The Alchemists: Cinta Abadi

Membicarakan Masa Depan



Membicarakan Masa Depan

0Author's note:     

Di akhir bab ini ada sedikiiiit adegan agak panas tapi nggak full plus-plus. Mohon kebijakannya saat membaca.     

.     

>>>>>>>>>>>>     

Mereka makan malam dalam suasana yang entah kenapa menjadi terasa hangat dan romantis. Seperti biasa, keduanya tidak banyak bicara, tetapi Fee dapat merasakan kehangatan dan perhatian dari Ren kepadanya.     

Setelah selesai makan, Ren mengundang Fee untuk duduk berbincang-bincang di perpustakaan sambil menikmati port yang manis. Port adalah sejenis red wine manis khas Portugal.     

"Port ini hadiah pribadi dari salah seorang anggota delegasi konferensi. Beliau adalah mentri lingkungan hidup Portugal dan memiliki kebun anggur sendiri di Porto. Ia membawakannya khusus untukku," kata Ren sambil menuangkan port ke gelas Fee. "Aku merasa port spesial ini harus dinikmati bersama orang yang spesial juga."     

"Ahh.. terima kasih," kata Fee. Ia menunggu hingga Ren selesai menuang port untuk dirinya sendiri dan kemudian mereka bersulang.     

"Aku sudah bicara dengan Amelia dan ia akan menyiapkan semuanya untuk kita bepergian ke Monaco," kata Ren. "Jadwalku mulai longgar minggu depan. Sementara itu, kau bisa menyenangkan dirimu sendiri. Kau bisa berkebun, merajut, membaca, atau mencari sekolah... Apa pun yang kau inginkan. Aku akan sibuk bekerja."     

"Baiklah," Fee mengangguk. "Apakah Amelia akan ikut kita ke Monaco?"     

Ia penasaran ingin melihat seperti apa sekretaris pribadi Ren ini. Apakah Amelia cantik? Dari namanya, ia terdengar seperti seorang gadis cantik...     

"Tidak. Amelia akan mengurusi pekerjaanku di sini. Aku tidak membutuhkannya di Monaco," jawab Ren.     

"Oh... begitu ya?" Fee merasa sedikit lega karena Amelia tidak ikut mereka, tetapi di satu sisi ia masih penasaran ingin tahu seperti apakah orangnya yang bekerja dekat dengan Ren selama ini.      

Namun demikian, akhirnya Fee memutuskan untuk tidak bersikap berlebihan dan tidak akan bertanya-tanya tentang Amelia sebelum Ren memperkenalkan mereka secara langsung.     

"Setelah kita menikah, apa yang ingin kau lakukan?" tanya Ren.     

"Uhm... aku mau mencari sekolah. Aku ingin melanjutkan pendidikanku agar..." Fee terdiam. Ia sangat ingin menjadi gadis yang berpendidikan agar ia dapat mengimbangi Ren. Ia tidak ingin membuat pria itu malu karena memiliki istri yang udik dan tidak sekolah.     

"Kenapa diam?" tanya Ren keheranan. "Aku senang kalau kau ingin belajar. Kau tentukan saja ingin belajar apa, aku akan membantumu masuk sekolah."     

"Terima kasih," kata Fee sambil mengangguk. "Aku ingin belajar sastra. Aku suka membaca. Lagipula aku mengerti beberapa bahasa. Rasanya akan menyenangkan untuk membandingkan karya sastra dari beberapa budaya dan bahasa berbeda."     

"Kedengarannya bagus," Ren mengangguk setuju. "Aku lebih menyukai ilmu pengetahuan alam seperti fisika dan luar angkasa."     

Fee tahu Ren bekerja di SpaceLab sebelum ia diminta pulang ke Moravia oleh keluarga besarnya. Pria itu sangat terkenal di dunia sebagai profesor termuda yang memimpin divisi Space Exploration di SpaceLab. Ia menggunakan nama Ren Hanenberg tanpa embel-embel status bangsawannya dan berhasil menyembunyikan identitasnya selama bertahun-tahun.     

"Apakah kau merindukan kehidupanmu yang lama?" tanya Fee dengan penuh perhatian. Ia tahu Ren tidak menginginkan kekuasaan dan berharap bisa melepaskan diri dari kewajiban sebagai penerus takhta keluarga kerajaan Moravia. Fee ingin tahu apakah sebenarnya Ren ingin kembali ke SpaceLab.     

Ren tidak menjawab untuk beberapa lama. Wajahnya tampak berpikir dan mengingat sesuatu. Ia kemudian menggeleng.     

