The Alchemists: Cinta Abadi

Sangat Buruk



Sangat Buruk

0"Kau sangat ingin aku membongkar rahasiaku ke muka umum... Itu kan yang kau mau??" L menepis tangan London yang tadi membanting ponselnya. Ia lalu membungkuk dan mengambil kembali benda itu dari lantai. Saat L berusaha memencet nomor telepon Luxe Magazine lagi, London mengambil ponsel itu dari tangannya.     

"Tidak usah," kata pria itu singkat.     

"Kembalikan ponselku!" seru L. Ia berusaha mengambil ponselnya tetapi London hanya perlu berdiri dan mengacungkan benda itu setinggi mungkin di atas kepalanya. L yang lebih pendek 25 cm darinya sia-sia saja berusaha melompat dan menyambar ponselnya tanpa hasil. "Kau curang! Kau menggunakan tinggimu..."     

"Eh, aku tidak curang ya..." kata London. "Aku tidak menggunakan alat bantu. Suruh siapa kau pendek."     

"Ugh..." L tampak kesal sekali. Ia mencoba memanjat tubuh London dan mengalungkan lengan kanannya di leher pria itu seperti koala, sementara lengan kirinya menggapai-gapai tangan kanan London yang teracung tinggi dengan ponselnya.      

"Heii... kau ini manusia atau koala, sih?" London sama sekali tidak berusaha menurunkan tubuh L yang menempel di tubuhnya seperti lintah dan masih berusaha keras mengambil alat komunikasinya. Malah, ia semakin bersemangat membuat gadis itu marah.     

Ponselnya ia pindahkan dari tangan kiri ke tangan kanan dan begitu seterusnya.     

"Aaaaggghhhh... aku benci kepadamu!!!" Setelah berkali-kali mencoba dan gagal, akhirnya L menyerah dan memukul bahu London dengan ekspresi putus asa.     

"Mana yang benar? Tadi kau bilang kalau sebenarnya kau mencintaiku.. tetapi sekarang kau bilang benci. Bagaimana aku bisa mempercayaimu? Kau juga sering berubah-ubah..." goda London kepada L dengan ekspresi pura-pura tersinggung.     

Mmm... ia sebenarnya sangat menikmati saat L memanjat tubuhnya untuk menggapai ponselnya tadi. Gadis itu terlalu emosi dan tidak memperhatikan cengiran iseng tersungging di bibir London. Aroma tubuh L yang enak telah menghipnotis hidungnya sedari tadi dan buah dadanya yang lunak naik turun di bahu dan dada pria itu saat L berusaha keras menggapai ponselnya.     

L tidak mempedulikan pertanyaan London. Ia hendak melompat turun dari panjatannya, tetapi belum sempat kakinya menyentuh lantai, London telah menahan pinggangnya.     

"Lepaskan aku..." desis L sambil menatap London dengan sepasang mata menyala-nyala. "Kau selalu membuatku marah!"     

London tidak bisa menyangkal bahwa diam-diam ia selalu menikmati saat L cemberut dan misuh-misuh. Gadis itu sangat menggemaskan kalau ia sedang marah dan akibat buruknya adalah London jadi sering tanpa sengaja membuatnya marah.     

Ia sering mengeluhkan sifat pemarah L yang dibilangnya menyebalkan, tetapi dalam hati ia tahu L tidak pernah marah tanpa alasan, dan sering kali dirinyalah alasan tersebut.     

"Kenapa kau menelepon Luxe tadi?" tanya London sambil menatap L yang wajahnya hanya satu jengkal jaraknya dari wajahnya. Ia masih menolak menurunkan gadis itu.     

L melengos. "Kau tahu jawabannya."     

"Aku tidak tahu," jawab London. Ia tahu tetapi ia ingin mendengar dari mulut L sendiri.     

