The Alchemists: Cinta Abadi

Ciuman Lembut



Ciuman Lembut

3"Astaga... kau ini," Vega hanya tertawa mendengar ucapan Mischa yang diucapkannya dengan begitu ringan. Ia memalingkan wajah untuk menyembunyikan rona pipinya yang kemerahan. "Aku tidak tahu kau bisa bercanda seperti itu."     

"Aku tidak bercanda," kata Mischa ringan. Ia menatap Vega dengan senyum dikulum. "Nona Linden... kurasa kau sudah tahu bagaimana perasaanku kepadamu. Apakah kau bersedia menemani laki-laki malang ini menjalani hidupnya yang sepi? Aku akan datang kepada ayahmu, tetapi aku tidak berani melakukannya kalau tidak mendapatkan persetujuanmu."     

Vega menggigit bibirnya dan kemudian mendeham. Ia tidak mengira akan semudah ini. Ia ingat dulu saat ia masih remaja, ia sangat menyukai Mischa. Ia bahkan melakukan berbagai hal dengan tidak  tahu malu untuk mendapatkan perhatiannya.     

Namun, saat itu, Mischa hanya memperlakukannya seperti seorang adik kecil. Ia dapat merasakan bahwa Mischa menjaga jarak darinya. Laki-laki itu hanya bersikap baik kepadanya karena rasa hormat kepada ayah Vega.     

Tetapi kini, Vega sama sekali tidak perlu berusaha. Mischa yang mendekatinya secara terang-terangan dan menunjukkan dengan kata dan perbuatan bahwa ia menyukai Vega dan ingin memperistrinya.     

Dalam hati Vega merasa heran sekaligus senang. Sepertinya selama bertahun-tahun mereka berpisah, Mischa kini sudah menganggapnya sebagai seorang wanita dewasa.     

Mungkin, pertemuan mereka kembali seperti sekarang adalah pertemuan yang terjadi di waktu dan tempat yang tepat.     

Mischa sudah menjalani hidupnya seorang diri untuk waktu yang lama dan sudah merasa cukup dengan kesendiriannya. Sehingga, ketika Vega hadir kembali dalam hidupnya, bukan sebagai gadis remaja seperti dulu, ia merasa tertarik dan akhirnya membuka diri untuk wanita baru dalam hidupnya.     

Sementara Vega sendiri tidak pernah tertarik kepada lelaki lain. Dari dulu hingga sekarang, Mischalah yang ia sukai. Saat ia masih remaja dulu, Vega menyukai Mischa karena menganggap pria itu keren.     

Sosok Mischa yang tampan, dewasa, dan gagah membuat Vega terpukau. Kini, setelah tujuh tahun berlalu, semua kekagumannnya itu tidak berubah, malahan bertambah karena ia menyadari bahwa Mischa memiliki kepribadian yang sangat hangat dan menyenangkan.     

Satu hal lagi yang menjadi nilai plus sangat penting bagi Vega adalah ketangguhan Mischa. Bersama pria itu ia merasa aman. Ayahnya pun sangat percaya kepada Mischa.     

Kalau Vega bersamanya, ia tidak perlu harus merepotkan puluhan pengawal pribadi yang selama ini selalu memberati pikiran dan langkahnya.     

Vega akhirnya mengangkat wajahnya dan menatap Mischa dengan berani. Ahh.. benar juga. Untuk apa ia malu-malu?     

Bukankah sudah sangat jelas kalau ia menyukai Mischa dan sekarang pria itu juga menyukainya? Mereka sudah sama-sama dewasa dan tahu apa yang mereka inginkan.     

Untuk apa berpura-pura tidak mau?     

"Kau...benar-benar akan membuka hatimu untukku?" tanya Vega dengan suara menggoda.     

Wajahnya yang cantik dan berona kemerahan tampak semakin cantik karena sinar matahari dari belakangnya yang membuat seolah gadis itu memendarkan sinar halo, membuat Mischa terpesona dan untuk sesaat tidak dapat berkata apa-apa.     

