The Alchemists: Cinta Abadi

Mischa Memasak Makan Malam



Mischa Memasak Makan Malam

1Fee meminta bantuan Marco dari bagian logistik untuk menemaninya memindahkan barang-barangnya dari flat kecilnya ke salah satu kamar di penthouse St. Laurent. Barang-barang Mischa sudah dipindahkan pihak hotel terlebih dulu beberapa jam sebelumnya.     

Saat ia melihat kasur yang baru ia beli beberapa hari sebelumnya dengan uangnya sendiri, Fee merasa sayang. Tetapi ia harus memaksa dirinya merelakan benda itu karena di penthouse ia melihat sudah ada tempat tidur yang sangat mewah.      

Ia tak mungkin membawa-bawa kasurnya ke penthouse kan? Akan sangat memalukan kalau sampai Mischa tahu.     

Marco tampak keheranan melihat ternyata ia ditugaskan untuk membawa barang-barang Fee dari flatnya menuju penthouse mewah di Gedung St. Laurent.     

Apakah Nona Lynn-Miller ini memang simpanan Tuan Rhionen? Mengapa sekarang mereka tinggal bersama?     

Namun demikian, ia menyimpan sendiri pertanyaannya dalam hati. Ia merasa Fee sangat ramah dan tidak pernah mencari masalah dengannya. Maka ia pun tidak akan ikut campur tentang bagaimana Fee, seorang wanita dewasa, menjalani hidupnya sendiri.     

Setelah semuanya beres, Fee menghubungi Mischa dan memberitahunya bahwa penthouse sudah siap huni dan ia dapat pulang kapan saja.     

[Kau sudah makan malam?] Mischa mengirim SMS kepada Fee sebelum ia pulang dari kantor. Fee belum makan, tetapi ia menduga Mischa bertanya hal tersebut karena ingin memintanya menyiapkan makan malam.     

[Belum. Bos mau makan malam di rumah? Bos mau kupesankan makanan dari hotel?]     

[Tidak, malam ini aku mau memasak untuk merayakan tempat tinggal baru.]     

"Eh?" Fee hanya bisa menatap ponselnya dengan keheranan.     

Apa tidak salah? Bos besar RMI akan memasak untuk mereka?     

Seketika dadanya berdegup kencang.     

Apa-apaan ini? Pertama, Mischa menyuruhnya tinggal bersamanya dengan alasan pekerjaan, dan malam ini ia hendak memasakkan makan malam untuk mereka?     

Apakah Mischa menyukaiku?     

Fee tiba-tiba merasa gundah.     

Ia menjadi kuatir dengan ekspektasi Mischa terhadap dirinya.      

Apakah pria itu memang menyukainya? Lalu.. apa maksudnya memasak makan malam ini? Apakah ia ingin Fee tidur dengannya?     

Oh Tuhan...     

Fee berjalan mondar-mandir dengan panik. Ia merasa menyesal pindah ke penthouse ini. Kalau ternyata memang Mischa memiliki motif lain dalam menolongnya... maka ia sudah salah menilai orang.     

Ia benar-benar panik dan berusaha memikirkan sejuta alasan untuk keluar dari tempat itu dan kembali ke flat lamanya. Ia adalah seorang wanita bersuami! Ia belum resmi bercerai dari Ren. Terlebih lagi, ia sekarang sedang mengandung...     

Ia tak mungkin memikirkan berkencan dengan laki-laki lain.     

Ugh... apakah ia sebaiknya memberitahukan kehamilannya kepada Mischa? Kalau bosnya tahu ia hamil, mungkin ia akan kehilangan nafsu dan tidak akan mengejar Fee lagi.     

Gadis itu masih disibukkan dengan berbagai pikiran buruk sambil berjalan mondar-mandir di ruang tamu, ketika Mischa masuk dengan membawa kantong kertas berisi bahan makanan.     

"Kau kenapa?" tanya Mischa keheranan.     

Fee seketika terlonjak kaget. Ia menatap Mischa dengan sepasang mata membulat.     

"Tuan... aku masih mencintai suamiku. Kami memang sudah berpisah, tetapi aku tidak ingin berkencan dengan siapa pun. Aku hanya ingin bekerja mencari uang halal," kata Fee dengan suara memohon.     

"Itu tekad yang bagus," kata Mischa sambil mengangguk dan berjalan menuju dapur. "Tolong ambilkan red wine dari lemari, ya."     

