The Alchemists: Cinta Abadi

Aku Akan Membuka Hati



Aku Akan Membuka Hati

3Vega tersipu-sipu mendengar ucapan Mischa barusan. Ia tahu bahwa dirinya cantik. Setiap hari cerminnya mengonfirmasi hal itu. Namun, saat mendengar pujian tersebut dari bibir Mischa, tetap saja perasannya menjadi berbunga-bunga.     

"Kau ini bisa saja," komentar Vega sambil tertawa. Ia berjalan mendekati Mischa dan menyerahkan gelas wine. "Mau wine?"     

Sang pria tampan mengangguk. "Sini, biar aku yang buka sumbat botolnya."     

Vega mengambil botol wine dan menyerahkannya kepada Mischa. Laki-laki itu mengambil pembuka botol dan sesaat kemudian botol sparkling wine mereka sudah dibuka dan ia menuangkan isinya ke gelas mereka berempat.     

"Cheers untuk liburan yang menyenangkan!" seru JM sambil mengangkat gelasnya. Altair, Vega, dan Mischa melakukan hal yang sama.     

Mereka menikmati wine sambil bersantai di bawah sinar matahari musim panas yang hangat. Para pria bergantian mengemudian kapal sementara gadis-gadis duduk di dek sambil menikmati minuman dan camilan serta membaca.     

Berada di tengah laut seperti ini, dengan dikelilingi warna biru di langit dan di laut, benar-benar membuat suasana hati Vega menjadi sangat cerah. Ia senantiasa tersenyum dan kecantikannya menjadi semakin menonjol.     

Mischa tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah gadis itu. Ia tahu Vega sangat cantik, tetapi rasanya kini Mischa benar-benar tak bisa mengalihkan pandangan darinya karena ada semacam aura kebahagiaan yang terpancar dari dirinya.     

Mischa terbiasa bertemu orang-orang rupawan dari kaum Alchemist, tetapi baginya tidak ada satu pun yang menarik hatinya untuk tertambat. Sudah tujuh tahun sejak Lisa, kekasihnya meninggal dan Mischa tidak pernah menjalin hubungan dengan wanita lain.     

Ia bahkan sama sekali tidak pernah keluar berkencan santai dengan wanita baru walau hanya sekadar untuk makan malam atau bertemu untuk minum kopi. Ia tidak merasa membutuhka wanita dalam hidupnya.     

Sehari-harinya ia dapat menyibukkan diri dengan pekerjaan dan bepergian. Selama enam tahun sejak Vega hilang, ia juga banyak mencari petunjuk tentang gadis itu. Ia sungguh menjadikan Vega sebagai tujuan hidupnya selama bertahun-tahun.      

Entah bagaimanapun caranya ia harus dapat menemukan Vega.     

Ketika akhirnya Vega berhasil ditemukan, ada kelegaan yang begitu besar memenuhi dada Mischa hingga ia harus pergi sebentar menenangkan diri. Kini, hatinya telah menjadi damai, dan ia merasa sangat bahagia ketika beberapa hari yang lalu akhirnya bertemu Vega kembali.     

Kini, sudah saatnya ia membuka hati dan membuka lembaran baru. Dari sikap Vega selama ini kepadanya, Mischa dapat berlega hati. Ia dapat melihat bahwa Vega juga membalas perasaannya.     

Selain itu, keluarga Linden juga terlihat memberinya dukungan penuh. Terbukti dari Altair mengajaknya liburan bersama. Ia dapat menghabiskan waktu bersama Vega selama berhari-hari, untuk lebih saling mengenal dan menjajaki.     

Alaric juga memberikan restu dengan mempercayakan Vega sepenuhnya kepadanya. Setelah Altair pulang ke New York, Mischa diizinkan membawa Vega bepergian untuk melihat dunia, seperti keinginan gadis itu.     

Kalau semuanya lancar, Mischa akan segera meminta izin Alaric untuk menikahi Vega dan menjadikan gadis itu miliknya sepenuhnya.     

"Hei... Kak Mischa, kau sedang memikirkan apa?"     

Mischa yang sedang menatap jauh ke horizon, menoleh ke arah suara dan menemukan Vega berdiri di belakangnya. Laki-laki itu spontan tersenyum.     

"Aku sedang tidak memikirkan apa-apa. Hanya menikmati momen sekarang," kata Mischa. "Kadang orang sibuk memikirkan masa lalu dan masa depan hingga lupa menikmati masa kini."     

"Ahh.. kau benar juga," kata Vega, balas tersenyum. Ia lalu menunjuk kursi di samping kemudi dan bertanya, "Apakah aku boleh duduk di sini?"     

Mischa mengangguk. "Silakan."     

"Terima kasih," kata Vega. Ia lalu duduk di kursi tersebut sambil mengamati sekelilingnya. "Aku ikut di sini, ya... soalnya aku tidak mau mengganggu Altair dan JM yang sedang pacaran."     

