The Alchemists: Cinta Abadi

Kau Pasti Tidak Serius



Kau Pasti Tidak Serius

3"Apa yang harus kulakukan sekarang?" tanya Fee setelah mereka selesai makan. "Ini bukan rumahku dan aku tidak kenal siapa-siapa di ibukota."     

"Hmm.. kau kan mengenalku," kata Ren kalem.     

"Kau tidak masuk hitungan..." kata Fee. "Maksudku.. aku tahu kau sibuk. Aku tak mungkin merepotkanmu."     

"Kau tidak merepotkan," kata Ren lagi. "Aku memang sibuk, tetapi aku akan menyediakan waktu untukmu."     

Fee merasa sangat terharu mendengar kata-kata terakhir Ren. Ia merasa sangat diistimewakan. Ia tahu betapa sibuknya pria ini dengan semua urusan kenegeraan yang diembannya.     

"Tuan.. uhm.. Ren.." Fee segera mengubah panggilannya karena ia ingat Ren tidak mau dipanggil Tuan lagi olehnya setelah Fee tidak lagi menjadi pelayan pribadinya. "Sebenarnya kita ini apa? Kau sempat memintaku untuk ikut denganmu ke ibukota.. sebelum nenekku meninggal."     

"Itu benar. Aku tidak akan menarik kata-kataku," kata Ren membenarkan. "Aku ingin kau tinggal bersamaku."     

"Bersamamu? Di sini?" Fee tidak dapat mempercayai pendengarannya. "Tapi ini kan..."     

"Kau bisa tinggal di sini sebagai kekasihku," kata Ren tegas. "Atau kau lebih memilih tinggal di rumah yang kusediakan bagimu dan hidup kubiayai.. seperti seorang simpanan?"     

Fee tercengang mendengar kata-kata Ren. Ia sangat tidak menyukai kata terakhir itu. Ia memang tidak ingin menjadi simpanan seorang laki-laki kaya, tetapi ia ingin tinggal bersama Ren. Ia bingung bagaimana menentukan sikap.     

"Aku tidak mau menjadi simpananmu..." kata gadis itu dengan suara lemah. "Tetapi aku ingin dekat denganmu."     

"Apakah itu berarti kau setuju menjadi kekasihku?" tanya Ren sambil tersenyum simpul memandang Fee. Gadis itu selalu terpesona kalau melihat Ren tersenyum dan tidak dapat segera menjawab selama beberapa detik.     

"Kau menyukaiku seperti itu?" Fee akhirnya bertanya balik.     

Ren mengangguk. "Aku tidak mengerti mengapa aku bisa merasakan hal seperti ini kepadamu dengan begitu cepat. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan denganmu.. terus terang, kau membuatku bingung."     

Fee mengerti apa yang dimaksud Ren. Mereka baru bertemu 12 hari yang lalu, tetapi sepertinya hubungan mereka sekarang telah terjalin dengan begitu dalam. Bukan hanya keduanya telah tidur bersama, mereka juga terlihat seperti orang yang sudah mengenal cukup lama. Perasaan canggung di antara mereka sekarang hampir tidak ada.     

"Kemarilah.." Ren memberi tanda agar Fee mendekat. Dengan ragu-ragu gadis itu berjalan menghampiri Ren. Begitu Fee ada dalam jangkauannya, Ren segera menarik Fee ke pangkuannya. Ia lalu memeluk gadis itu. "Aku ingin kau tinggal di sini dan selalu berada dekat denganku. Aku akan membebaskanmu melakukan apa pun yang kau inginkan.. Kau bisa bersekolah atau bekerja untukku.. mana saja yang kau sukai."     

"Hmm..." Fee memejamkan matanya dan menikmati aroma tubuh Ren yang ternyata sangat ia sukai. Ia memikirkan baik-baik pilihannya. Ia akan sangat senang bisa tinggal bersama Ren, tetapi ia tidak mau bergantung pada pria itu sepenuhnya. Bagaimanapun mereka bukanlah suami istri dan Ren tidak wajib menafkahinya. Ia masih muda dan mampu membiayai dirinya sendiri.     

"Jadi.. apa yang kau inginkan? Aku akan membantu mewujudkannya," kata Ren lembut.     