Fee terkesima melihat Mischa sama sekali tidak mempedulikan permohonannya barusan. Apa dia bilang tadi? Itu tekad yang bagus?     

Berarti Mischa setuju kalau Fee tidak ingin berkencan dengan siapa pun?     

Gadis itu menjadi sangat bingung. Namun, dengan patuh ia mengambilkan sebotol red wine dari lemari penyimpanan wine.     

Ketika ia masuk ke dapur, langkahnya terhenti di ambang pintu. Ia belum pernah melihat seorang pria memasak sebelumnya.     

Ren tidak pernah memasak untuknya atau mereka berdua karena ia selalu dikelilingi pelayan. Fee bahkan tidak tahu apakah suaminya dapat memasak.     

Tadinya ia mengira Mischa juga seperti itu, mengingat ia adalah seorang petinggi RMI yang pasti juga bergelimang dengan kekayaan berlimpah. Maka melihat pria itu mengenakan apron di pinggang dan memotong sayuran, Fee benar-benar menjadi terkesan.     

"Kemarikan wine-nya," kata Mischa tanpa menoleh. Ia mengulurkan tangannya menerima wine yang segera diserahkan Fee.      

Dengan cekatan Mischa membuka penutup wine dan menuang sedikit ke gelas.     

"Hmm.. ini enak," katanya. Ia lalu menyiapkan panci dan dua buah daging steak besar dan dengan cepat menyiapkan sausnya. "Memasak itu paling menyenangkan kalau sambil minum wine dan mengobrol."     

"Uhmm... ada yang bisa kubantu?" tanya Fee berusaha menawarkan bantuan. Ia malu kalau hanya berpangku tangan dan membiarkan BOSNYA memasak makan malam.     

"Kau bisa mengirisi sayuran dan merebusnya sebentar, lalu menata meja makan," kata Mischa sambil menunjuk ke sayuran di sampingnya.     

"Baiklah," kata Fee. Ia sigap melakukan apa yang diminta oleh Mischa dan sesaat kemudian ia telah menata meja makan kecil di dapur dengan peralatan makan dan sayuran serta minuman. Ia sengaja menuang jus untuk dirinya dan beralasan bahwa ia sedang sakit agar tidak usah ikut minum wine.     

Ia masih belum ingin memberitahukan kehamilannnya kepada siapa pun, termasuk Mischa.     

Sepuluh menit kemudian, mereka berdua telah duduk menghadapi meja makan dengan hidangan yang tampak lezat di depan masing-masing.     

"Selamat makan," kata Mischa sambil mengangkat gelasnya. Fee mengangkat gelas berisi jus miliknya dan mendentingkannya ke gelas wine Mischa.     

"Terima kasih atas makan malamnya, Bos," kata Fee.     

"Tidak usah dipikirkan. Alasannya mengapa aku sengaja mengajakmu makan malam di sini adalah untuk merayakan tempat baru. Orang bilang, kalau pindah ke rumah baru dan tidak melakukan selamatan, bisa kualat," kata Mischa sambil mengangkat bahu. "Aku tidak tahu mesti percaya atau tidak. Tapi yang jelas, kita perlu makan, bagaimanapun juga."     

"Itu benar," Fee mengangguk.     

"Aku takkan bisa melakukannya nanti-nanti karena besok aku akan pergi ke Singapura selama seminggu," kata Mischa lagi. "Jadi kupikir, sekalian saja kita rayakan malam ini."     

"Oh.. Tuan akan pergi ke Singapura?" Fee tahu Singapura adalah negara tropis dan cuaca di sana pasti hangat sekali. Sungguh jauh dibandingkan dengan Moravia yang sudah memasuki musim dingin dan suhunya bisa turun hingga nol derajat.     

Ah.. seketika ia merasa malu kepada dirinya sendiri. Betapa keterlaluannya ia tadi sempat mencurigai macam-macam, mengira Mischa mengundangnya makan malam untuk menggodanya...     

Ternyata...     

Ah, ia bertekad untuk tidak akan pernah lagi menyimpan pikiran negatif kepada bosnya yang sangat baik hati ini.     

"Tuan akan ke Singapura untuk urusan bisnis?" tanya Fee. Ia hendak mengeluarkan buku catatannya dari dalam tas, tetapi Mischa buru-buru melambai untuk menghentikannya.     

