The Alchemists: Cinta Abadi

Tidak Mengangkat Telepon



Tidak Mengangkat Telepon

0Fee mengerutkan keningnya membaca SMS dari Ren. Ia tidak mengerti mengapa Ren tidak mau membiarkannya pergi. Ia sudah sangat jelas mengatakan ingin bercerai, tetapi rupanya suaminya menganggap ia tidak serius dan akan kembali kepadanya suatu hari nanti.     

Hmm... tetapi Ren akan ke Monaco. Sebenarnya Fee bisa menggunakan kesempatan ini untuk mengurus perceraiannya diam-diam. Ia bisa memanfaatkan tumpangan gratis untuk ke sana dan kemudian mendaftarkan perceraian.     

Ia lalu membuka komputernya dan memeriksa prosedurnya untuk bercerai di Monaco. Ugh... ia tetap harus mencari pengacara di negeri serba mahal itu. Rasanya Fee juga tidak akan sanggup.     

Ia memeriksa bahwa bercerai di Rumania ternyata jauh lebih mudah dan murah. Mungkin ia akan dapat memaksa Ren untuk bercerai di Rumania begitu ia sudah mengumpulkan cukup uang. Ahh... seharusnya ia memang tidak terburu-buru menikah waktu itu.     

Menikah lebih mudah daripada bercerai, pikir Fee dengan sedih.     

Ia tidak membalas SMS Ren sama sekali dan memutuskan untuk beristirahat. Ia mengirim SMS kepada Sam dan Mischa untuk memberi tahu mereka bahwa ia sedang sakit dan tidak dapat datang ke kantor untuk bekerja.     

[Aku akan menyelesaikan tugas-tugasku di rumah. Semoga Bos tidak keberatan.] tulisnya di SMS kepada Mischa.     

Tidak lama kemudian SMS balasan dari Mischa masuk. Seperti biasa, pria itu bersikap sangat pengertian.     

[Sebaiknya kau beristirahat atau memanggil dokter. Tidak usah bekerja. Ini sudah hampir masuk masa liburan. Sampai jumpa minggu depan.]     

Fee tersenyum membaca balasan dari Mischa. [Terima kasih banyak, Bos. Selamat liburan bersama keluarga.]     

Fee merasa tubuhnya benar-benar lemah dan ia harus memaksa dirinya untuk makan sesuatu agar ia dapat menelan obatnya. Rasa mual yang hinggap di tenggorokannya terasa sangat menyiksa.     

Fee kembali muntah di kamar mandi. Ia benar-benar merasa tersiksa. Ketika ia kembali ke kamarnya untuk beristirahat, ia tak dapat menahan diri dan menangis terisak-isak.     

***     

Ren memandangi ponselnya dengan kening berkerut. Fee sama sekali tidak membalas SMS-nya. Ia benar-benar tidak mengira Fee begitu keras kepala. Sepertinya gadis itu benar-benar sudah bulat bertekad ingin berpisah darinya.     

"Ren... istana meneelepon. Mereka ingin memastikan bahwa kau benar-benar tidak mau datang ke pesta Natal di istana. Kau sudah melewatkannya tahun lalu. Aku mengerti saat itu kau baru menikah dengan perempuan itu dan tidak ingin membuatnya merasa sendirian, tetapi tahun ini ia sudah pergi. Tidak ada alasan bagimu untuk tidak datang ke acara di istana." Amelia menyentuh bahunya dan bertanya dengan suara penuh kekuatiran. "Caroline dan suaminya sudah berhasil hamil. Mereka sangat yakin embryo yang ditanam itu adalah laki-laki. Mereka akan mengetahui beberapa bulan lagi apakah anaknya lelaki atau perempuan. Apa kau tidak kuatir mereka akan menginginkan takhta Moravia untuk anaknya itu?"     

Ren memiringkan tubuhnya sedikit sehingga tangan Amelia terlepas dari bahunya. Wajahnya sama sekali tanpa ekspresi. "Jangan sentuh aku kalau aku sedang berpikir."     

Amelia tersentak dan secara refleks berjalan mundur. Ia segera sadar bahwa suasana hati Ren sedang sangat buruk.     

Apakah ini karena tidurnya kembali bermasalah?     

"Aku tidak sengaja. Maafkan aku," kata gadis itu. "Jadi, aku harus jawab apa kepada pihak istana?"     

"Katakan aku akan datang ke pesta tahun baru. Nanti sore aku akan berangkat ke Monaco mengurus sesuatu," jawab Ren.      

"Hmm... baiklah," Amelia hanya bisa mengalah. "Aku akan meyakinkan mereka bahwa kau akan datang pada pesta tahun baru nanti."     

