The Alchemists: Cinta Abadi

Ternyata Tuan Muda...



Ternyata Tuan Muda...

3"Oh.. begitu ya?" George mengangguk-angguk. Ia terlihat bersimpati kepada Rune tetapi pada saat yang sama ekspresinya juga tampak seolah ia merasa kasihan kepada Rose karena memiliki kekasih yang tidak memiliki pekerjaan tetap.     

Kata freelancer, fixer, dan semacamnya identik dengan orang-orang muda yang tidak sanggup memperoleh pekerjaan bagus sehingga terpaksa melakukan pekerjaan serabutan.     

Sebagai anak dari keluarga kaya yang memiliki perusahaan besar, ia ingin membantu Rose agar kekasihnya bisa memiliki pekerjaan yang lebih baik. Karenanya ia melanjutkan bicaranya dengan nada sambil lalu, agar tidak menyinggung baik Rose maupun Rune.     

"Keluargaku punya beberapa perusahaan besar. Kalau kau sudah bosan bertualang.. dan ingin menetap di suatu tempat dengan melakukan pekerjaan kantoran yang membosankan, jangan sungkan-sungkan menghubungiku."     

Rose dan Rune bertukar pandang. Pemuda itu tersenyum lebar. Ia merasa sangat senang karena teman-teman Rose tampak kasihan kepadanya setelah mendengar dari Rose bahwa ia hanyalah seorang freelancer.     

Satu hal yang ia sukai dari teman-teman Rose adalah, walaupun mereka berasal dari kalangan atas, mereka tidak merendahkannya atau memandangnya sebelah mata. Malah, sepertinya mereka ingin membantu dirinya demi rasa sayang mereka kepada Rose.     

Ahhahaha... Rune ingin tertawa terpingkal-pingkal saat mendengar tawaran George yang murah hati. Kalau memang ia berminat melakukan pekerjaan di belakang meja yang membosankan, ia sudah terjun ke bisnis keluarga.     

Ada ratusan usaha di bawah Schneider Group. Ia hanya perlu memilih bidang yang sesuai minatnya. Ia juga dapat mengurus kantor pusat sebagai pengelola semua perusahaan tersebut.     

Ia yakin ayahnya akan sangat senang kalau Rune memutuskan untuk terjun mengurusi Schneider Group karena kini Caspar harus mengurusnya sendirian setelah Terry dan London 'pensiun'.     

"Ahh.. terima kasih atas tawaranmu yang sangat murah hati," kata Rune dengan sungguh-sungguh. "Aku tidak pernah kuliah dan tidak punya gelar apa-apa. Kurasa aku tidak memiliki ketrampilan atau gelar yang memadai untuk melamar ke perusahaan mana pun. Aku tidak mau merusak nama baik Rose kalau aku mengacau di perusahaanmu jika kau memutuskan memberiku pekerjaan."     

GLEK.     

Tanpa sadar, Peter, Helene, dan George saling pandang.     

Tidak pernah kuliah?     

Rose ini memang seleranya tentang pria cukup unik, ya, pikir mereka bersamaan. Sepertinya Rose menyukai pria-pria tampan yang miskin. Dulu, ia mencintai Leon... dan sekarang Rune.     

"Heii.. sudah, sudah... kalian membuat Rune menjadi canggung," kata Rose sambil tertawa. Ia melambaikan tangannya ke arah George. "George sayang, aku tahu niatmu baik. Tapi aku dan Rune baik-baik saja. Aku tidak mencari lelaki kaya dan berpendidikan. Seharusnya kalian mengenalku dengan lebih baik. Aku sama sekali tidak peduli apakah kekasihku memiliki uang atau tidak. Selama ia mencintaiku... itu sudah cukup."     

Ia lalu menatap wajah Rune dengan wajah penuh cinta. Akting Rose sungguh menyakinkan, hingga Rune hampir tertipu. Ia merasakan dadanya berdebar keras sekali saat ditatap oleh Rose seperti itu.     

Astaga... mengapa dadaku berdebar-debar seperti ini? pikirnya bingung. Ia sampai kuatir dirinya mengalami serangan jantung.     

Ia belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Wajahnya yang memerah karena tersipu-sipu tidak luput dari observasi Helene, George dan Peter. Mereka bertiga saling tersenyum. Sepertinya laki-laki ini memang sangat mencintai Rose, pikir mereka.     

Ah.. asalkan Rose bahagia, mereka akan dengan senang hati mendukung hubungannya dengan siapa pun.     