"Kau terus-terusan bilang bahwa kau merasa aku lebih memilih orang lain daripada kau dan Lily, bahwa aku lebih memilih karierku daripada kau dan Lily..." Akhirnya L menjawab. Suaranya terdengar serak dan dipenuhi kesedihan. "Rupanya satu-satunya cara untuk meyakinkanmu adalah dengan memberi tahu seluruh dunia tentang rahasiaku. Kau puas sekarang??"     

London tahu betapa sulitnya bagi L untuk membongkar rahasianya, ia bahkan bersedia menikah kontrak dengan Danny Swann demi melindungi rahasia ini, tetapi barusan dengan nekat L malah menghubungi jurnalis dan dengan blak-blakan ia mengonfirmasi bahwa ia memang hamil dan melahirkan anak beberapa bulan lalu.     

Ia menatap L dengan pandangan tidak percaya. Ternyata L memang mencintainya...     

"L... aku mencintaimu, kau tahu itu..." kata pria itu dengan suara pelan, tetapi nadanya bersungguh-sungguh. "Aku tidak mau menjadi suami simpanan. Aku tidak mau laki-laki di luar sana mendekatimu karena mengira kau masih single. Aku ingin kau bangga padaku dan Lily dan tidak menyembunyikan kami..."     

"Kalau aku tidak mencintai kalian, aku sudah pergi sejak melahirkan Lily tiga bulan yang lalu. Kau ini buta atau bodoh??? Aku masih di sini, kan?" Suara L terdengar lelah sekali. Air mata kembali bercucuran menuruni pipinya. "Aku hanya berusaha untuk tetap hidup normal dan menjalani karierku sebaik-baiknya... Kenapa aku harus dipaksa memilih? Artist lain boleh menyembunyikan kehidupan pribadi mereka karena alasan privasi.. kenapa aku dipaksa harus membuka diri? Kau sepertinya hanya puas kalau aku sudah kehilangan karierku..."     

"Bukan begitu... Kau tahu aku selalu mendukungmu sejak awal. Aku bahkan membeli Briliiant Mind Media demi mengorbitkanmu. Aku ingin kau bahagia dengan menjadi artist terkenal karena sedari awal kau selalu mengatakan betapa kau ingin menjadi penyanyi terkenal. Kau sangat berbakat dan kau pantas menjadi superstar..." London akhirnya menurunkan L ke lantai agar ia dapat menghapus air mata gadis itu.     

Sungguh, air mata L selalu membuat hatinya hancur. Ia lebih suka melihat L marah-marah.     

"Itu lagi. Kau pikir bagaimana perasaanku kalau orang-orang tahu bahwa aku mendapatkan semua yang kumiliki sekarang karena belas kasihan orang lain, bukan karena kemampuan dan bakatku sendiri? Kau tahu orang-orang di dunia hiburan itu sangat jahat. Mereka tidak segan-segan menghancurkan karier orang lain dengan gosip...     

Kadang aku sendiri tidak yakin apakah aku memang berbakat. Aku tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk meraih sesuatu dengan tanganku sendiri... Sedari awal, sejak aku dikontrak Brilliant Mind Media, jalanku dibuat begitu mulus dan hanya dalam waktu kurang dari setahun aku sudah menjadi superstar. Kau tahu berapa banyak orang yang menggosipkanku tidur dengan bos gara-gara itu? Kau tahu bagaimana rasanya masuk ke dalam ruangan dan orang-orang menertawakanmu diam-diam??"     

L tidak menepis tangan London yang mengusap air matanya, tetapi entah kenapa butir-butir bening itu tidak jua berhenti mengalir, malah semakin deras. Ini adalah pertama kalinya L meluapkan semua isi hatinya yang dipenuhi kekesalan akibat berbagai hal yang terjadi selama setahun terakhir.     

"Kau memang berbakat. Jangan pernah kau ragukan dirimu..."     

"Di dunia yang keras ini, bakat saja tidak cukup. Kau pikir kenapa aku sampai mau bergaul dengan Stephan Zimmerman busuk itu? Kau perlu bekerja keras dan mencari koneksi yang tepat untuk membantumu berhasil di dunia hiburan..." kata L lagi.     

