The Alchemists: Cinta Abadi

Rumah Masa Kecil



Rumah Masa Kecil

3L terbangun ketika pesawat mereka sudah mendarat di Bandara Orly, Paris. Karena mereka tidak terburu-buru, London membiarkan gadis itu tidur sampai ia bangun sendiri.     

"Heii.. kenapa aku tidak dibangunkan?" tanya L keheranan saat ia membuka mata dan menyadari dirinya masih berbaring di tempat tidur di dalam pesawat.     

"Tidurmu pulas sekali, aku mana tega?" London balik bertanya. Ia mengusap pipi L dan membantunya duduk di tempat tidur. "Mau turun sekarang?"     

L mengangguk. Ia menurunkan kakinya dari tempat tidur dan dengan sigap London memasangkan sepatunya. Tindakan pria itu membuat L termangu dan pipinya memerah. Ia tidak mengira London bisa lebih memanjakannya dari yang sudah-sudah. Dalam hati ia menjadi bertanya-tanya apakah ini karena mereka sudah 'berdamai' dan tidak ada lagi rasa sungkan di antara keduanya...     

Ah, apa pun itu, L sangat bersyukur ia dan London akhirnya mengesampingkan ego mereka dan memilih untuk berkompromi dan menikah, karena bagaimanapun mereka saling mencintai.     

"Terima kasih..." L tersenyum sambil tersipu malu. London sangat senang melihat sejak kemarin L banyak tersenyum. Ia ingat dulu gadis ini sangat pelit dengan senyumannya. Selain cepat marah dan pendiam, ia juga tidak ramah. Tetapi kini pelan-pelan ia bisa melihat istrinya menjadi lebih bahagia dan hangat.     

"Ayo kita turun ke kota. Rumah yang ingin kutunjukkan kepadamu ada di kota lain, jadi tadi kita naik pesawat."     

London menjelaskan sebelum L bertanya. Ia berharap L tidak langsung menebak bahwa rumah yang ingin ditunjukkan London kepadanya adalah rumah orang tuanya di Paris. L jarang pergi ke Paris, hanya beberapa kali ke sini untuk show, maka tentu ia tidak terlalu mengenali situasi kotanya.     

L mengangguk. Ia turun dari pesawat dalam gandengan tangan London. Marc sudah menunggu di runway dengan keranjang car seat berisi Lily yang sedang tidur. Mereka masuk ke mobil  yang menjemput. Car seat Lily segera dipasangi seatbelt dengan perlahan agar tidak membangunkannya. Setelah semua siap, mobil itu pun melaju ke tengah kota Paris.     

Rumah keluarga De Maestri terletak di gedung apartemen di wilayah Arr 1. London sengaja membeli seluruh gedung apartemen itu agar memudahkannya untuk melakukan renovasi. Para penghuni apartemen yang lain tetap dibiarkan tinggal di unit masing-masing. Mereka bahkan tidak tahu bahwa pemilik gedung telah berganti.     

"Kau pasti akan suka kejutanku..." kata London dengan setengah berbisik.     

L mengangguk. Ia percaya bahwa apa pun yang dilakukan suaminya pasti menyenangkan. Ia belum pernah dikecewakan oleh pria itu kalau ia berniat memberi L hadiah. Lihat saja rumah mereka di Grunewald, anjing beagle mereka Yves, piano Stenway yang ada di ruang tamunya... dan masih banyak lagi.     

"Terima kasih," L mencium bibir pria itu dan mengusap pipinya. "Aku sangat beruntung."     

"Itu hadiah pernikahan..." London melanjutkan kata-katanya. "Aku sudah lama membelinya. Hanya menunggu saat yang tepat untuk memberikannya kepadamu."     

L menjadi semakin tidak sabar saat mendengar penjelasan London. Ia melayangkan pandangannya ke luar jendela mobil dan berusaha mengira-ngira lokasi mereka berada.     

"Astaga...!" L segera menelengkan kepalanya ke kiri dan menekap bibirnya karena terkejut. Ia telah melihat nama-nama toko dan gedung dalam bahasa Prancis, dan segera di sebelah kirinya ia dapat melihat Menara Eiffel menjulang di kejauhan. Ia segera menoleh ke arah London dengan sepasang mata membulat besar. "Kita.. kita di Paris??"     

London mengangguk. "Benar."     

L seketika terdiam. Ia tidak berani bertanya lagi. Ia menduga London hendak membawanya ke rumah orang tuanya...     

Tetapi ia tentu akan malu kalau ia menanyakan apakah memang London membeli rumah orang tuanya, padahal ternyata dugaannya salah. Karena itu L memutuskan diam... dan menunggu. London mengerti apa yang dipikirkan L dan ia pun tidak berkata apa-apa. Ia hanya menggenggam tangan gadis itu dan membiarkannya merenung. London tidak mau merusak kejutannya sendiri.     

Mobil yang membawa mereka kemudian berhenti di depan sebuah gedung apartemen cantik di pinggir jalan yang cukup sepi. Terlihat bahwa ini memang daerah pemukiman. Ada beberapa kafe dan restoran di ujung jalan dan supermarket di ujung jalan yang satu lagi.     