"Aku tidak merindukan kehidupanku yang lama. Ada begitu banyak hal yang ingin kulakukan di masa depan," jawab Ren akhirnya. "Kau akan menjadi bagian dari itu semua."     

"Oh.." Fee mengangguk senang mendengar kata-kata Ren. Apa pun yang ingin dilakukan pria itu, selama Fee ada di dalamnya, gadis itu akan merasa sangat senang.     

"Jadi.. kau akan bersekolah dan belajar tentang Sastra?" Ren mengonfirmasi rencana Fee. Ia menuangkan port lagi ke gelas mereka.     

Fee mengangguk. "Benar. Aku ingin menjadi gadis berpendidikan agar aku tidak membuatmu malu."     

"Kau tidak akan membuatku malu," kata Ren sambil tersenyum.     

"Uhm.. bukan hanya itu.. maksudku.. nanti kalau kita punya anak, aku ingin dapat mendidik mereka dengan baik," kata Fee. Wajahnya seketika dijalari rona kemerahan. Ia sungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia ingin mampu menjadi ibu yang baik, yang akan dapat mendidik anak-anak mereka nanti.     

Namun, membicarakannya dengan Ren membuatnya tersipu. Ren telah meminta Fee untuk menjadi istrinya, tetapi mereka belum membahas tentang hal teknis sama sekali. Di mana mereka akan tinggal dan apakah mereka ingin mempunyai anak.     

"Kau mau punya anak?" tanya Ren tiba-tiba. Ia sudah melihat wajah tersipu Fee dan menganggapnya tampak menggemaskan.      

"Uhm.. kau tidak?" Fee bertanya balik. Dalam pikirannya, setelah pasangan menikah, tentu merupakan hal yang wajar untuk memikirkan tentang anak.     

"Hmm..." Ren menarik napas panjang dan menatap Fee dalam-dalam. Ia lalu meraih gadis itu dan mendudukkannya di pangkuannya.      

Fee terheran-heran melihat sikap Ren. "Apakah kau tidak menginginkan anak?"     

Ren menggeleng. "Bukan begitu. Aku hanya merasa kita belum siap menjadi orang tua. Kau lupa bahwa kita harus menyembunyikan hubungan kita selama aku belum dapat melepaskan statusku sebagai pewaris takhta Moravia?"     

"Oh..." Fee mengangguk paham. Ia mengerti sudut pandang Ren. Tentu akan sulit bagi mereka jika Fee sampai melahirkan anak, sementara Ren belum mengumumkan pernikahannya. Keluarga kerajaan pasti akan merasa tersinggung dan ini bisa meluas menjadi sebuah skandal.     

"Beri aku waktu paling lama lima tahun untuk memastikan sepupuku melahirkan anak laki-laki dan aku bisa mengundurkan diri."     

"Lima tahun?" Fee mengulangi kata-kata Ren. Dalam hati ia merasa lima tahun terlalu lama.     

"Aku akan berusaha mempercepatnya.. kuharap kau mau bersabar. Tapi sementara itu.. kita tidak bisa punya anak dulu."     

Fee segera mengangguk. Ia tidak ingin membuat Ren mengalami kesulitan. Pria itu dapat memilih jalan yang lebih mudah dengan sama sekali tidak menikahinya.. tetapi ia memilih untuk bersama Fee.     

"Aku akan bersabar," kata Fee dengan penuh pengertian. "Yang penting aku bersamamu."     

"Terima kasih atas pengertianmu," kata Ren. Ia mencium bibir merah Fee yang mungil dan memeluk pinggangnya.     

Mereka lalu membahas sedikit tentang rencana kepergian mereka ke Monaco dan apa yang ingin mereka lakukan setelah menikah. Fee masih tak dapat mempercayai bahwa sebentar lagi ia akan menikah dengan Ren Hanenberg...     

Setelah menghabiskan port mereka dan bersantai, keduanya lalu memutuskan untuk beristirahat.     

"Uhm.. kau mau tidur di mana?" tanya Fee saat mereka beranjak dari perpustakaan.     

Ia ingat bahwa tadi malam saat Ren menggendongnya ke kamar, pria itu malah berakhir tidur di kamar Fee bersamanya. Tetapi ia tidak dapat membayangkan Ren berbagi kamar dengannya secara permanen karena kamar tempat Fee tinggal sekarang cukup feminin. Seorang laki-laki dewasa seperti dirinya pasti lebih menyukai kamar yang elegan dan maskulin.     