Sesaat kemudian, Mischa tergugah saat ia merasakan tangan Vega menyentuh dadanya. Pria itu mengedip-kedipkan matanya dan tersenyum lebar, lalu mengangguk.     

"Benar," katanya tegas. Matanya turun dan menatap ke arah tangan nakal Vega yang menyentuh dadanya dan menelusuri kulitnya turun hingga ke pinggang.     

Mischa hanya mengenakan board short berwarna hitam untuk mengemudikan kapal mereka. Tubuh bagian atasnya yang bertelanjang dada terlihat sangat indah di bawah tebaran sinar matahari yang perlahan turun ke barat.     

Pantas saja Vega menjadi nakal dan tergoda untuk menyentuhnya. Astaga.. Vega seketika merasakan dadanya berdebar-debar.     

Kenapa ia berani sekali?     

Apakah ini karena ia sudah bukan remaja lagi sehingga ia menjadi semakin berani terhadap Mischa?     

Atau jangan-jangan ini karena wine yang sedari tadi diminumnya?     

Walaupun ia membawa botol baru ke anjungan, sebenarnya tadi siang ia sudah minum beberapa gelas wine bersama JM sambil bergosip.     

Ahhh... benar, Vega. Salahkan saja wine, pikirnya gemas.     

Biar saja. Kalau sampai Mischa menolaknya dan menganggapnya terlalu agresif, Vega akan berpura-pura mabuk dan keesokan harinya tidak ingat apa yang ia lakukan sore ini.     

HAHAHAHAHA.     

"Kau mau berdansa?" Tiba-tiba terdengar bisikan di telinga Vega dari sang pria tampan.     

Ia menyentuh tangan Vega yang berada di pinggangnya dan  menaruhnya di lehernya. Ia lalu mengambil tangan Vega satu lagi dan mengalungkannya di lehernya juga.     

Ahhh... benar juga, pikir Vega. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Mischa dengan senyum malu-malu,     

"Tapi... di sini tidak ada musik..." kata Vega pelan.      

"Sebentar," kata Mischa. Ia mengambil airpod dari samping kemudi dan menaruh satu di telinga kanan Vega dan satu lagi di telinga kirinya. "Aku tadi mendengarkan lagu yang sangat bagus. Kurasa kau akan suka."     

Ia lalu mengambil ponselnya dari samping kemudi dan memencet sesuatu. Pelan-pelan sebuah melodi mengalun lembut di telinga Vega.     

Gadis itu menatap wajah Mischa yang berada begitu dekat dari wajahnya. Wajah tampan di depannya itu terlihat sangat enak dipandang. Vega tidak tahu pasti apa yang membuatnya paling tertarik kepada Mischa.     

Apakah wajahnya... ataukah senyumnya yang hangat... atau kepribadiannya yang menyenangkan?     

Dalam hati gadis itu mensyukuri keberuntungannya. Lisa tidak tahu permata apa yang ditolaknya.     

Memangnya kenapa kalau masa lalu Mischa kelam? Ia hanya menjadi pembunuh selama sepuluh tahun, sejak ia remaja hingga akhir usia 20-an. Setelah itu ia telah mengubah jalan hidupnya dengan bekerja di RMI selama hampir dua decade.     

Bahkan, selama dua belas tahun terakhir, RMI aktif dalam berbagai proyek yang meningkatkan kualitas hidup manusia.      

"Aku suka musiknya," bisik Vega sambil memejamkan mata. Mischa tersenyum simpul melihat sikap gadis itu.     

Ia lalu merangkul pinggang Vega dan ikut memejamkan mata. Walaupun suara musik yang mereka dengarkan tidak terdengar oleh orang luar, siapa pun yang melihat mereka dapat mengerti bahwa keduanya sedang berdansa mengikuti suatu alunan musik yang hanya dapat mereka dengar sendiri.     

