The Alchemists: Cinta Abadi

Keresahan Ren



Keresahan Ren

2Fee sadar bahwa dengan pengaruhnya, Ren akan selalu dapat menemukan Fee, kemana pun ia pergi. Maka, lebih baik jika ia jujur kepada suaminya dan mengatakan bahwa ia sedang mengandung. Kalau ternyata Ren memang tidak menginginkan anaknya, maka ia harus mau menerima kepergian Fee.     

Ternyata sudah jelas bahwa memang mereka tidak menginginkan hal yang sama. Jadi, untuk apa saling memaksakan?     

Fee tidak akan menuntut Ren bertanggung jawab atas anak-anaknya, karena mereka adalah pilihan Fee sendiri. Sementara Ren tidak boleh lagi menuntut Fee untuk tetap bersamanya.     

Pilihan terbaik memang berpisah.     

Fee membenamkan wajahnya ke bantal dan berusaha menahan tangisnya agar tidak terdengar keluar. Ia tidak tahu apakah Ren masih ada di penthouse atau tidak. Ia tidak mau Ren menganggapnya mencari simpati dengan menangis.     

Ren berdiri tertegun di ruang tamu selama setengah jam. Tubuhnya tegak tidak bergerak seolah ia berubah menjadi patung. Wajahnya terlihat shock, lebih tepatnya terpukul. Semula ia mengira bahwa Fee lagi-lagi sengaja memancing kemarahannya, seperti tadi.     

Tetapi setelah ia memikirkannya baik-baik, ia menyadari bahwa selama ini Fee menghindarinya dan sengaja berkata-kata menyebalkan memang untuk membuatnya marah, agar ia berhenti mengejar Fee.      

Ia sadar, istrinya ingin pergi darinya karena Fee menginginkan anak itu. Ia mungkin mengira, jika ia membuat Ren kesal, Ren akan membiarkannya sendiri sehingga ia bisa menghilang dan merawat anaknya sendirian.     

'Apa yang harus kulakukan sekarang?'     

'Kenapa jadi begini?'     

Ia selalu memiliki rencana dalam hidupnya, dan segala sesuatu selalu berlangsung sesuai dengan keinginannya. Tetapi ini benar-benar di luar dugaan.     

Hanya karena ia merasa cemburu kepada Mischa...     

Dan kini Fee malah meninggalkannya dan tinggal di tempat lelaki itu.     

'Apa yang harus kulakukan?'     

Pikirannya yang selalu penuh hari ini seolah meledak dan ia tak sanggup berpikir sama sekali. Akhirnya Ren memutuskan turun dari penthouse dan menuju lounge di Hotel St. Laurent. Ia akan membutuhkan minuman beralkohol yang banyak untuk bisa melupakan apa yang baru didengarnya tadi.     

***     

Suasana di lounge itu segera menjadi heboh ketika para pengunjung melihat sosok tampan tetapi memiliki ekspresi masam itu melangkah melewati pintu. Wajah-wajah mereka dipenuhi rasa ingin tahu dan sukacita pada saat yang sama.     

Walaupun Moravia adalah kerajaan kecil, tetapi sangat jarang ada orang yang dapat melihat pangeran putra mahkota secara pribadi seperti ini. Penampilannya yang khas itu sangat mudah dikenali. Ia biasa mengenakan pakaian berwarna gelap, dan wajah tampannya selalu tampak ketus.     

Ketika ia masuk, sang manajer lounge buru-buru mendekatinya dan membungkukkan tubuhnya dengan penuh hormat.     

"Selamat malam, Tuan. Anda mau masuk dan minum di sini? Kebetulan masih ada satu meja yang tersedia," katanya dengan sangat ramah.     

Di semua restoran kelas atas, selalu ada meja kosong yang disediakan untuk tamu VVIP seperti ini yang datang tiba-tiba tanpa perjanjian. Hanya orang yang sangat-sangat penting yang akan menerima perlakuan istimewa ini.      

Bahkan di restoran yang sangat populer di mana para tamu harus membooking meja selama berbulan-bulan sebelumnya, meja VVIP ini akan selalu tersedia.     

Inilah yang sekarang ditawarkan sang manajer lounge kepada Ren. Tamu VVIP mendapat keistimewaan ini, dan sebaliknya, restoran atau lounge yang mereka datangi akan mendapat keuntungan exposure. Kehadiran mereka biasanya akan membuat gengsi atau reputasi tempat itu menjadi semakin bersinar.     

