The Alchemists: Cinta Abadi

Pertemuan Di Hotel Nobel



Pertemuan Di Hotel Nobel

0Altair dan Vega langsung pergi ke Hotel Nobel setelah selesai makan malam. Altair terutama terlihat sangat senang. Tanpa sadar ia bersenandung di sepanjang perjalanan. Vega yang sangat mengenal kakaknya hanya bisa tersenyum sendiri.     

Sudah bukan rahasia bahwa Altair sangat menyukai Jean-Marie sejak kecil. Ia selalu terpesona melihat tingkah Jean-Marie yang lincah dan nakal, walaupun penampilan luarnya sangat anggun. Gadis itu dibesarkan orang tuanya agar terlihat elegan, namun pembawaan sifatnya yang tidak bisa diam dan selalu mencari keributan tidak dapat disembunyikan.     

Untuk membuat Jean-Marie sibuk dan memaksanya bersikap seperti perempuan anggun, kedua orang tuanya memasukkan Jean-Marie ke sekolah modeling dan mendukungnya untuk berkarier di dunia fashion.     

Saat umurnya 14 tahun, gadis itu sudah tumbuh hingga setinggi 172 cm dan memiliki penampilan yang cantik sekali. Rambutnya yang ikal dibiarkan panjang hingga ke pinggangnya, dan kalau ia menggerainya lepas, Jean-Marie akan terlihat seperti putri dari negeri dongeng.     

Siapa yang tidak jatuh hati melihat wajah bak malaikat dan tubuh indah seorang model? Dengan cepat ia menjadi terkenal di kalangan model dan tawaran demi tawaran pekerjaan segera berdatangan. Ia resmi berhenti sekolah di sekolah umum pada awal tahun ini dan sekarang hanya belajar lewat guru pribadi.     

"Kalian mau kutunggu di hotel atau langsung ke suite-ku?" tanya Jean-Marie saat si kembar masih berada di taksi.     

Sebagai cucu pemilik hotel, sebenarnya gampang saja bagi Altair maupun Vega untuk memberi tahu petugas resepsionis untuk memberikan mereka akses ke suite yang ditempati Jean-Marie. Namun demikian, Altair merasa tidak perlu untuk membuka identitas mereka di sini.     

Lagipula ia senang melihat JM turun menyambutnya. Maka ia pun menjawab bahwa ia lebih senang bertemu JM di lobi. "Di lobby saja, ya."     

"Tentu saja. Sampai jumpa!"     

Karena Hotel Nobel tidak jauh dari Hotel Amarylis, kedua remaja itu tiba tidak lama kemudian. Ketika mereka masuk ke dalam lobi hotel, JM sudah menunggu di kursi cantik di dekat pintu dan segera melompat gembira menyambut keduanya.     

"Heiii... sudah lama sekali!" seru gadis itu dengan antusias. Ia memeluk Vega dan Altair bergantian. Mereka terakhir bertemu muka di acara liburan akhir tahun, sekitar enam bulan yang lalu di Swiss.     

Keluarga besar Schneider dan Medici memang selalu bertemu setiap akhir tahun untuk liburan bersama. Sedapat mungkin keluarga Jean juga ikut kalau mereka tidak berhalangan. Ini membuat anak-anak dan cucu mereka tumbuh bersama dan menjadi sangat akrab.     

Bahkan adik JM yang baru berumur lima tahun sangat akrab dengan Ireland dan Scotland, adik Altair, karena mereka tumbuh bersama. Oh, tidak lupa, juga ada Lily, anak London dan L yang seumuran Ireland dan Scotland.     

"Kau tambah cantik!" puji Altair. Vega hanya memutar mata mendengarnya.     

Tipikal pujian dari Altair setiap bertemu JM, pikirnya. Padahal Altair pasti tahu seperti apa penampilan JM karena mereka setidaknya mengobrol lewat Virconnect sekali seminggu.     

"Hahaha.. terima kasih. Ini karena aku masih mengenakan riasan dari pemotretan tadi," kata JM. "Mau langsung ke suite?"     

"Sebentar..." jawab Vega. " Kita bisa pesan minuman sebentar di lounge situ, kan?"      

Ia menunjuk ke lounge kecil di dalam area lobi.     

"Kenapa? Kau haus?" tanya JM. "Di tempatku juga ada minuman."     