Mischa tertawa dan mengangguk. "Tentu saja."     

"Aku membawakan kue dan minuman untuk kita," kata Vega sambil mengeluarkan sebotol minuman dan kue-kue dari kantong yang dibawanya. "Ada buah-buahan juga."     

"Ah.. aku ambil apelnya, ya," kata Mischa sambil mencomot sebuah apel dan mulai menggigitnya. "Terima kasih."     

Vega menuang minuman buat mereka ke dua gelas lalu ia dan Mischa duduk sambil berbincang-bincang.     

"Kak Mischa terlihat sangat ahli mengemudikan kapal ini," komentar Vega. "Apakah kau sering berlayar?"     

Mischa mengangguk. "Benar."     

"Ahh.. dengan siapa?" tanya Vega lagi.     

Dulu, Mischa sangat sering berlayar bersama Lisa, sebelum hubungan mereka berakhir. Kini, setelah Lisa tiada, ia terbiasa untuk pergi sendirian. Sedikit-sedikit hal itu dapat memperbaiki suasana hatinya.     

"Sendirian," kata Mischa. "Bepergian sendirian itu menyenangkan kok."     

"Benarkah? Kau tidak merasa kesepian kalau berlayar sendirian?" tanya Vega.     

"Kadang-kadang, tapi tidak apa-apa," kata Mischa. Ia mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum menggoda. "Kau mau menemaniku agar tidak kesepian?"     

Wajah Vega seketika memerah. Ia tidak menjawab. Mischa pun tidak memaksa gadis itu menjawab. Ia hanya tersenyum sendiri.     

"Kak Mischa, sudah berapa lama sendirian?" tanya Vega kemudian. Ia juga ikut mengambil apel dan menggigitnya sambil mengobrol dengan Mischa.     

"Hmm.. sekitar tujuh tahun," kata Mischa. "Kekasihku yang terakhir memutuskan hubungan karena ia tidak dapat menerima masa laluku."     

Mischa lalu menceritakan sedikit tentang Lisa kepada Vega. Karena Vega sama sekali tidak ingat tentang peristiwa yang terjadi tujuh tahun lalu, Mischa merasa lebih baik jika ia tidak usah memberi tahu Vega bahwa Lisa telah meninggal, dibunuh oleh komplotan penjahat yang menculiknya.     

"Kami sudah menjalin hubungan selama bertahun-tahun dan juga sudah tinggal bersama," kata Mischa menerangkan. "Ia adalah seorang wanita biasa. Ketika aku merasa yakin ingin menghabiskan seumur hidupku bersamanya dan melamarnya, aku lalu menceritakan tentang masa laluku."     

"Ahh.. masa lalu sebagai... assassin?" tanya Vega. Ia ingat bahwa ayahnya juga dulu adalah seorang pembunuh bayaran, sama sepergi Mischa. Itulah sebabnya kedua pria itu sangat tangguh dan jago berkelahi.     

"Benar." Karena peristiwa itu terjadi sudah lama sekali, Mischa tidak lagi merasakan kesedihan mendalam seperti dulu. Kini ia dapat menceritakannya dengan sikap yang tenang. "Sayangnya ia tidak dapat menerima masa laluku dan kemudian memutuskan untuk pergi."     

"Ohh..." Vega menekap bibirnya. "Pasti sedih sekali..."     

Mischa mengangkat bahu. "Lumayan. Sejak itu aku belum membuka hatiku untuk wanita yang baru. Kurasa lebih mudah untuk menjalin hubungan dengan wanita yang sudah mengenal siapa aku dan dapat menerimaku apa adanya."     

"Itu benar," kata Vega. Wajahnya menjadi berseri-seri. Ia ikut sedih karena Mischa ditinggalkan oleh kekasihnya begitu saja. Namun, saat ia mendengar bahwa selama ini Mischa belum pernah membuka hati untuk wanita lain, gadis itu menjadi sangat senang.     

"Tapi, kurasa Kak Mischa tak akan pernah bertemu wanita yang dapat mengerti dirimu dan menerimamu apa adanya kalau kau tidak pernah memberi kesempatan kepada wanita baru untuk mengenalmu," kata Vega. "Apakah kau pernah berkencan dengan wanita lain selama ini?"     

Mischa menggeleng. "Tidak. Aku cukup sibuk. Aku tidak terburu-buru mencari pendamping. Kurasa, orang yang tepat akan datang pada waktu yang tepat."     

"Ahh.. benar juga," kata Vega sambil tersenyum bahagia.      

Ia benar-benar senang karena Mischa bahkan belum pernah berkencan dengan wanita lain sejak putus dengan Lisa.     

"Tapi, aku akan membuka hatiku kalau kau ingin masuk," kata Mischa sambil menatap Vega dengan pandangan geli. "Kalau untukmu... pintunya selalu terbuka."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.