The Alchemists: Cinta Abadi

Air Mata Ren



Air Mata Ren

1Mischa tidak dapat berbuat apa-apa ketika Karl tiba di penthouse bersama John dan dengan sopan meminta barang-barang pribadi Fee. Bagaimanapun Ren adalah Pangeran Putra Mahkota Moravia dan Fee sendiri yang dulu mengakui bahwa ia menikah dengan Ren.     

Maka, kalau Ren mengirim orangnya untuk mengambil barang-barang istrinya, Mischa terpaksa mengizinkan.     

"Aku perlu tahu apakah Fee baik-baik saja," kata Mischa setelah Karl mengambil tas dan ponsel Fee dari tangan Mischa. "Terakhir kulihat, ia pingsan di pesta istana. Apakah ia sakit?"     

"Tuan Rhionen tidak usah cemas. Saat ini Nyonya Hanenberg memang sedang kurang sehat dan suaminya sedang merawatnya bersama tim dokter terbaik. Anda sudah punya nomor telepon saya dan Pangeran Renald, kan? Tidak ada yang perlu Anda curigai. Nanti kalau Nyonya sudah baikan, Pangeran akan memintanya menghubungi Anda," kata Karl dengan penuh hormat. "Saya bisa jamin itu. Kalau dalam waktu seminggu Nyonya belum menghubungi Tuan, silakan Tuan menelepon saya."     

Karl tetap bersikap hormat dan sopan kepada Mischa karena harus menjaga sikap di depan bos RMI itu agar Mischa tidak curiga kepadanya. Bagaimanapun juga, kedudukannya di RMI membuat Mischa disegani bahkan oleh raja Gustav sendiri.     

"Baiklah, aku percaya kepadamu..." kata Mischa akhirnya. "Aku akan menunggu Fee menghubungiku."     

"Terima kasih atas pengertiannya. Kalau begitu, saya permisi dulu." Karl berbalik dan keluar melalui pintu penthouse lalu menghilang di balik pintu lift.     

Setelah menutup pintu, Mischa segera masuk ke ruang kerjanya dan membuka komputer. Di layarnya segera terlihat peta Moravia dan sebuah titik merah yang bergerak cepat.     

Ia sedang memeriksa jejak Karl dan ke mana ia pergi. Tas Fee yang tadi diserahkannya kepada Karl telah dipasanginya alat pelacak dan penyadap.     

Mischa tidak perlu memaksa Karl untuk memberi tahu di mana Fee berada, karena ia sudah menyadapnya dan ia akan dapat menemukan lokasi Karl dengan mudah.     

Lima belas menit kemudian Mischa menemukan bahwa titik merah pelacaknya berhenti di sebuah gedung di pusat kota.     

Golden Almstad Tower adalah gedung tertinggi di Almstad saat ini. Mischa segera mencari keterangan siapa pemilik gedung itu dan siapa saja penghuni apartemen di sana. Tidak lama kemudian ia telah mendapatkan semua informasi yang dibutuhkannya.     

Ahh... ternyata Renald Hanenberg memiliki penthouse di lantai tertinggi gedung itu, pikir Mischa saat membaca informasi yang ditemukannya.     

Tidak salah lagi, pasti Fee dibawa ke sana.      

"Ah..." Belum sempat Mischa hendak menyelidiki lebih lanjut, titik merah di komputernya menghilang. "Brengsek!"     

Rupanya ada orang yang menemukan pelacaknya dan segera menonaktifkannya. Penyadapnya juga sudah rusak.     

Mischa memijat keningnya.     

Ia tidak boleh memandang remeh sistem keamanan Pangeran Renald. Baiklah. Kalau perlu ia akan pergi pergi sendiri ke gedung itu untuk menemui Ren dan bicara dengan Fee.     

***     

Ren menaruh tas tangan Fee di meja dapur dan menyuruh Karl membongkarnya untuk memastikan bahwa tidak ada pelacak ataupun penyadap yang dipasang Mischa di sana.     

"Aku menemukan satu pelacak di bagian alasnya," kata Karl sambil mengangkat sebuah benda kecil berwarna hitam seukuran beras.     

"Buang saja tasnya kalau begitu. Fee masih punya banyak tas di rumah. Ia tidak membutuhkannya." Ren lalu membuka-buka ponsel Fee dan mengamati isinya. "Ponselnya aman. Mischa tidak menaruh apa pun di dalamnya."     

Setelah membaca semua isi pesan dan email yang ada di ponsel Fee dan memastikan tidak ada yang serius, Ren lalu menyerahkannya kepada Karl agar dibuang. "Hapus isinya dan buang."     

Ren tidak ingin istrinya memiliki benda pemberian laki-laki lain. Ia akan membelikan Fee ponsel baru yang lebih bagus.     

Ren lalu melihat jam tangannya dan mendesah. Baru 15 jam. Fee masih baru akan sadar 5 jam lagi.     

Ia mengambil botol wine dan gelasnya lalu menuang wine setengah gelas.     

"Kau sudah menemukan Amelia?" tanya Ren sambil menyesap wine-nya. Ia telah menghabiskan hampir setengah botol sementara tadi ia menunggu Karl pulang dari tempat Mischa.     

Karl mengangguk. "Lady Amelia menghabiskan liburan tahun baru di rumah peristirahatan orang tuanya di Provence. Mereka baru berangkat kesana tadi siang. Aku akan menjemputnya ke sini atau ke rumahmu yang di Prancis kapan pun kau minta."     

