The Alchemists: Cinta Abadi

Kesedihan Fee



Kesedihan Fee

1Sudah dua minggu Ren dan Fee menghabiskan liburan mereka di Bali. Fee ternyata sangat menikmati cuaca di pulau tropis dan menghabiskan sangat banyak waktu untuk berjemur di tepian kolam renang di depan kamar mereka, atau mengajak Ren menuruni tebing di bawah villa mereka menuju ke pantai pribadi yang ada di bawah.     

Di sana ia akan bermain air dan mengambil rumput laut sementara Ren duduk di tepi pantai sambil membaca buku atau mengerjakan hal lainnya. Kadang-kadang mereka akan berjalan-jalan ke Ubud dan melihat kehidupan masyarakat khas Bali yang masih banyak di pertahankan di desa-desa sekitar pusat kota Ubud.     

Ketika Fee dan Ren pergi ke Bali Barat untuk menginap di Pulau Menjangan, Fee menemukan bahwa ternyata ia sangat gemar dan pandai menyelam. Ia menikmati kegiatan snorkeling dan free diving selama di sana.     

Kekayaan biota laut di bawah air di Pulau Menjangan sungguh membuat Fee terpesona dan membuat Ren memperpanjang kunjungan mereka di sana.     

"Lama-lama kau bisa tumbuh sirip kalau kau menyelam terus," goda Ren saat Fee lagi-lagi menarik tangannya untuk naik ke kapal dan berlayar ke lautan.     

"Aku tidak keberatan tumbuh sirip..." balas Fee dengan gembira. Selama dua minggu berada di Bali, suasana hatinya menjadi sangat banyak berubah.     

Cuaca hangat pulau tropis, pemandangan yang indah di sekitar mereka, kegiatan aktif yang ia dan Ren lakukan setiap hari mulai dari berenang, memasak bersama, berjalan-jalan ke desa, pantai, dan gunung.. semuanya berhasil membuat Fee benar-benar dapat melupakan kesedihan dan berbagai hal yang membuatnya stress selama ini.     

Wajahnya kini selalu dipenuhi senyuman dan wajahnya terlihat semakin cantik. Ia sungguh merasa beruntung karena akhirnya ia memperoleh semua hal yang diidamkan semua wanita. Kehidupan yang menyenangkan di tempat indah, bersama suami yang memanjakannya. Dalam hidupnya, Fee tidak menginginkan apa-apa lagi. Ia merasa sangat bahagia.     

"Sayang... rasanya aku sudah harus konsultasi ke dokter," kata Fee saat memeluk Ren di tempat tidur dan mereka menonton sebuah film di layar TV besar di dinding. "Kehamilanku sekarang sudah 16 minggu. Aku ingin tahu perkembangan anak-anak kita."     

Ren yang sedang memperhatikan tayangan di TV seketika menelan ludah, saat ia mendengar permintaan Fee. Mereka sudah hampir sebulan berada di Bali dan ia selalu berhasil mengalihkan perhatian Fee dari kehamilannya dengan membuat gadis itu sibuk.     

Akhirnya hari yang ditakutkannya itu tiba juga.     

"Kau kenapa?" tanya Fee keheranan. Ia telah melihat wajah Ren berubah. Pria itu menatap Fee dengan mata berkaca-kaca. Perasaan Fee seketika menjadi tidak enak. "Ada apa..? Kenapa kau tidak menjawabku?"     

Ren merengkuh Fee ke dadanya dan memeluk gadis itu erat-erat.     

"Maafkan aku..." bisiknya dengan suara serak. Air matanya telah menetes tanpa dapat dibendung lagi. "Sayang.. maafkan aku. Aku tidak dapat melindungi anak-anak kita. Aku bersalah kepadamu. Kumohon ampuni aku..."     

Fee terpaku di tempatnya saat mendengar kata-kata suaminya. Pikirannya memusing.     

Sebentar.. kenapa Ren meminta maaf? Kesalahan apa yang telah ia lakukan?     

"Kenapa kau meminta maaf...?" tanya Fee keheranan. Dadanya pelan-pelan dirayapi perasaan sedih dan ketakutan. Ia sangat takut telah terjadi hal yang buruk. "Ren.. jawab aku!"     

Ren semakin mengeratkan pelukannya kepada Fee.     

"Maafkan aku.. aku yang yang bersalah. Kau bisa menghukumku.. Kau bisa marah kepadaku. Aku sengaja berbohong kepadamu agar kau mau sembuh dulu..." bisiknya berulang-ulang. Air matanya mengalir semakin deras.     