Fee membuka matanya dan menatap Ren dengan sungguh-sungguh. "Aku mau bekerja dan membiayai sekolahku sendiri. Aku masih muda dan bisa mencari uang sendiri."     

Ren balas menatap Fee dengan pandangan heran. Ia hendak mengatakan sesuatu untuk mencegah Fee bekerja untuk orang lain.. tetapi kemudian ia mengubah pikirannya.     

"Hmm.. apakah itu yang kau inginkan? Kau ingin membiayai dirimu sendiri? Kenapa kau tidak membiarkanku menanggung kehidupanmu? Lagipula aku yang membawamu ke ibukota. Setidaknya biarkan aku bertanggung jawab atasmu," kata Ren.     

Fee menggeleng pelan. "Tidak usah. Kau tidak bertanggung jawab apa-apa atasku. Nenekku sudah meninggal, dan aku tidak punya alasan lagi untuk tinggal di Salzsee.. aku pasti akan pergi ke ibukota juga untuk mencari pekerjaan. Jadi.. kebetulan saja kau membawaku terlebih dulu."     

"Hmm.. kau mau bekerja apa? Aku bisa mencarikannya untukmu. Kau bisa bekerja untukku..."     

Fee buru-buru menghentikan Ren dengan menaruh telunjuknya di depan bibir pria itu.     

"Ugh.. tidak usah. Aku tidak mau orang memberiku pekerjaan karena dirimu. Aku tidak enak. Nanti rekan kerjaku tidak akan menyukaiku karena menganggap aku masuk karena nepotisme," kata gadis itu cepat-cepat. "Aku mampu kok mencari pekerjaan sendiri. Aku bisa bekerja di kafe atau restoran. Aku sangat cocok bekerja dengan tamu. Aku bisa mengerjakannya di sore hingga malam hari, dan paginya aku akan kuliah. Aku lebih suka seperti itu."     

Ren tampak kagum melihat kegigihan gadis itu. Baginya mudah saja memberikan apa pun yang dibutuhkan gadis itu. Tetapi ternyata, Fee lebih memilih bekerja untuk menyokong dirinya sendiri.     

Ren menghela napas dan tampak memikirkan kata-kata Fee selama beberapa saat.     

"Kenapa kau tidak mau menerima bantuanku?" tanya Ren, masih berusaha membuat Fee menerima bantuannya. "Aku sama sekali tidak keberatan. Aku lebih suka membiayai kuliahmu supaya kau menjadi pintar... kau tidak usah bekerja. Kau bisa fokus dalam pendidikanmu."     

"Uhm.. aku merasa tidak pantas berutang budi sedemikian besar kepadamu. Kau tidak bertanggung jawab untuk menafkahiku karena aku bukan istrimu..." kata-kata Fee mulai terdengar sedih. Ia tahu sampai kapan pun, walau Ren memang menyukainya dan jatuh cinta kepadanya, pria itu tak akan dapat menikahinya.     

Hubungan apa pun yang mereka miliki sekarang.. hanya sementara.      

"Kau hanya mau dinafkahi kalau kau menjadi istriku?" tanya Ren sambil menatap Fee dalam-dalam. "Kita bisa menikah."     

"Ugh... jangan bicara sembarangan," kata Fee sambil batuk-batuk. Ia tidak menduga Ren yang selalu serius bisa bercanda seperti ini. "Jangan bercanda tentang masalah serius seperti pernikahan."     

"Aku tidak bercanda," kata Ren tegas.     

Kata-katanya membuat Fee keheranan. ""Apa maksudmu tidak bercanda? Tentu saja kau tidak serius."     

"Aku serius," kata Ren. "Umurku sebentar lagi 30 tahun. Aku tahu apa yang kuinginkan. Selama ini aku tidak pernah mau serius dengan wanita karena tidak ada yang menarik hatiku. Aku belum pernah merasa ingin berkomitmen dengan satu wanita pun. Tetapi setelah aku bertemu denganmu... aku merasa yakin bahwa aku menginginkanmu dalam hidupku. Aku bahkan tidak ragu untuk segera membawamu tinggal bersamaku."     

"Ren..." Fee hanya dapat menatap Ren tanpa dapat berkata apa-apa.     