Ren tampak tepekur. "Jangan bawa ke sini... aku tidak mau Fee melihatnya dulu. Aku akan menunggu Fee membaik sebelum aku menemui Amelia. Aku takut Fee akan stress atau histeris kalau sampai melihat Amelia."     

"Baiklah kalau begitu." Karl mengangguk. "Ada lagi?"     

"Sementara tidak ada. Aku akan merawat Fee di sini. Kalau ada yang menghubungiku kau bilang saja kepada mereka bahwa aku sedang sakit."     

Ren belum menyalakan ponselnya sama sekali. Kemungkinan besar kakek dan neneknya sudah berusaha menghubunginya sejak kemarin tetapi tidak berhasil. Ia sedang tidak ingin bicara kepada siapa pun. Karena itulah ia menyuruh Karl membereskan urusan komunikasinya.     

"Baiklah." Karl menghela napas melihat Ren kembali menuangkan wine ke gelasnya. Ia mengambil botol dari tangan pria itu beserta gelasnya. "Sudah cukup. Sebaiknya kau berhenti minum dan segera tidur. Kau tidak mau berbau alkohol di depan istrimu."     

Ren yang hendak protes akhirnya terdiam. Ia mengangguk lemah dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi besar di dalam kamar utama. Ia membasuh diri dengan cepat lalu menggosok gigi dan mengganti pakaian bersih, berusaha menghilangkan bau alkohol dari tubuhnya.     

Ketika ia melihat cermin, pria itu tertegun. Ia hampir tidak mengenali wajahnya yang tampak sangat pucat dan hampir seperti kehilangan darah. Di bawah kedua matanya ada lingkaran hitam dan ekspresinya tampak sangat sedih.     

Kalau Fee melihat wajahnya seperti ini, gadis itu mungkin akan ketakutan dan bertambah stress...     

Ren mencuci muka lagi dan berusaha tersenyum, tetapi senyumnya hambar dan matanya terlalu merah akibat kehabisan air mata. Ia tidak tahu sudah berapa banyak air mata yang mengalir keluar dari matanya sejak kemarin malam.     

Ia belum pernah merasa sesedih ini seumur hidupnya, bahkan tidak ketika ibunya meninggal dunia saat usianya baru sepuluh tahun.     

Ia tidak pernah mengenal ayahnya, dan kematian pria itu meninggalkan lubang kosong yang begitu besar di hatinya. Hatinya pun tambah terluka saat menyadari kenyataan bahwa ibunya meninggal karena rasa duka yang tidak pernah pulih akibat kematian ayahnya. Wanita itu benar-benar meninggal karena patah hati,     

Ia ingat ibunya selalu mengatakan bahwa Ren sangat mirip dengan ayah kandungnya. Mereka memiliki wajah tampan yang serupa, mata cokelat terang yang sama, dan bahkan mereka sama-sama genius.     

Setiap kali ibunya melihat Ren, beliau akan teringat kepada mendiang ayah Ren dan hal itu akan merobek luka di hatinya semakin lama semakin besar. Hingga akhirnya, pada suatu hari, kesedihannya yang terlalu dalam membawanya pada kematian.     

Putri Hannah meninggal karena terlalu banyak mengonsumsi obat-obatan untuk mengatasi rasa sedihnya. Ia meninggalkan anak lelakinya seorang diri di dunia, sebagai cucu haram raja Moravia yang tidak diakui keluarga.     

Kematiannya membuat Ren kecil terpukul dan ia tidak mau bicara selama dua tahun. Ia menyimpan dukanya selama dua tahun dengan menolak berbicara kepada siapa pun.     

Ren tidak pernah mengira ada kesedihan yang lebih pedih daripada kehilangan orang tuanya...     

Ternyata kesedihan akibat kehilangan anak.. tidak dapat dibandingkan dengan apa pun.     

Ren tidak dapat mencintai istrinya... tetapi ia sangat mencintai anak-anaknya.     

Ia bukannya tidak menginginkan mereka.. Ia hanya tidak ingin melibatkan mereka dalam pembalasan dendamnya.     

Ketika ia mendengar dari bibir Fee bahwa ia mengandung, hati Ren menjadi hancur.      

Ia tidak sanggup melanjutkan rencana balas dendam yang sudah disusun selama belasan tahun bersama pamannya.     

Bagaimana bisa ia menyakiti anaknya dan melibatkan mereka?     

Tetapi ia tidak bisa membatalkannya begitu saja. Ia dan pamannya sudah bekerja keras dan mengorbankan darah, waktu, dan air mata untuk sampai sejauh ini.     

Setelah ia pergi meninggalkan Fee di tempat Mischa dengan perasaan galau, Ren menghabiskan waktu sepuluh hari untuk berpikir, apa yang harus ia lakukan.     

Ia sama sekali tidak berencana memiliki anak dari Fee.. tetapi nasi sudah menjadi bubur, dan ia tidak mungkin melepaskan mereka.     

Akhirnya, ia pun memutuskan hendak membatalkan semuanya dan membawa Fee pergi jauh bersama anak mereka... melupakan semua ini dan menghilang.     

Tetapi belum sempat ia melakukannya... Amelia telah membunuh anak-anaknya.     

Ren kembali menangis tersedu-sedu di kamar mandinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.