"Aku sangat senang melihat kalian berdua. Sepertinya kalian memang sangat cocok," kata Helene. Wajahnya tampak dihiasi ekspresi lega.     

"Rune membuatku sangat bahagia," balas Rose, berbohong.     

"Ah.. syukurlan. Aku sempat kuatir saat membaca berita minggu lalu. Tapi rupanya kekuatiranku tidak beralasan. Kau memang baik-baik saja, dan terlihat bahagia," kata Helene lagi.     

Ia menyentuh lengan Rose dan menepuk-nepuknya, seolah menghibur Rose. Tindakannya itu membuat Rune keheranan.      

Saat Helene menyebut tentang berita minggu lalu, telinga Rune seketika menjadi tegak.     

Tunggu dulu... Apa yang terjadi minggu lalu sehingga Helene menjadi kuatir tentang Rose?     

Rune ingat bahwa saat itulah Rose menangis di balkon dan sikapnya menjadi aneh. Ia terlihat sangat sedih dan bahkan minum sangat banyak hingga mabuk.     

Ia benar-benar tergoda untuk permisi ke kamar mandi dan memeriksa berita di internet yang melibatkan nama Rose Fournier.     

Ahh.. rasanya ia tidak perlu buru-buru, kan? Rose sudah menyampaikan kepadanya bahwa malam ini ia akan memberi tahu Rune semua tentang dirinya.     

"Kalian tidak usah mengkhawatirkanku," kata Rose sambil tertawa terbahak-bahak. "Aku bahagia. Rune selalu ada untukku dan ia laki-laki baik. Aku sangat beruntung."     

Ketika ia berkata begitu, pelayan datang dan menuangkan champagne ke gelas masing-masing karena minuman mereka sudah habis. Rose mengalihkan perhatian mereka dengan mengajak teman-temannya bersulang lagi.     

"Ayo.. mari kita bersulang untuk persahabatan kita..." ketika ia mengangkat gelasnya, Rune tiba-tiba menyentuh lengan Rose dan menggeleng pelan.     

Rose mengerutkan keningnya, tidak mengerti kenapa Rune sepertinya hendak mencegah ia minum. Rose pun memutuskan bertanya, "Ada apa?"     

"Kau bilang kau tidak akan minum lebih dari dua gelas," bisik pemuda itu. "Kau memberiku izin untuk melakukan apa pun demi mencegahmu minum lagi."     

"Oh, ya?" Rose mengerucutkan bibirnya. "Aku tidak ingat..."     

"Aku merekamnya, kau bisa dengar sendiri," kata Rune. Ia mengeluarkan ponselnya dan memutar rekaman suara Rose yang tadi sempat ia rekam ketika mereka baru tiba di lounge.     

Wajah Rose seketika berubah mendengar rekaman itu. Ia menatap Rune dengan wajah tidak senang. "Aku mau minum dan kau tidak bisa mencegahku."     

"Kau sudah memberiku hak untuk mencegahmu dengan segala cara," kata Rune. "Kalau kau minum gelas ketiga, aku akan menciummu."     

Glek.     

Rose menelan ludah. Ketiga temannya saling pandang dan tersenyum simpul. Menurut mereka adegan antara Rose dan Rune ini cukup romantis. Mereka menduga kedua orang ini sudah terbiasa begitu.     

"Kau tidak akan berani," tantang Rose.     

Dengan acuh, ia lalu mengangkat gelasnya yang sudah berisi penuh oleh champagne dan hendak meminumnya, tetapi belum sempat gelas itu menyentuh bibirnya, sebuah tangan yang besar telah mengambil gelas dari tangannya dan menaruhnya di meja.     

Sesaat kemudian, tangan itu telah memegang belakang kepalanya dan menahan saat Rune mendaratkan ciuman mesra ke bibir Rose.     

Sontak terdengar suara batuk-batuk dari orang yang hadir di lounge itu, diikuti oleh seruan kaget tertahan.     

Sang pelayan yang tadi melihat Rune memegang tangan Rose, baru datang dengan membawa hidangan es krim untuk mereka semua dan menyaksikan kini anak bungsu keluarga Schneider yang terhormat mencium seorang laki-laki dengan begitu mesranya.     

Uff.. jadi memang benar, Tuan Rune menyukai lelaki dan perempuan sekaligus, pikirnya. Ia berusaha bersikap seolah tidak ada apa-apa dan menyajikan es krim dengan tenang di depan semua tamu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.