Keintiman itu hanya mereka bagi berdua, tidak untuk orang lain.      

Mischa memeluk pinggang Vega dan merapatkan tubuh mereka sambil bergerak santai mengikuti alunan musik secara alami. Saat itu, rasanya dunia hanya milik berdua.     

Mereka berdansa seperti itu hingga lagunya habis dan kemudian dilanjutkan oleh lagu kedua. Saat itu, rasanya Vega berharap ada seribu lagu dalam playlist Mischa agar mereka dapat terus berdansa seperti itu.     

Rasanya... begitu nyaman dan menyenangkan.     

Setelah lagu kedua habis, Vega membuka matanya dan menemukan sepasang mata biru Mischa tengah menatapnya dengan berbinar-binar.     

"Vega..." Suara pria itu terdengar begitu lembut di telinganya. "Aku sangat menyukaimu... dan aku tidak ingin bermain-main dengan perasaanmu. Aku sudah memikirkannya selama setahun terakhir dan aku merasa... kalau kau bersedia memberiku kesempatan, aku ingin menikah denganmu."     

Sepasang mata Vega seketika membulat.  Barusan... apakah ia tidak salah dengar?     

Mischa bilang ingin menikah dengannya?     

Apakah ini lamaran? Bagaimana bisa? Mengapa secepat ini?     

Mereka bahkan belum resmi pacaran!     

Mereka juga belum pernah berciuman...     

Mischa dapat melihat kilat panik di mata Vega dan ia tertawa kecil. Ia mengusap rambut Vega dan menaruh sejuntai rambutnya ke balik telinga gadis itu. "Aku sudah bilang dari awal kalau aku memang mencari istri, dan aku menyukaimu... uhm, tidak kurasa aku sudah jatuh cinta kepadamu."     

"Tapi..." Vega menelan ludah.     

Bukankah ia adalah seorang gadis yang agresif dan terbiasa mendapatkan segala keinginannya? Mengapa kini tiba-tiba ia kehilangan kata-kata?     

Mischa benar-benar tidak menbuang waktu. Dan ia bersikap jauh lebih agresif daripada Aleksis, hingga ia berhasil membuat gadis itu kebingungan dan tertegun... tidak bisa berkata apa pun.     

"Kita... kita bahkan belum pernah berkencan," kata Vega akhirnya setelah ia menemukan suaranya.     

"Kita bisa berkencan sepuasnya begitu Altair dan JM pulang," kata Mischa santai. "Aku akan membawamu berkencan ke tempat-tempat terbaik di dunia. Kita bisa berjalan-jalan sampai kau puas."     

"Benarkah?" tanya Vega dengan suara pelan. Sorot matanya yang polos membuat Mischa geli. Ia sangat senang melihat gadis agresif itu tiba-tiba seperti anak domba polos yang penurut.     

"Kalau kau mau," kata Mischa lagi.     

Vega kembali menunduk. Rona merah di wajahnya menjadi semakin jelas.     

"Aku..." Suara Vega terdengar seperti cicitan pelan ketika ia akhirnya menjawab. "Aku.. mau."     

"Ahh.. benarkah?" Mischa sangat senang mendengar pernyataan gadis itu. Ia menyentuh dagu Vega dan mengangkat wajahnya agar kembali menatap dirinya. "Kalau begitu... apakah aku boleh menciummu?"     

Vega menelan ludah. Wajah tampan di depannya ini benar-benar membuatnya terpesona.     

Astaga....     

Mereka... mereka akhirnya akan berciuman!     

Sudah berapa kali Vega membayangkan akan seperti apa rasanya berciuman dengan laki-laki ini. Kini, saat kesempatan itu akhirnya tiba.. lututnya tiba-tiba terasa goyah.     

Vega mengangguk lemah. Pipinya sudah menjadi semerah kepiting rebus. Mischa tersenyum lebar dan kemudian mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Vega dengan lembut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.