Amelia memandang Ren dengan wajah sedih dan kemudian berjalan keluar dari penthouse.     

Sebenarnya ia senang Ren pindah tinggal ke penthouse, karena itu berarti Amelia bisa sering-sering mendatanginya. Sejak Ren menikah dengan wanita kampungan itu, Amelia tidak boleh lagi datang ke rumah pribadi Ren. Hal itu benar-benar membuat harga diri Amelia tersinggung.     

Kurang ajar sekali Fee itu meminta Ren mengusir Amelia dari rumahnya. Ughhh....!     

Dulu sewaktu ia masih kecil, Amelia sering bermain dan bahkan menginap di rumah Ren. Saat itu ibunya masih hidup dan selalu memperlakukannya seperti putrinya sendiri. Rumah Ren dulu adalah rumah kedua bagi Amelia.     

Amelia mengusap matanya dan berjalan keluar dengan langkah anggun.     

Ia sudah mencintai pria ini sejak mereka masih kecil, tetapi hingga 20 tahun saling mengenal, Amelia selalu harus menahan sakit hati atas perlakuan Ren kepadanya.     

Oh.. mengapa ia tidak bisa mencintai laki-laki lain? Sebenarnya ia sudah mencoba berkencan dengan banyak pemuda saat ia kuliah di universitas, tetapi tidak ada satu pun yang membuatnya dapat melupakan perasaannya kepada Ren.     

Setelah bertahun-tahun mencoba menghindari perasaannya sendiri, akhirnya Amelia menyerah dan menyadari bahwa ia tidak dapat perg dari Ren. Ia pun pindah kuliah ke kampus tempat Ren mengajar hanya agar ia dapat melihat Ren setiap hari.     

Sayangnya, Ren tidak dapat mencintainya. Ini bukan karena Amelia memiliki suatu kekurangan pun. Ia sangat cantik dan juga cerdas. Ia berasal dari keluarga bangsawan terpandang di Moravia dan ibu mereka bersahabat. Ia juga sudah mengenal Ren sejak kecil.     

Bukankah ini merupakan resep sempurna untuk terciptanya benih-benih cinta di antara dua manusia?     

Sayangnya benih cinta itu selalu hanya satu arah, karena Ren kemudian mengaku bahwa ia adala seorang aromantic yang tidak dapat mencintai manusia lain secara romantis. Ren tidak bermasalah berhubungan seks dengannya, karena ia adalah pria normal, tetapi ia tidak akan pernah dapat mencintai Amelia.     

Awalnya gadis itu mengira Ren hanya mengarang kondisinya, tetapi setelah bertahun-tahun, ia pun sadar bahwa Ren memang tidak dapat mencintai wanita secara romantis. Ia telah menyuruh Amelia pergi karena ia tidak mau memberi harapan palsu kepada gadis itu, tetapi Amelia nekad bertahan.     

Ia hanya ingin mendampingi Ren dan membantunya mencapai semua tujuannya. Walaupun, untuk itu ia harus siap menahan kepedihan di hatinya.     

Setelah Amelia pergi, Ren memencet nomor telepon Fee. Ia ingin sekali bicara kepada gadis itu. Sudah sebulan sejak ia bertemu langsung dengan istrinya ketika Fee datang menemuinya ke sini dan menyatakan ingin bercerai.     

Ren mengakui saat itu kata-katanya sebelum itu terlalu keras. Fee menanyakan kondisi kesehatannya dan apakah ia dapat tidur dengan baik, tetapi dengan angkuh ia mengatakan bahwa ia sudah hidup dengan baik selama 30 tahun sebelum kehadiran Fee.     

Ia sadar kata-katanya itu membuat Fee merasa dirinya tidak penting. Ren tadinya mengira Fee akan bertahan dan kembali bersamanya, tetapi ternyata ia sekarang menyadari ia tidak mengenal istrinya sebaik yang ia kira.     

TUT     

TUT     

Hingga belasan deringan, Fee sama sekali tidak mengangkat teleponnya. Ren mengerutkan keningnya keheranan. Apakah Fee sedang meeting sehingga tidak bisa mengangkat telepon?     

[Telepon aku setelah kau luang.] Ia mengirim SMS ke ponsel Fee.     

Hingga dua jam lamanya, SMS Ren tidak juga dibalas dan tidak ada telepon masuk dari Fee.      

Apakah Fee benar-benar sudah membenciku hingga ia tidak mau lagi mengangkat panggilan telepon dariku? pikirnya keheranan.     

Ren mulai menjadi kuatir. Ia segera mengambil mantelnya dan berjalan keluar dari penthouse. Ia menelepon John dengan singkat sambil berjalan ke arah lift.     

"Siapkan mobil. Kita akan ke Gedung St. Laurent."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.