The Alchemists: Cinta Abadi

Tuan Tampak Seperti Malaikat Pencabut Nyawa



Tuan Tampak Seperti Malaikat Pencabut Nyawa

0Ren mengerutkan kening. Ia tidak dapat lagi mengetahui Fee sedang berada di mana. Terakhir yang ia tahu, gadis itu masuk ke kantor RMI dan tidak keluar dari sana. Masakan ia terus di kantor hingga malam seperti ini?     

Ia menunggu hingga tengah malam dan Fee tetap tidak bergerak dari tempatnya. Tidak mungkin kan ia pingsan di kantor dan tidak ada yang menolongnya?     

Setelah termenung sesaat, ia segera menyadari kemungkinan bahwa ponsel Fee rusak dan gadis itu sudah membeli yang baru.     

Hmm... Ia mengetuk-ketukkan jarinya di atas meja dan berpikir.     

***     

Fee menunggu Mischa di depan pintu ruangannya seperti yang diminta bosnya itu. Sore ini ia harus menemani Mischa keluar kantor.     

RMI telah menyediakan apartemen untuk Mischa selama ia berada di Moravia dan ia ingin mengajak Fee untuk memeriksa kondisinya sambil mencatat apa saja kelengkapan yang masih harus dipenuhi.     

"Kau sudah siap?" tanya Mischa sambil menutup pintu di belakangnya.     

Pria itu menenteng mantelnya di tangan. Sama seperti pakaiannya yang lain, mantel ini juga berwarna hitam. Moravia sudah memasuki musim dingin dan suhu di luar sudah menjadi sangat dingin. Bahkan diperkirakan salju akan mulai turun dalam beberapa hari ke depan.     

Untuk sesaat Fee terpesona melihat Mischa mengenakan mantel hitamnya. Pria itu terlihat sangat kontras. Rambutnya yang keemasan dan wajahnya yang tampan menjadi semakin mencolok karena pakaiannya yang sangat gelap.     

Untuk sesaat Fee teringat pada Ren. Suaminya juga menyukai warna pakaian serba gelap, walaupun tidak serba hitam seperti Mischa.     

"Kenapa kau melihatku begitu?" tanya Mischa keheranan. "Ada sesuatu di wajahku?"     

[Ada, Om Mischa.. ada kegantengan yang hakiki di wajahmu.... - Author]     

Fee buru-buru menggeleng. "Uhm... bukan. Aku baru memperhatikan. Kita sudah beberapa kali bertemu sebelum ini, dan Tuan SELALU memakai pakaian serba hitam. Orang akan mengira kau ini malaikat pencabut nyawa."     

Mischa membelalakkan matanya mendengar kata-kata Fee. Sesaat kemudian seulas senyum geli menghiasi sudut bibirnya.     

"Begitu, ya? Mungkin aku memang malaikat pencabut nyawa?" katanya santai.     

Puluhan tahun lalu, Mischa Rhionen memang terkenal seperti malaikat pencabut nyawa, mengingat jumlah orang yang sudah dibunuhnya. Ia tidak pernah menggunakan perasaan pribadi dalam menjalankan tugasnya. Setiap orang yang menjadi targetnya hanya dihitung sebagai pekerjaan.     

Ia sekarang sudah bukan orang yang seperti itu lagi. Sudah 20 tahun ia pensiun sebagai assassin dan kini menikmati hidup sebagai orang biasa.     

Namun, mendengar kata-kata Fee barusan tentang penampilannya yang seperti malaikat pencabut nyawa, mau tak mau Mischa kembali teringat masa lalu.     

Ahh...     

"Aku dulu senang mengenakan pakaian yang flamboyan. Mungkin kau sulit mempercayainya," kata Mischa. Ia berjalan membukakan pintu dan menunggu Fee keluar. Gadis itu buru-buru mengambil tasnya di meja dan berjalan melewati pintu.     

Mischa lalu menutup pintu di belakang mereka dan berjalan dengan tangan di saku menuju ke lift yang akan membawa mereka ke lobi.      

"Tuan dulu senang mengenakan pakaian flamboyan? Aku tidak mengerti. Maksudnya flamboyan apa, ya?" tanya Fee sambil berjalan menjejeri Mischa.     

Dalam perjalanan ke lift, mereka melewati banyak ruangan dan kubikel para staf lain dan satu demi satu kepala melongok dan memperhatikan saat kedua orang rupawan itu lewat.     

Mischa sama sekali tidak mengacuhkan mereka. Ia tahu bahwa para staf RMI di Moravia masih belum terbiasa akan kehadirannya dan mereka masih kaget saat melihat penampilan aslinya. Namun Fee yang sering diasosiasikan dengan hal negatif saat orang-orang melihat ke arahnya dengan pandangan curiga, benar-benar merasa tidak nyaman.     

Ia berharap mereka akan dapat melihat bahwa ia dan Mischa berjalan dengan menjaga jarak dan bersikap sangat profesional terhadap satu sama lain.     

"Hmm.. flamboyan itu seperti..." Mischa tersenyum tipis saat mengingat-ingat pakaian yang dulu ia gemar kenakan di masa mudanya. Sudah lama sekali. "Misalnya kemeja berwarna merah muda, biru langit, salem. Celana pendek di bawah lutut. Aksesori tubuh seperti kalung, gelang, dan cincin, juga anting."     

Fee menghentikan langkahnya. Ia sangat kaget mendengar penjelasan Mischa. Bosnya dulu mengenakan kalung, gelang, cincin, dan bahkan anting? Rasanya sulit dipercaya...!!!     