"Kalau kau sebegitu nekat hingga mengharapkan Stephan brengsek itu untuk membantu kariermu, kenapa aku tidak boleh menjadi koneksi semacam itu?" tanya London tidak mengerti. "Aku merasa seolah apa pun yang kulakukan untukmu tidak ada yang benar."     

"Kau tidak normal... Wajar untuk menggunakan koneksi semacam Stephan untuk membantumu membuka jalan bertemu banyak orang, mengusahakan mendapat berbagai proyek dan kontrak, bekerja keras... Tapi denganmu, tidak begitu yang terjadi. Kau bukan koneksi seperti itu." L tampak putus asa berusaha menjelaskan maksudnya. Ini bukanlah hal yang mudah untuk dijelaskan, dan L tidak berbakat mengolah kata-kata. Ia adalah seorang gadis pendiam yang tidak  bicara kalau tidak perlu dan hari ini ia telah bicara terlalu banyak.     

"Lalu aku ini koneksi seperti apa?"     

"Uhh... kau itu seperti Sinterklas yang mengabulkan semua keinginanku. Aku tidak perlu harus bekerja dan melakukan apa pun tetapi semua yang kuinginkan akan tercapai. Aku tidak perlu berusaha mendapatkan kontrak atau proyek atau apa pun, semuanya dilempar ke pangkuanku dengan begitu mudahnya... Ini membuatku tertekan. Aku merasa kerja kerasku tidak ada artinya..."     

Ya Tuhan.. L ini memang aneh, pikir London bingung. Orang lain pasti akan senang hati bila bertemu Sinterklas yang akan mengabulkan semua keinginannya, tetapi gadis ini malah merasa tertekan.     

"Aku tidak tahu semua kebaikanku membuatmu tertekan..." kata London akhirnya. "Aku hanya ingin membuatmu bahagia..."     

L menghela napas.     

"Apakah kau pernah ikut pertandingan?" tanyanya akhirnya. "Pertandingan olahraga, cerdas-cermat... atau apa pun?"     

London menggeleng. Ia tumbuh tanpa mengikuti pendidikan formal di sekolah seperti anak-anak lain sehingga ia tidak punya banyak teman. Ia hanya melihat pertandingan semacam itu di TV.     

"Aku pernah lihat yang seperti itu. Kenapa memangnya?"     

"Bagaimana kalau kau ikut suatu pertandingan, dan kau berlatih keras untuk menunjukkan kemampuanmu, tetapi di hari pertandingan orang tuamu langsung mengumumkan kepada semua peserta bahwa kau adalah pemenangnya dan memberimu piala di depan semua anak lain yang bertanding. Kau pikir bagaimana perasaanmu? Apa kata anak-anak lain yang menyaksikannya? Kau mengerti sekarang?"     

London terdiam. Ia mulai mengerti sudut pandang L.     

"Kau merasa bahwa semua kerja keras dan bakatmu tidak ada gunanya karena aku selalu memberimu apa yang kau inginkan? Semua kontrak dan proyek menyanyi dan promosi itu membuatmu susah?" tanyanya pelan.     

L mengangguk. "Anak-anak lain yang melihatku mendapat piala tanpa harus bekerja keras juga menjadi benci kepadaku... Aku tidak punya teman."     

"Oh..." London mendesah. Ia tidak tahu ini. "Maafkan aku kalau aku membuatmu merasa begitu. Aku tidak tahu."     

"Sekarang kau tahu,"  balas L. Ia juga mendesah. Entah kenapa beban berat di dadanya mulai menghilang. Ia merasa lega karena akhirnya bisa mengungkapkan isi hatinya kepada pemuda di depannya ini. Mereka hidup bersama cukup lama, tetapi keduanya tidak pernah bicara dari hati ke hati seperti ini.     

"Aku senang kau akhirnya memberitahuku. Aku tidak bisa membaca pikiran, L..." kata London kemudian.     

"Kita memang punya masalah komunikasi yang sangat buruk," balas L.      

"Sangat buruk..." London mengangguk setuju.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.