"Aku hausnya sekarang," kata Vega acuh. Ia langsung melangkah ke lounge yang dimaksudnya dan duduk di sofa.     

Altair dan JM saling pandang dan kemudian hanya bisa mengikuti Vega. Mereka sama sekali tidak keberatan minum di sini atau di suite, tetapi rasanya di suite mereka bisa mendapatkan privasi dan mengobrol bebas.     

Mereka juga memesan minuman dan akhirnya duduk mengobrol di lounge selama 15 menit. Vega beberapa kali mengerling ke arah luar selama mereka di lounge. Setelah mendapatkan apa yang dicarinya, ia lalu menepuk bahu kakaknya dan menyuruhnya pergi ke suite bersama JM duluan.     

"Kau tidak mau ikut?" tanya Altair keheranan.     

"Aku nanti menyusul. Kau di kamar suite berapa?" tanya Vega sambil menoleh ke arah JM.      

"2525," kata JM. "Kalau begitu kau pegang satu kunciku saja ya... Kau bisa naik sendiri ke lantai 25."     

"Oke," kata Vega. Ia lalu mendorong keduanya keluar dari lounge. Secara alami Altair menggandeng JM dan keduanya berjalan dengan akrab menuju lift untuk naik ke suite-nya yang terletak di lantai 25.     

Vega mengintip lagi dan senyum puas terlihat di wajahnya. Ia sudah melihat wajah Tatiana yang memata-matai kakaknya dari lobi tampak terkejut.     

Dengan cepat Tatiana mengambil beberapa foto saat Altair keluar dari lounge dan berjalan bergandengan dengan JM ke lift.     

Dari semua sudut, orang-orang pasti mengira Altair dan JM adalah sepasang kekasih. Ah... mereka memang saling menyukai, tetapi karena keduanya masih sangat muda, Altair baru berusia 16 tahun dan JM berusia 15 tahun, mereka sama sekali belum memikirkan ke arah itu.     

Keduanya bisa diberi nasihat panjang lebar tanpa henti oleh orang tua masing-masing jika di usia demikian muda mereka sudah berani pacaran. Nicolae dan Alaric malahan mengatakan anak-anaknya harus menunggu setidaknya hingga mereka berusia satu abad, baru boleh memikirkan cinta.     

Jadi, tentu saja Altair dan JM selalu bersikap seolah mereka hanya sahabat yang sangat dekat.     

Vega merasa, walaupun keduanya tidak atau belum pacaran, tidak ada salahnya ia membuat teman-teman sekolahnya berhenti mengejar Altair. Hal itu hanya akan dapat terjadi jika mereka mengira ia sudah memiliki pacar.     

Nah, siapa orang terbaik yang dapat memberi tahu seisi sekolah bahwa Altair sudah punya pacar, kalau bukan teman sebangkunya Tatiana yang sangat aktif di media sosial dan punya jutaan pengikut? Ha.     

Itulah sebabnya dari tadi Vega menunggu hingga Tatiana tiba di hotel Nobel sebelum ia menyuruh Altair dan JM untuk naik ke suite. Wajah Vega tampak dihiasi senyum geli saat melihat Tatiana terkejut ketika Altair dan Vega berjalan bergandengan dengan sangat akrab. Ia sempat mengambil beberapa foto juga.     

"Ini akan menyelesaikan masalah kami," pikir Vega. Ia tak suka jika Altair sering berkelahi di sekolah hanya karena perempuan-perempuan yang menyukainya. Menurutnya ini bisa menjadi solusi.     

[Tatiana, kalian di mana?] Ia lalu mengirim SMS kepada Tatiana.     

Beberapa menit kemudian masuk balasan dari sahabatnya itu. [Uhm.. kami barusan lewat Hotel Nobel. Kalian masih di sana? Kenapa aku tidak melihatmu?]     

[Aku ada perlu sebentar. Kau melihat saudaraku?]     

[Benar. Dia berjalan bersama gadis sangat cantik. Itu siapa?]     

[Itu Jean-Marie. Dia kekasih Altair. Dia sedang ada pekerjaan modelling di Paris. Itu sebabnya Altair kemarin menabung uang sakunya selama berbulan-bulan supaya bisa ikut karyawisata ke Paris ini.]     

Dalam hati Vega tertawa sendiri. Seumur hidup mereka tidak pernah harus menabung untuk hal apa pun. Keduanya terlahir di salah satu keluarga terkaya di dunia.     