Mischa tertawa kecil melihat ekspresi kaget Fee. Para staf yang melihatnya tertawa seperti itu segera menahan napas.     

Bos mereka yang tampan.. ternyata bisa menjadi jauuhhhh lebih tampan lagi saat ia tersenyum.     

Sebentar. Kalau tidak salah ada lesung pipinya juga! Astaga...!     

Ohh.. banyak wanita di sekitar mereka yang pura-pura bekerja namun mencuri pandang ke arah Mischa seketika merasakan lutut mereka menjadi goyah.     

"Kau tidak percaya?" Mischa mendekati Fee dan memiringkan kepalanya ke arah wajah gadis itu dan menunjuk telinga kirinya. "Lihat ini. Lubang bekas tindiknya masih ada walaupun aku sudah puluhan tahun tidak mengenakan anting."     

Mata Fee yang bulat semakin membesar.     

"Whoaa... Bos, kau ternyata dulu keren sekali!" tukas Fee dengan antusias. Ia dapat segera membayangkan penampilan Mischa dalam pakaian santai, kemeja lengan pendek berwarna terang.. mungkin pink atau biru muda, telinga bertindik sebelah, serta tangan dan lengan yang penuh hiasan cincin dan gelang etnik.     

"Jadi, sekarang sudah tidak keren, ya?" tanya Mischa dengan nada sedikit kecewa.     

"Oh.. bukan itu maksudku," Fee buru-buru meralat ucapannya. "Sekarang juga masih keren. Hanya saja Bos terlihat berbeda. Aku hanya bisa membayangkan saja seperti apa bos dulu."     

"Aku hanya bercanda," kata Mischa sambil tersenyum. "Aku tahu aku sampai sekarang masih keren."     

Mereka sudah tiba di depan lift dan ia memencet tombol untuk membuka lift.     

Fee menjadi cegukan saat mendengar kata-kata Mischa. Bosnya ini ternyata bisa bercanda juga, pikirnya.     

"Kenapa Bos sekarang berubah?" tanya gadis itu dengan rasa ingin tahu. Pintu lift sudah terbuka dan mereka melangkah masuk ke dalam.     

"Hmm... sebenarnya aku berubah karena waktu itu aku sedang berkabung. Menurutku, hanya warna hitam-hitam yang tepat mewakili perasaan dan suasana hatiku selama bertahun-tahun. Setelah beberapa lama, aku menjadi terbiasa dan sampai sekarang selalu mengenakan pakaian serba hitam." Mischa menjawab pertanyaan Fee dengan sabar.     

Ia memencet tombol Lobby dan lift pun segera meluncur turun ke lantai dasar.     

"Berkabung?" Fee hendak bertanya apa yang membuat Mischa berkabung hingga bertahun-tahun, tetapi ia menahan diri dan menyimpan sendiri pertanyaannya. Ia takut menyinggung perasaan Mischa atau mengorek luka lama di hatinya.     

Ah.. jangan-jangan Mischa dulu berkabung karena kehilangan kekasih... Itulah sebabnya sampai sekarang ia terkenal masih belum berumah tangga.     

Mungkin kekasihnya meninggal, Fee mencoba menebak-nebak sendiri.     

"Tetapi Tuan masih menyisakan satu hal," kata gadis itu akhirnya. Perjalanan ke lantai dasar yang hening membuatnya merasa tidak nyaman, sehingga Fee mencari topik pembicaraan baru.     

"Apa itu?" tanya Mischa sambil menoleh ke arah Fee dengan penuh perhatian.     

"Tuan masih memakai kalung. Semua gelang, cincin, anting, dan pakaian berwarna cerah sudah tidak ada, tetapi kalungnya masih ada," kata Fee sambil menunjuk ke arah leher Mischa.     

Pria itu menyentuh kalung bertali kulit yang ia kenakan dan bandul dreamcatcher yang menggantung di sana. Ia tersenyum memandang Fee penuh arti.     

"Ini kalung istimewa. Aku sudah memilikinya sejak aku masih kecil. Ayah angkatku yang baik hati menghadiahkannya kepadaku. Dream catcher ini menurut kepercayaan orang Indian, adalah simbol perlindungan. Ini juga dapat melindungi anak-anak dari mimpi buruk. Dulu, sewaktu kecil aku sering bermimpi buruk..."     

Fee mengangguk-angguk mendengar penjelasan Mischa. Ternyata bosnya ini cukup menarik juga. Fee sangat senang mengobrol dengannnya.     

"Bagaimana dengan masa kecilmu sendiri?" tanya Mischa.     

Lift telah berhenti di lantai dasar dan mereka segera keluar dan menyeberangi lobi. Di depan pintu keluar sebuah mobil hitam telah menunggu mereka, siap untuk mengantarkan Mischa ke tempat tujuan.     

"Uhm.. aku tidak ingat," Fee menjawab lesu. Ia tidak dapat mengingat apa pun tentang kehidupannya selain dari peristiwa lima tahun terakhir. Kadang ia berharap dapat mengingat masa kecilnya...     

Mischa yang dapat melihat betapa pertanyaan itu mengganggu pikiran Fee tidak melanjutkan pertanyaannya. Ia semakin penasaran akan identitas Fee sebenarnya, tetapi ia tidak mau membuat gadis itu takut dan curiga. Ia akhirnya memutuskan untuk mengorek informasi pelan-pelan dan secara tidak kentara.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.