The Alchemists: Cinta Abadi

Kau Bisa Memanggilku Bibi



Kau Bisa Memanggilku Bibi

3Pria itu tertegun mendengar kata-kata Marion. Sesaat kemudian ekspresinya berubah menjadi lebih santai dan bibirnya pun tersenyum.     

"Rupanya kau bukan orang sembarangan... Tidak banyak orang yang mengenalku sedalam itu," komentarnya. "Kau adalah...?"     

"Kau tidak akan mengenaliku, Nak," kata Marion sambil tersenyum tipis. Mischa menatap wanita itu cukup lama dan akhirnya ia pun mengangguk.     

"Kau pasti jauh lebih tua dariku. Kalau begitu aku harus memberi hormat," katanya kemudian sambil membungkukkan kepalanya sedikit.     

"Ah... kau punya sopan santun." Marion mengangguk-angguk sambil balas tersenyum. "Kau bisa memanggilku Bibi."     

Pelayan yang tadi dipanggilnya untuk membawa satu botol red wine sudah datang dan berdiri di samping mejanya dengan penuh hormat. Setelah Marion memberi tanda, ia lalu menuangkan red wine ke gelas kedua tamunya.     

"Cheers!" Marion mengangkat gelasnya dan mendentingkannya ke gelas Mischa. "Semua orang perlu mengalami patah hati agar mereka dapat lebih menghargai cinta."     

Mischa hanya menatap Marion dan tidak menjawab. Tetapi ia menerima dentingan gelas mereka dan meneguk wine-nya hingga habis. Wajahnya masih terlihat sedih, tetapi ia telah berhasil menahan diri untuk mengejar mantan kekasihnya.     

"Aku akan memberinya waktu beberapa hari lagi," gumam Mischa sambil mengisi kembali gelasnya. "Terima kasih Bibi sudah menemaniku di sini."     

"Sama-sama, Nak," kata Marion. "Aku juga sedang bosan."     

Orang luar yang tidak mengenal mereka akan heran mendengar seorang pria dewasa yang jelas tampak lebih tua memanggil gadis cantik yang tampak berusia 20-an di depannya dengan panggilan Bibi.     

Marion sedang berbaik hati dan memutuskan untuk mengajak Mischa berbicara untuk mengalihkan perhatiannya dari masalah yang sedang membuatnya resah. Memang benar, bahkan laki-laki paling keras sekalipun tidak kebal dari patah hati dan rasa berduka saat gadis yang mereka cintai memutuskan hubungan secara sepihak.     

Mischa bertemu Lisa delapan tahun yang lalu dan untuk pertama kalinya ia merasakan bagaimana mencintai seorang wanita. Ia sudah mengubah hidupnya dan sibuk mengurusi bisnis RMI di Eropa Timur, seperti yang dipercayakan Alaric, ayah angkatnya kepadanya.     

Lisa tidak mengetahui masa lalunya sebagai seorang pembunuh profesional dan mereka menjalin hubungan cinta yang kemudian menjadi serius. Enam tahun lalu mereka memutuskan untuk tinggal bersama. Mischa sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan diberi hadiah ramuan keabadian oleh Aldebar sebagai anak angkat Alaric.     

Ia tidak memberi tahu Lisa tentang rahasia hidupnya yang sekarang dan dulu. Ia masih ingin menguji hatinya, apakah ia memang ingin menghabiskan seumur hidupnya bersama Lisa atau tidak. Seiring dengan berjalannya waktu, dan usianya pun bertambah, akhirnya ia mengambil keputusan untuk menikahi Lisa.     

Sebelum ia membuka rahasia tentang klan Alchemist, Mischa memutuskan untuk menceritakan tentang masa lalunya sebagai seorang assassin sejak ia masih remaja. Dalam pikirannya, jika Lisa mampu menerima masa lalunya, maka ia akan menceritakan rahasianya yang berikutnya.     

Sayangnya Lisa tidak dapat menerima rahasia Mischa dengan baik. Ia merasa sangat terpukul dan ditipu. Setelah sebulan memikirkannya, akhirnya gadis itu menyerah dan memilih untuk meninggalkan lelaki yang telah mendampinginya selama delapan tahun terakhir.     

Ia tak dapat menikah dengan seorang mantan pembunuh karena ayahnya mati dibunuh lawan politiknya lewat pembunuh bayaran. Ia sama sekali tidak dapat memaafkan masa lalu Mischa dan memilih untuk berpisah. Lisa memutuskan untuk pergi ke Paris dan memulai hidup baru di sana.     

Mischa tidak menyerah. Ia datang ke Paris dan meminta bertemu, berharap Lisa mau berubah pikiran dan menerimanya apa adanya.     