Marc dan beberapa anak buahnya sudah lebih dulu turun dari mobil mereka dan mengamankan daerah itu sebelum London dan keluarga kecilnya melangkahkan kaki turun dari mobil yang membawa mereka.     

Begitu L menjejakkan kaki di depan gedung apartemen itu, seketika matanya terpaku dan tubuhnya menjadi lunglai. Dugaannya benar!     

Ia menoleh ke arah London yang menatapnya dengan pandangan sendu. Pria itu mengangguk dan perlahan-lahan mengusap air mata L yang tiba-tiba membanjiri pipinya.     

"Ini.. rumah orang tuaku..." bisik L dengan suara serak.      

"Benar... aku membeli gedung ini dan merenovasi unit di lantai dasar, tempat keluarga kalian dulu tinggal." London akhirnya mengeluarkan sapu tangan dari sakunya karena air mata gadis itu mengalir semakin deras. "Ayo kita masuk dulu. Di luar sini suhunya cukup dingin."     

Ia menggandeng L dengan tangan kirinya, sementara tangan kanan menggotong keranjang bayi berisi Lily yang sudah terbangun dan mulai cemberut kedinginan. Dengan tubuh gemetar L masuk ke dalam gedung dan Marc dengan sigap membukakan pintu apartemen untuk mereka. Setelah ketiganya masuk, ia lalu menutup pintu dan berjaga di luar.     

L berjalan perlahan-lahan memasuki ruang tamu rumah keluarganya yang telah direnovasi dengan indah, namun tetap meninggalkan sebagian besar bentuk aslinya. Ia tercenung menatap foto keluarga yang terpajang di atas perapian. Ada ayahnya, ibunya yang keturunan Jepang, dan adik laki-lakinya yang masih bayi dalam pangkuan ibunya. L sendiri tampak tersenyum manis dalam pangkuan ayahnya.     

L berkali-kali mengusap matanya dengan sapu tangan, berusaha menahan diri agar tidak menangis terlalu pedih karena takut kesedihannya akan berdampak pada kualitas ASI yang ia berikan kepada Lily, tetapi ia tak kuasa juga akhirnya menangis terisak-isak di depan perapian saat ia mengambil foto itu dan memeluk di dadanya.     

"Ayaaah.... Ibu..." tangisan gadis itu terdengar sangat pedih.     

L jarang menangis sejak ia kecil. Ia telah belajar bahwa menangis tidak akan membuat perubahan apa pun dalam hidupnya. Ia telah memaksa dirinya untuk menjadi gadis yang kuat dan tabah, serta mendedikasikan hidupnya untuk mencari tahu pembunuh keluarganya dan membalas dendam.     

Tubuhnya terjatuh ke lantai saat tenaganya menghilang dan ia menagis tersedu-sedu sambil meringkuk. London segera menghampirinya dan mengusap-usap rambut L dengan penuh kasih sayang.     

Ia sadar, mungkin sudah sangat lama sejak L terakhir kali menangisi keluarganya, dan kini semua kepedihannya yang sudah bertumpuk selama bertahun-tahun akhirnya keluar bagaikan sungai yang meluap.     

Ia membiarkan L menangis hingga air matanya kering, sambil terus setia mengusap-usap rambut dan punggungnya. Ketika akhirnya tangisan gadis itu berhenti, L sudah merasa lebih tenang. Ia bangun dan duduk di lantai sambil memeluk lututnya.     

Pandangannya diedarkan ke sekeliling ruangan dan ia menemukan lebih banyak foto keluarga di situ. Lalu ada beberapa barang yang masih diingatnya sebagai peninggalan ayah dan ibunya. Perabotannya sudah diperbarui dan tampak lebih indah, tetapi secara keseluruhan L masih mengingat apartemen ini sebagai apartemen orang tuanya.     

Ia merasa sedih sekaligus bahagia berada kembali di rumah masa kecilnya.     

"Aku.. ingin mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas kematian keluargaku..." bisik L sambil menatap London dengan pandangan memohon. "Aku tahu... aku sudah bilang hendak melupakan dendamku... Tetapi aku tidak rela... orang tua dan adikku dibunuh begitu saja.. tanpa melakukan sesuatu..."     

London mengangguk. Ia menaruh keranjang Lily di sofa lalu membantu L duduk di sofa di samping Lily.     

"Aku tahu siapa yang membunuh keluargamu dan apa motifnya..." kata pria itu dengan suara lembut. L menatapnya lekat-lekat.     

"Apakah ini ada hubungannya dengan warisan keluarga Swann?" tanya gadis itu dengan suara serak. Ia mendapatkan dugaan ini ketika melihat wajah Danny yang murka saat mengetahui L meminta setengah harta warisannya.     

London selalu tahu L adalah seorang gadis yang cerdas, maka ia tidak heran ketika mengetahui istrinya bisa menebak ke arah itu.     

Ia mengangguk. "Kau benar."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.