"Kau maunya aku tidur di mana?" tanya Ren sambil tersenyum.     

"Uhm.. kamarku, terlalu... uhm.. feminin," kata Fee.      

"Hmm.. sebetulnya aku tidak pernah peduli dengan desain sebuah kamar, aku jarang tidur di kamarku," Ren mengangkat bahu. "Tetapi.. sejak aku bertemu denganmu.. aku selalu bisa tidur dengan baik, terlepas dari di mana pun tempatnya. Selama itu bersamamu.. rasanya aku tidak terlalu peduli dengan tempatnya."     

Fee ingat bahwa Ren pernah tinggal dua hari di rumah neneknya saat membantu Fee dengan urusan pemakaman. Pria itu sama sekali tidak mengeluh. Ah, mungkin memang benar. Bagi Ren kamarnya sama sekali tidak penting.     

"Baiklah.. kalau begitu, kita bisa tidur di kamarku," kata Fee tersipu-sipu. "Nanti setelah kita menikah, aku akan memikirkan desain kamar yang cocok untuk kita berdua."     

"Aku suka itu," kata Ren dengan suara gembira. Ia memeluk pinggang gadis itu dan secara spontan mengangkat tubuhnya untuk digendong ke kamar.     

Fee berusaha keras menahan jeritan kagetnya karena digendong tiba-tiba. Ia malu kalau sampai Linda dan keempat pelayan lainnya melihat mereka.     

"Kau tidak usah malu, semua pelayan di sini sangat menghormati privasiku," kata Ren sambil mencium pipi Fee dan terus berjalan menuju kamar gadis itu.     

Dalam hati Fee berusaha mengira-ngira sudah berapa banyak gadis yang dibawa Ren ke rumahnya yang maha luas ini.     

"Sebelum kau bertanya-tanya, aku belum pernah membawa gadis lain ke sini sebelumnya," kata Ren tiba-tiba seolah dapat membaca pikiran Fee. "Hanya Amelia yang pernah ke sini. Dia sekretaris pribadiku dan banyak berurusan dengan staf rumah."     

Fee berusaha melupakan tentang Amelia karena ia tidak ingin cemburu kepada gadis yang belum pernah ditemuinya itu. Lagipula.. ia harus lebih percaya diri. Ren telah memutuskan untuk menikah dengannya. Pria itu memilihnya. Kalau memang ada apa-apa di antara Ren dan Amelia, bukankah seharusnya mereka telah berhubungan atau menikah sebelum Fee hadir dalam kehidupan Ren?     

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Ren sambil meletakkan tubuh Fee di atas tempat tidur. Ia lalu duduk di tepi pembaringan dan membantu melepaskan sepatu gadis itu. Kemudian Ren juga melepaskan sepatunya sendiri. Ia lalu membuka satu persatu kancing kemejanya.     

Fee yang melihat perbuatan Ren seketika menelan ludah. Sepertinya mereka tidak akan langsung tidur, pikirnya.     

"Aku hanya memikirkan tentang rencana pernikahan kita," jawab Fee berbohong. Ia tidak ingin terdengar seperti calon istri yang cemburu buta.     

"Hmm.. aku senang mendengarnya," kata Ren sambil melepaskan kemeja hitamnya, menunjukkan tubuh bagian atasnya yang kukuh dan bidang.     

Ia lalu berbaring di samping Fee dan mencium bibir gadis itu dengan hangat, sementara tangannya menjalar perlahan menelusuri kulit gadis itu, dari lehernya, turun ke bahu.. lalu dada... dan kemudian menarik turun tali gaun gadis itu.. menunjukkan dadanya yang penuh.     

Fee tak dapat menahan desahannya saat tangan kanan Ren mengusap-usap payudara kirinya dan mempermainkan putingnya yang tampak mengeras. Pria itu tersenyum dan mencium Fee lagi. Tangan kirinya menarik turun gaun Fee hingga lepas dari ujung kakinya dan menampilkan seluruh tubuh gadis itu yang kini hanya dibalut pakaian dalam sutera.     

Ciuman Ren perlahan-lahan turun dari bibir Fee ke lehernya yang jenjang, ke ceruk lehernya, dan kemudian mendarat di payudara kanan gadis itu. Dengan rakus ia lalu menikmati payudara kanan Fee yang tersaji di depannya, sambil tangannya tak henti-hentinya meremas payudara Fee yang sebelah kiri.     

Fee benar-benar memiliki tubuh yang sempurna, pikir Ren. Ia belum pernah bertemu wanita yang lebih cantik dan lebih seksi dari gadis desa ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.