Tetapi malam ini Lisa kembali menegaskan bahwa mereka tidak dapat kembali bersama. Walaupun ia juga masih sangat mencintai Mischa, Lisa benar-benar tak dapat mengubah hatinya.     

"Aku sangat mencintainya..." kata Mischa dengan suara lirih setelah gelas wine ketiga. Sepasang mata birunya yang cemerlang tampak berkilauan oleh air mata yang menggenang. Ia menghela napas dan kembali mengisi gelasnya dengan wine. "Seharusnya aku tidak usah jujur kepadanya."     

Marion menahan tangan Mischa dan mengambil botol wine dari tangannya. "Sudah cukup. Nanti kau dapat melakukan hal-hal yang kau sesali. Aku menemanimu di sini untuk menasihatimu, bukan untuk membuatmu mabuk. Percayalah kepadaku... wanita yang tidak mau menerima dirimu apa adanya tidak pantas kau tangisi."     

"Seharusnya aku terus saja berbohong..." keluh Mischa. "Semuanya baik-baik saja hingga saat aku menceritakan masa laluku kepadanya."     

Marion sangat mengerti bagaimana rasanya patah hati. Ia mencintai Lauriel selama puluhan tahun tanpa berbalas. Setelah ia merelakan cintanya dan memutuskan untuk membuka hati untuk orang lain, ia bertemu dengan lelaki yang ternyata sangat cocok dengannya.     

Selain memiliki wajah yang mirip, keduanya memiliki sifat yang saling mengisi. Setelah Marion bersama Jean, ia merasa hidupnya lengkap. Mereka telah menikah selama 16 tahun dan kini hidup bahagia dengan dua orang anak. Ia yakin, suatu hari nanti, Mischa juga akan merasakan hal yang sama.     

"Jangan bodoh. Hubungan yang dilandasi kebohongan tidak akan bertahan. Kalau kau mau menunggunya berubah pikiran, silakan, tetapi jangan menyiksa dirimu hanya karena wanita," Marion lalu berdiri dan menepuk bahu Mischa. Ia mengangkat dagu pria itu dan menatapnya dengan tajam. "Sekarang kau harus beristirahat. Jangan minum terus."     

Suaranya terdengar sangat berwibawa dan memiliki nada tertentu hingga Mischa tampak sedikit bingung. Matanya membulat dan kemudian seolah ia berubah menjadi seorang anak kecil yang penurut, Mischa lalu mengangguk dan berdiri.     

"Aku beristirahat dulu," katanya. Ia membungkuk sedikit ke arah Marion dan berjalan keluar restoran menuju kamar suite-nya. Marion telah menghipnotisnya barusan agar pria itu mengikuti perintahnya dan pergi ke kamar untuk tidur.     

Dalam kondisi biasa, orang seperti Mischa tidak akan dapat dipengaruhi semudah itu, tetapi kini ia sedang dalam kondisi rapuh dan gampang saja bagi Marion untuk mengaturnya. Setelah pria itu menghilang, Marion segera membayar minuman mereka dan kembali ke suite-nya.     

Altair dan Vega serta JM masih asyik mengobrol bertiga sambil tertawa-tawa. Ketika Marion kembali mereka segera menyambutnya.     

"Astaga... sudah jam 11 malam. Kalian mesti pulang dan beristirahat. Besok kalian akan sibuk," tegurnya. Mau Bibi panggilkan taksi?" tanyanya kepada Altair dan Vega.     

"Tidak usah, Bibi. Aku tidak mau merepotkan. Kami akan memesan taksi lewat resepsionis," kata Altair.     

"Baiklah kalau begitu. Besok-besok kalau kalian ada waktu bebas lagi, ke sini saja ya... Bibi akan ajak kalian makan malam di restoran favorit Bibi."     

"Terima kasih, Bibi Marion. Kami akan mengabari lewat Jean-Marie," jawab Altair.     

"Bagus."     

Karena sudah jam 11 malam, kedua remaja itu lalu memutuskan untuk pulang ke hotel mereka sendiri.      

Sepuluh menit kemudian mereka sudah tiba di lobi Hotel Amarylis dan segera menuju ke kamar mereka. Sebelum tidur mereka mengabari Alaric dan Nicolae bahwa tadi mereka bertemu Marion dan Jean-Marie.     

"Wahh.. sepertinya kalian bersenang-senang, ya," komentar Nicolae yang sedang berada di Grosetto. "Papa akan tiba di Paris besok sore. Kita bisa makan malam bersama Marion dan Jean-Marie. Pasti akan sangat menyenangkan."     

"Wahh.. asyik! Kami akan menunggu kedatangan Papa," kata Vega dengan antusias.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.