Seketika terdengar raungan pedih dari kamar mereka. Fee menangis menjerit-jerit dengan suara yang akan memedihkan hati siapa pun yang mendengarnya. Ia sudah dapat menduga apa yang terjadi sebenarnya, walaupun Ren masih tidak bicara dengan jelas tentang nasib kedua janin dalam kandungannya.     

"Aaaahhhh... tidaaaakk..." Fee meraung dan memukuli tubuh Ren dalam kepedihan yang tak terperi. "Aku tidak terima... Kau bohong!! Ini tidak mungkin terjadi. Anak-anakku.... Oh Tuhan..."     

Ren sama sekali tidak dapat menghibur istrinya. Ia bahkan tidak dapat menghibur dirinya sendiri. Ia hanya bisa memeluk Fee. Akhirnya ia bahkan ikut menangis tersedu-sedu sambil memeluk erat Fee di dadanya.     

Ia adalah seorang laki-laki dewasa yang tidak pernah dikuasai emosi, tetapi hari ini ia menumpahkan semua kesedihannya tanpa malu. Ia memiliki IQ sangat tinggi dan bahkan termasuk seorang manusia genius yang dapat memecahkan berbagai masalah teknis dan ilmu pengetahuan alam, daya analisisnya luar biasa... tetapi untuk masalah yang ia hadapi bersama Fee ini... ia sama sekali tak berdaya.     

Ia sungguh tak tahu bagaimana menghibur hati orang tua yang kehilangan anaknya. Tidak ada rumus fisika dan matematika yang dapat digunakan untuk memecahkannya.     

"Maafkan aku..." hanya itu yang dapat ia ucapkan berkali-kali.     

Bukan hanya Fee yang merasakan hancur hati, Ren pun demikian. Bahkan setelah lebih dari sebulan berlalu, kesedihannya saat mengingat kematian dua anak mereka masih belum berkurang. Ini bukan kesedihan yang akan menjadi mudah seiring dengan waktu. Ia sadar dirinya dan Fee tidak akan pernah pulih dari ini.     

Fee menangis semalaman dan tidak dapat tidur. Ia menolak Ren untuk tidur di sampingnya karena ia merasa ditipu. Berkali-kali Ren mencoba meminta maaf dan membujuk Fee, tetapi gadis itu tidak mau menggubrisnya.     

"Kalau kau tidak keluar dari kamar ini, aku yang keluar..." ancam Fee dengan mata menyala-nyala. Ia bersiap turun dari tempat tidur.     

Melihat itu, Ren buru-buru menyentuh tangan Fee dan menenangkannya. "Jangan. Biarkan aku yang pergi. Kau tetap di sini..."     

Walaupun Ren tidak mencintai istrinya, sebagai suami ia adalah laki-laki yang bertanggung jawab. Ia memegang prinsip bahwa jika pasangan suami istri bertengkar, maka sang suamilah yang harus pergi meninggalkan rumah karena lebih mudah bagi laki-laki untuk bertahan di luar, dibandingkan jika perempuan yang keluar.     

"Aku akan menunggu di paviliun depan hingga kau dapat menenangkan diri..." bisik Ren dengan suara sangat sedih.     

"Keluar!!! Pergi!! Aku tidak mau melihatmu lagi..." jerit Fee.      

"Baik. Aku keluar sekarang.. ." kata Ren dengan sedih. Ia mengambil sedikit barangnya dari lemari lalu beranjak keluar kamar mereka dan berjalan keluar vila, menuju gedung paviliun di depannya.     

Sebenarnya Ren ingin sekali tinggal untuk memeluk Fee dan saling menghibur bersamanya, karena bagaimanapun mereka berdua berbagi kesedihan yang sama. Namun apa boleh buat, Fee benar-benar berkeras menyuruhnya pergi.     

Setelah Ren pergi, Fee kembali meraung dan menangis sejadi-jadinya. Sekujur tubuhnya dan bantal di sampingnya telah basah oleh air mata.      

Fee dan Ren sama-sama berkabung atas kepergian kedua anak mereka, secara terpisah, Fee di vila utama dan Ren di paviliun. Mereka belum pernah mengalami hari yang demikian buruk dalam hidup masing-masing.     

Fee masih menolak bertemu Ren setelah satu minggu.     

.     

.     

>>>>>>>     

From the author:     

Yeay.. The Prince Who Cannot Fall In Love & The Lost Heiress masuk Top 50. Ini bab kedua hari ini ya. Jangan lupa besok tetap vote, biar tetap di Top 50 dan saya bisa publish dua bab lagi.     

#Muahhhh!!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.