria ini kini terdengar parau. "Aku mencintaimu, kau tahu itu kan? Aku perlu tahu... Apakah kau juga mencintaiku?"     

Agak lama baru terdengar jawaban dari gadis itu. "Iya..."     

"Apakah kau mau menikah denganku?" London kembali bertanya. Ia mengajukan pertanyaannya dengan berbisik ke telinga L sambil kedua lengannya masih memeluk L dengan erat.      

"Aku tidak mau menerima lamaranmu dan kemudian kau membatalkan pernikahan lagi..." kata L sambil merengut. Rupanya ia masih sakit hati karena London membatalkan rencana pernikahan secara sepihak dua minggu lalu.     

"Aku tidak akan membatalkannya. Kalau kau memang menerima cintaku dan kita sudah memperbaiki komunikasi kita... aku rasa kita sudah benar-benar siap," London mencium telinga L dan kembali berbisik, kali ini nadanya menjadi mesra. "Aku sangat sedih saat kita berpisah..."     

L mengangkat wajahnya dan menatap London dengan sepasang matanya yang basah, seolah berusaha membaca apakah pria itu benar-benar jujur atau tidak.     

"Aku tidak pernah berbohong... tapi kau..." L mengerucutkan bibirnya. "Dari mana aku tahu kau tidak berbohong?"     

London menggeleng. "Aku berkata yang sebenarnya. Aku hanya mencintaimu dan ingin menghabiskan seumur hidupku bersamamu dan Lily. Waktu itu, aku membatalkan rencana pernikahan kita karena aku merasa kita tidak menjalani hubungan yang setara. Aku mengira kau tidak mencintaiku dan hanya terpaksa menerima lamaranku karena aku yang terlalu mendesakmu... Aku mengira kau selalu lebih memilih kariermu daripada aku dan Lily...  Maafkan aku."     

L mengerucutkan bibirnya dan air matanya kembali mengalir. Tangannya memukul dada London dengan kesal. "Kau membuatku sangat sedih waktu kau membatalkan rencana pernikahan kita... Kau keterlaluan sekali...!!"     

"Maafkan aku... Sayang, maafkan aku." London sama sekali tidak menahan pukulan tangan L. Ia menerimanya dengan lapang dada. Kalau itu bisa membuat L merasa lebih baik, dengan meluapkan kekesalannya, maka London akan merasa lega.     

"Kau bisa dengan begitu mudah membatalkan rencana pernikahan kita setelah aku akhirnya menerima lamaranmu... Tega sekali kau! Kau pikir bagaimana perasaanku? Aku mengira kau tidak serius. Setelah berkali-kali melamarku, ternyata kau bisa begitu mudah membatalkannya... Aku sangat sedih, dan aku menjadi takut kau akan membawa Lily pergi dariku..." Tangis L kembali pecah dan ia terus memukuli  dada pria yang ada di depannya itu. "Kau tidak tahu betapa takutnya aku... Kau tega sekali kepadaku..!!!"     

"Sayang... bukan begitu maksudku. Aku justru membatalkannya karena aku kira kau tidak sungguh-sungguh mencintaiku. Itu adalah kesalahpahaman.. itu karena komunikasi kita sangat buruk..." London akhirnya menarik kepala L ke dadanya dan menciumi rambut gadis itu. Ia sangat sedih melihat L menangis. Sungguh, air mata gadis itu adalah kelemahannya yang paling besar. "Aku berjanji tidak akan pernah begitu lagi."     

L kembali menangis terisak-isak di dada pemuda itu hingga akhirnya air matanya habis. Setelah setengah jam barulah ia berhenti. Seluruh bagian depan kemeja London telah basah kuyup oleh air matanya. London tak henti-hentinya mengusap rambut dan punggungnya untuk menenangkan L.     

Sekarang, setelah semua isi hati mereka dikeluarkan dan keduanya membahas apa yang terjadi dari sudut pandang mereka masing-masing, London bisa mengerti mengapa L melakukan hal-hal yang semula ia anggap menyebalkan.     

"L.. Sayang, kumohon percaya kepadaku ya. Biarkan aku yang mengurus Danny Swann untukmu. Kau tidak usah menghadapinya sendiri. Biarkan aku yang membelamu dan melindungimu," kata London setelah tangis L benar-benar berhenti. Ia melepaskan L dari pelukannya dan menatap sepasang mata hitam gadis itu dengan penuh cinta. "Kalau kau masih mau menikah denganku.. biarkan aku melindungimu. Aku tidak akan menjadi Sinterklasmu.. tetapi biarkan aku melindungimu dari orang-orang seperti Danny Swann..."     

L mengangkat wajahnya dan menatap London dengan ekspresi seperti anak kucing yang sedih. Akhirnya ia mengangguk pelan.     

Seulas senyum segera terkembang di wajah London Schneider melihat L mengangguk dan menerima permintaannya.     

"Apa ini... artinya.. kau mau menikah denganku?" tanyanya sekali lagi untuk memastikan. Ia tidak ingat lagi sudah berapa kali ia melamar L, tetapi ia sungguh berharap kali ini adalah lamarannya yang terakhir.     

L mengangguk lagi.     

"Kau mau menikah denganku karena kau juga mencintaiku...?" London masih belum puas. Ia bertanya lagi. L kembali mengangguk.     

"Kau mau hidup abadi selamanya denganku?"     

L mengangguk.     

"Ya ampun... kau membuatku sangat bahagia, Sayang!" London tak dapat menahan diri lagi dan segera mendaratkan ciuman panas ke sepasang bibir lembut berwarna merah jambu alami itu.     

Sudah lama sekali ia tidak mencium L, dan kini bagaikan orang kelaparan yang sudah berhari-hari tidak makan, ia melumat bibir mungil itu dengan penuh cinta. Pelukannya menjadi semakin erat saat L kemudian membalas ciumannya.     

Karena merasakan betapa L juga merindukan dirinya, London menjadi semakin bersemangat. Ia mencium L dengan semakin intens. Lidahnya menerobos masuk lewat bibir mungil itu, menjelajah mulutnya dan membelit lidah L lalu memangsanya dengan penuh nafsu. L yang sedari tadi tidak mengeluarkan suara, kini sudah tak dapat lagi menahan desahan keluar dari bibirnya seksi.     

"Mmm...." London berbisik di sela-sela ciumannya. "Aku sangat bahagia..."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.