"Bukan bisnis. Aku hendak bertemu keluargaku dan merayakan liburan Natal bersama," kata Mischa.     

"Oh..." Fee mengangguk dan tersenyum, berusaha menyembunyikan hatinya yang tiba-tiba seolah ditusuk sembilu. "Pasti akan sangat menyenangkan."     

Ia baru menyadari sekarang sudah tanggal 21 Desember dan liburan Natal segera tiba. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini untuk merayakan hari raya bersama. Tahun lalu ia masih menghabiskan Natal bersama Ren. Mereka masih sangat berbahagia.     

Mischa sengaja tidak menanyakan rencana liburan Natal Fee karena ia tidak mau membuat gadis itu sedih.      

Ahh.. seandainya saja, Fee adalah Vega, besok dengan gembira ia akan mengajak Vega bersamanya ke Singapura dan menjadikannya hadiah Natal bagi Alaric dan Aleksis.     

Sayangnya Fee terbukti bukan Vega. Ia hanya memiliki wajah yang mirip dengan Vega, dan semua persamaan-persamaan yang lain itu hanyalah.. kebetulan.     

"Aku akan menyibukkan diri di kantor hingga hari terakhir kerja dan kemudian menikmati liburan dengan beristirahat," kata Fee berusaha terdengar ceria. "Ada begitu banyak hal yang ingin kukerjakan."     

"Aku senang mendengarnya," kata Mischa. Ia menatap Fee agak lama dan kemudian mengalihkan pembicaraan tentang hidangan yang sedang mereka makan. "Kau suka makanannya?"     

Fee mengangguk gembira."Suka sekali. Bos belajar masak di mana?"     

"Aku diajari memasak oleh..." Mischa menelan ludah. Bahkan setelah 5,5 tahun berlalu, rasanya masih sulit untuk membagikan perasaannya tentang Lisa, mendiang kekasihnya yang tewas dibunuh kelompok penjahat yang menculik Vega.     

Sebelum ia hidup bersama Lisa, Mischa sama seperti ayah angkatnya Alaric yang lebih mahir menggunakan pisau untuk berkelahi dan membunuh orang, daripada memasak. Tetapi setelah ia bertemu dan jatuh cinta kepada Lisa, lalu tinggal bersama, wanita lembut itu telah banyak mengubahnya.     

Ia mengajari Mischa menjadi lelaki domestik yang menyukai kegiatan di rumah dan terutama memasak. Kadang-kadang, Mischa masih sangat merindukannya.     

Namun, ia telah belajar untuk melanjutkan hidup.     

"Maaf, kalau pertanyaanku menyinggung..." kata Fee yang melihat gelagat Mischa merasa tidak nyaman menjawab pertanyaannya. "Tidak perlu dijawab."     

"Tidak apa-apa. Aku tidak keberatan menjawabnya," kata Mischa setelah menata hatinya. "Aku diajari memasak oleh kekasihku dulu. Sekarang ia sudah meninggal."     

"Oh..." Fee benar-benar menyesali pertanyaannya barusan. "Aku turut berduka."     

Mungkin Mischa masih sangat mencintai wanita itu, sehingga sampai sekarang, saat usianya sudah mendekati kepala lima.. ia masih saja sendiri, pikir Fee.     

Akhirnya ia memusatkan perhatiannya pada makanannya dan tidak bertanya apa-apa lagi. Ia merasa malu karena tadi sempat berpikir yang tidak-tidak tentang Mischa.     

Bisa-bisanya ia mengira Mischa ingin menggodanya, padahal pria itu hanya sekadar bersikap baik. Ia bahkan mempercayakan Fee tinggal di penthousenya selama ia bepergian seminggu ke Singapura untuk merayakan liburan Natal bersama keluarganya.     

Setelah makan malam usai, Fee minta diri untuk membereskan kamarnya dan menata barang-barang lalu segera tidur. Ia mendapatkan kamar yang terletak paling ujung, sementara kamar Mischa berada di ujung satu lagi, sehingga mereka benar-benar mendapatkan privasi untuk diri sendiri.     

Fee juga sudah memutuskan untuk tidak memasuki ruang kerja dan ruang duduk pribadi Mischa karena merasa ia hanya tamu di sana.     

Ahhh... ketika ia membaringkan tubuhnya yang lelah di kasur, hatinya seolah bersorak gembira karena merasakan kasur yang sangat lembut dan membuat nyaman. Ia segera tertidur dengan pulas.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.