Bila Pangeran Putra Mahkota Moravia duduk minum di lounge mereka... tentu ia akan menarik perhatian sangat banyak tamu yang datang. Berada di satu ruangan yang sama dengan Pangeran Renald Hanenberg adalah suatu kemewahan gengsinya sangat tinggi.     

Ren mengedarkan pandangannya dan melihat pandangan penuh perhatian dari tamu-tamu lounge yang lain. Wajahnya tampak semakin masam.     

"Kau tidak punya ruangan privat?"     

Ia tidak suka berbagi ruangan dengan banyak orang seperti ini.     

"Ma-maafkan kami, Pangeran... semua ruangan privat sudah diisi tamu yang memesan beberapa bulan sebelumnya, khusus untuk merasakan malam Natal bersama keluarga atau teman-teman mereka. Tempat ini sangat penuh. Kami hanya menyisakan meja VVIP," jawab manajer itu dengan nada menyesal.     

Mereka memang sengaja tidak menyediakan ruangan privat dengan pengaturan seperti meja VVIP ini, karena tujuan mereka menerima tamu VVIP tanpa membooking meja dan datang mendadak adalah agar mereka dapat memamerkan tamu super penting ini kepada tamu lainnya. Kalau mereka diberikan ruang privat, maka tidak akan ada yang melihat mereka.     

Ren tidak bodoh dan ia mengerti tentang hal ini. Akhirnya ia mengangguk dan melambaikan tangannya dengan acuh. "Baiklah. Aku akan mengambil mejamu."     

"Mari ikut saya, Tuan," kata sang manajer dengan wajah sangat gembira. Ia berjalan melintasi meja-meja tempat para tamu bersantai dengan minuman dan hidangan kecil bersama teman-teman dan keluarga mereka, lalu berhenti di sebuah meja eksklusif di tengah ruangan. "Silakan duduk."     

Ren mengomel dalam hati karena tahu dirinya memang disuruh duduk di sini untuk dipertontonkan kepada para tamu lain yang diam-diam mengerling ke arahnya dan berusaha melihatnya.     

Ia bisa saja pulang ke rumahnya dan minum di sana sendirian, tetapi di saat seperti ini, pikirannya sungguh menjadi kacau dan ia tidak dapat menunggu. Ia akan meminum sedikit dan kemudian pulang.     

Ia lalu duduk dan menyebutkan minuman pesanannya. Ekspresinya tetap masam, tidak mempedulikan orang-orang di sekitarnya.     

[Karl, aku ada di Lounge Die Sonne, Hotel St. Laurent. Kau jemput aku ke sini.]     

Ia mengirim pesan kepada asistennya dan menyimpan ponselnya.      

Minuman pesanan Ren datang, dan sebelum ia meneguknya, ia telah memesan sesuatu yang lain. Manajer sendiri yang datang mengantarkan pesanannya. Ini menunjukkan betapa ia sangat menghormati sang pangeran dan memutuskan untuk melayaninya sendiri. Setelah mencatat pesanan Ren berikutnya, manajer itu lalu pergi.     

Ren memesan minuman khas Moravia yang terkenal sangat keras, namanya Sonne. Ketika melihat pangeran Renald meminum sonne, di tangannya, para tamu pria di lounge diam-diam mengikuti jejaknya dan juga ikut memesan sonne.     

Sungguh seorang trendsetter!     

Walaupun Ren tidak pernah terlihat ramah, tetapi reputasinya di luar sana sangat bagus. Ia adalah putra kebanggaan Moravia yang sukses membangun kariernya di SpaceLab, tanpa menggunakan identitasnya sebagai pangeran.     

Rakyat Moravia tahu ia adalah seorang genius, dan semua sikap tidak menyenangkan yang ia tunjukkan, selalu dimaafkan dan dimaklumi. Para pria ingin menjadi dirinya, dan para wanita ingin bersamanya.     

Tidak mengherankan, saat ia menampakkan diri di tempat publik seperti ini, ia segera mengundang banyak pandangan kagum dari orang-orang yang hadir.     

Ia melihat jam tangannya dan mengerutkan kening.     

Mengapa Karl belum juga datang? Ini sudah setengah jam.     

"Ren..."     

Tiba-tiba terdengar suara lembut dari belakangnya.     

Ren memejamkan mata dan mendesah. Ia sama sekali tidak mau menoleh.     

"Mau apa kau ke sini?" tanyanya dengan suara dingin.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.