[Oh... begitu, ya. Kenapa kau tidak pernah bilang kalau Altair sudah punya kekasih? Gadis-gadis di sekolah kita mengejarnya karena mengira dia single.]     

[Aduh. Altair itu orangnya sangat privasi. Jangan harap dia mau mengaku tentang ini. Sudah ya... Kalian mau ke mana sekarang?]     

[Kami mau jalan-jalan ke Sungai Seine. Kau mau ikut?]     

[Uhm... aku sedang malas jalan kaki. Aku juga sudah berjanji akan bertemu Jean-Marie. Tadi aku hanya memberi mereka waktu sedikit untuk berduaan dulu... hehehe. Selamat jalan-jalan.]     

Ia lalu menyimpan kembali ponselnya.     

Ah.. satu masalah beres.     

Vega membayar minuman mereka lalu beranjak keluar lounge untuk menyusul saudaranya dan JM. Ia memencet tombol buka pintu lift tepat saat tangan seorang pria juga meraih tombol itu pada saat yang sama.     

"Eh...?" Keduanya saling tatap keheranan. Pria itu lalu mengangguk dan membiarkan Vega memencet tombol buka.     

Vega menurut dan memencetnya. Pintu lift lalu terbuka dan ia pun masuk diikuti lelaki itu. Pria itu berdiri di bagian dekat semua tombol nomor lantai dan memencet lantai 30. Ketika ia juga hendak memencet tombol tujuannya, Vega baru sadar bahwa kunci yang tadi diberikan JM ketinggalan di lounge.     

"Aduh..." Terdengar keluhan pendek dari bibirnya. Sudah terlambat untuk keluar karena lift sudah meluncur perlahan-lahan ke atas, pria itu sudah memencet nomor lantai tujuannya.     

"Kau di lantai berapa?" Tiba-tiba terdengar suara pria itu. Untuk sesaat Vega tertegun. Suara orang ini terdengar sangat menyenangkan. Bisa dibilang lelaki ini memiliki suara yang hangat dan sangat enak didengar. Tanpa sadar gadis itu menoleh dan menatapnya tanpa berkedip. Pria itu mengerutkan alisnya dan tersenyum. "Lantai berapa?"     

"Eh... Dua puluh..." belum sempat Vega menyebutkan angka lima, pria itu telah memencet tombol nomor 20. Gadis itu buru-buru meralatnya. "Dua puluh LIMA."     

"Oh..." Pria itu tampak  malu karena tergesa-gesa dan kembali tersenyum lalu memencet tombol 25. "Maaf, aku terlalu buru-buru."     

Saat itu ingin sekali rasanya Vega menanyai pria itu macam-macam pertanyaan agar dapat mendengar suaranya lagi. Ia sangat menyukai suara pria itu.     

Wajahnya pun sesuai dengan suara pemiliknya. Rambutnya ikal keemasan membingkai wajahnya yang sangat tampan. Usianya mungkin pertengahan tiga puluhan dan penampilannya tampak sangat keren dengan pakaian serba hitam.     

Kancing kemejanya bagian atas terbuka sedikit dan menampakkan sebuah dreamcatcher kecil dari perak tergantung pada sebuah tali kulit yang melingkari lehernya. Oom ini seksi sekali, pikir Vega, seperti model di majalah pria dewasa.     

Ahh... Astaga Vega... Gadis itu mencubit dirinya sendiri. Ia tak tahu mengapa ia bisa demikian menyukai pria dewasa ini.     

"Terima kasih.. Uhmm.. Oom kerja di hotel ini, ya?" tanya Vega dengan sepasang mata membulat. "Kok bisa membuka semua lantai?"     

Setahu Vega, tombol nomor lantai di setiap lift hotel hanya bisa dibuka dengan menggunakan kartu/kunci oleh penghuni kamar di lantai bersangkutan. Tadi pria ini memencet tombol lantai 30, yang berarti ia menginap di lantai 30.     

Tetapi kalau ia ternyata bisa membuka dua nomor lantai lainnya, Vega hanya bisa mengambil kesimpulan bahwa pria itu bukanlah tamu melainkan staf hotel yang memegang kunci master yang dapat mengakses semua lantai.     

Pria itu tampak tertegun dan menyadari kesalahannya. Ia hanya menggeleng sedikit dan tersenyum, tidak menjawab.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.