"Apakah kau menyukaiku?" tanya Ren kepada Fee yang masih termangu-mangu. "Kau mau hidup bersamaku sebagai istriku?"     

Fee memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit. Entah kenapa situasi ini terasa familiar baginya. Ia tidak tahu mengapa kepalanya tiba-tiba terasa begitu nyeri.     

"Heii.. kau kenapa?" Ren segera menyentuh kening Fee saat melihat gadis itu mengernyitkan keningnya. "Kau sakit kepala? Apakah ada kata-kataku yang membuatmu tersinggung?"     

Fee memegangi kepalanya dan mencoba menghilangkan rasa sakit di kepalanya dengan memijat keningnya. "Tidak.. ti.. tidak ada yang salah. Kau tidak membuatku tersinggung. Tiba-tiba saja aku sakit kepala. Aku tidak tahu apa yang terjadi."     

"Hm.. sebentar, kita sebaiknya kembali ke kamar, aku akan memanggilkan dokter untukmu."      

Sebelum Fee sempat membantah, Ren telah membopong Fee kembali ke kamarnya. Ia lalu membaringkan gadis itu di tempat tidur dan segera memanggil dokter pribadinya. Sambil menunggu dokter tiba, Ren tetap duduk di pinggir tempat tidur dan memegangi tangan Fee untuk menenangkannya.     

"Sebentar lagi dokter datang.. bertahanlah.." kata pria itu berkali-kali.     

Fee hanya bisa mengangguk. Ia merasa sangat dimanjakan oleh Ren. Dalam hati kecilnya, ia sangat ingin bisa menerima ucapan Ren bahwa pria itu memang ingin menikah dengannya. Tetapi bagaimana mungkin? Mereka baru kenal dua minggu ini.     

Ini sangat tidak masuk akal. Ren pasti hanya bercanda... dia tidak mungkin serius.     

Dokter datang setengah jam kemudian dan segera memeriksa keadaan Fee. Ia menyimpulkan bahwa Fee sedang mengalami stress dan memberinya obat penenang.     

"Nona bisa minum obat ini sekali sehari dan jangan memikirkan hal-hal berat. Semoga besok Anda sudah bisa merasa lebih baik," kata Dokter Smith dengan penuh perhatian. Ia lalu menoleh kepada Ren yang mengamati mereka baik-baik. "Pangeran.. Nona ini sedang banyak pikiran. Mungkin Anda bisa membawanya berlibur untuk menenangkannya."     

"Baik, Dok. Aku akan melakukannya." Ren mengangguk dan mengantar dokter ke pintu. "Aku tidak akan membebani pikirannya."     

"Bagus. Sampai jumpa."     

"Terima kasih, Dokter..." Fee ikut memberi salam sebelum Dokter Smith menghilang di balik pintu.     

Setelah hanya ada mereka berdua di kamar, Ren kembali duduk di pinggir tempat tidur dan mengamati Fee.     

"Maaf, sepertinya lamaranku membuatmu tertekan. Aku tidak akan membicarakannya lagi," kata Ren akhirnya. "Kau dapat melakukan apa pun yang kau inginkan. Kau bisa bekerja dan kuliah seperti yang kau mau. Aku tidak akan mencegahmu."     

Fee batuk-batuk lagi mendengar kata-kata Ren. Berarti tadi Ren memang serius dengan kata-katanya. Pria itu ingin menjadikan Fee istrinya? Jadi tadi itu ia memang melamar Fee?     

Hanya begitu sajakah?     

"Uhm... kita belum kenal lama..." bisik Fee canggung. "Aku tidak bica percaya bahwa kau menyukaiku sedemikian besar untuk menikah denganku."     

"Kenapa tidak?" tanya Ren. "Seperti yang kubilang tadi, aku ini bukan anak kemarin sore. Wajahku memang terlihat muda, tetapi aku adalah laki-laki dewasa. Aku tahu pasti apa yang kuinginkan. Selama ini aku tidak mau menikah karena aku belum menemukan wanita yang tepat. Tetapi... aku rasa kita akan dapat hidup bersama dengan baik. Apakah kau tidak menyukaiku? Apakah kau tidak bersedia menerimaku?"     

Fee menjadi kehilangan kata-kata.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.