Devil's Fruit (21+)

Terong Gantung



Terong Gantung

0Fruit 1033: Terong Gantung     

Pertemuan malam itu selesai menjelang jam 4 pagi dan semua anggota Tim Blanche membubarkan diri masing-masing.      

"Va, pulang ke kamarmu dan tak boleh ada siapapun di sana selain kau, sayank." Ronh memberikan peringatan terlebih dahulu pada putri sulungnya sebelum mereka saling berpisah.      

Vargana memutar matanya, malas, dan menjawab, "Please, Pa ... apakah kalian pikir aku semesum itu?"      

"Kadang, sih!" Ronh dan Myren sama-sama menjawab dengan kata mirip sebelum mereka benar-benar menghilang dari hadapan putrinya, menyisakan Vargana melotot di tempatnya.      

Kemudian, Vargana menoleh ke arah calon suaminya, Pangeran Abvru. Sang pangeran incubus malah terlihat canggung mengusap-usap tengkuknya. "Kenapa? Kau dengar sendiri, kan, apa yang udah dikatakan kedua orang tuaku?"     

"Hn, ya." Pangeran Abvru hanya bisa meringis saat menjawab sebelum dia mulai menatap serius ke Vargana untuk berkata, "Tapi aku akan menjaga di luar jendelamu, Va."     

"Tidak mau!" seru Vargana menolak.     

"Harus!" Pangeran Abvru bersikeras.     

"Kakek mesum!" teriak Vargana sebelum dia pun melesat menuju ke hunian dia sendiri. Kesal karena tidak dipercaya kedua orang tuanya, dan juga masih harus menghadapi sikap posesif dari seorang iblis yang ngotot ingin dianggap kekasih.      

Errr ... tapi, sebenarnya Vargana menikmati pemujaan yang dilakukan oleh Pangeran Abvru, kok! Dia cuma tidak ingin menampilkan secara gamblang saja agar si pangeran itu tidak perlu memperbesar kepalanya.      

Kembali ke Jovano, dia masih terganggu dengan kenyataan bahwa sudah ada kebangkitan dari ras vampir. Ia bingung dan tak tahu, haruskah dia mulai berpatroli setiap malam, terutama di hunian Nadin? Ohh, damn! Dia sangat khawatir jika para makhluk jahat itu akan menyakiti kekasihnya.      

Maka, ia pun segera melesat kembali ke depan jendela kamar Nadin, dan tetap berjaga di sana sampai besoknya, tidak tidur, hanya untuk memastikan sang gadis kepala merah muda itu aman tanpa memiliki gangguan dari makhluk apapun jenis rasnya. Manusia pun tidak terkecuali!     

Setelah pagi tiba dan matahari mulai mencuat perlahan di timur, Jovano segera membuat dirinya transparan hanya agar dia tidak bisa dilihat siapapun. Akan sangat aneh jika ada yang memergoki adanya seorang mirip manusia, melayang dan diam di depan sebuah jendela.      

Sambil menunggu kekasihnya selesai mandi dan bersiap-siap untuk pergi sekolah, Jovano sembari memikirkan berbagai hal yang ingin dia lakukan.      

Maka, setelah memastikan Nadin selamat sampai sekolah meski memakai bus sekolah, Jovano pun kembali ke mansion dia untuk menemui ibunya.      

"Mom, aku ingin mengatakan sesuatu, yah ini sebenarnya permintaan, sih. Minta ijin, lebih tepatnya." Jovano mendekat ke sang ibu ketika wanita cambion itu sedang membereskan tempat tidur dan ayahnya masih di kamar mandi.      

"Jo, jangan bilang kamu minta kawin, deh! Kelarin dulu kuliah kamu, oke!" Andrea seketika merasa was-was andai memang benar sang putra minta sebuah pernikahan dini. "Jo, percaya deh, pernikahan dini itu banyak jeleknya ketimbang manfaatnya. Kalo soal manfaat, palingan cuma kamu ama bini kamu masih keliatan muda waktu anakmu udah gede, yah kayak Mama ini, sih! Paham, kan? Tapi kalau bicara soal kejelekan pernikahan dini ..."     

"Mom! Chills out!" Jovano terpaksa memotong perkataan ibunya sebelum sang ibunda melantur kemana-mana hanya berbekal pemikiran liarnya sendiri. "Aku kagak minta pernikahan dini!"     

"Ohh, yah bagus, deh!" Andrea meneruskan membereskan tempat tidur, tapi kemudian dia mematung. "Wait! Kayaknya apa yang bakalan kamu minta ntar pasti lebih buruk ketimbang pernikahan dini, deh!" Matanya memicing karena curiga. Ia tidak bisa terkecoh oleh sang putra.      

Jovano menerbitkan senyuman diagonal sambil hidungnya diusap cepat, tanda jika dia sedang lumayan gugup, entah karena ketahuan atau mati gaya. "Emang susah yah nutupin sesuatu dari Mom."     

"Huh!" Andrea kembali tegakkan tubuhnya dan menatap ke putra sulungnya sambil berkacak pinggang, berkata, "Buruan bilang, kepingin apa. Kalau itu masuk di logika Mama, maka silahkan aja."     

Dari kalimatnya saja sudah merupakan sebuah ancaman terselubung dari sang ibu. Jovano paham sekali akan itu. "Um ... cuma permintaan sederhana dan kerap dilakukan banyak orang, Mom."     

"Hm ..."     

"Anu ... aku ingin tinggal bersama di apartemen dengan Nadin."     

"WHAT?!" Andrea meletup seraya matanya tidak lupa untuk melotot agar terkesan dramatis.      

"Ada apa, sayank?" Dante keluar dari kamar mandi, masih tanpa helai kain apapun dan kepalanya terdapat busa sampo. "Apakah ada sesuatu yang gawat?" Ternyata dia nekat keluar dalam keadaan demikian gara-gara suara teriakan Andrea baru saja.      

"Tentu! Sangat gawat, Dan!" lengking Andrea sambil mendelik ke penampilan ajaib sang suami saat ini.      

Jovano memutar matanya, jengah. Ibunya ini memang begini, selalu saja menganggap hal sepele sebagai sesuatu gawat, dan malah menganggap hal gawat hanyalah sesuatu sepele. Aneh, kan!     

"Coba ceritakan, ada apa?" Dante mengusap wajahnya ketika mulai dilelehi busa sampo yang turun dari kepala.      

"Anakmu ini!"      

"Iya, anakku kenapa? Ehh, dia kan juga anakmu, sayank."     

"Beuh! Dan, anakmu ini kepingin hidup kumpul kebo ama pacarnya di apartemen sendiri!"     

"Ohh itu, oke, aku bereskan mandiku dulu. Kebetulan aku belum flushing WC, kuharap kalian tidak kebauan." Dante pun kembali masuk ke kamar mandi yang memang menyatu dengan WC.      

"Dante!!!" Andrea sudah hendak membazoka kamar mandi itu jika tidak teringat bahwa itu adalah hunian dia sendiri, akan sangat boros jika harus merenovasi.      

Sementara itu, putranya malah terkikik lirih menahan tawa.      

"Kau!" Andrea menunjuk ke Jovano yang masih terkikik diam-diam. "Kau tetap di sini menunggu buapakmu yang kucluk itu nanti kelar mandi. Stay right there, young man, and don't move any single step!" Lalu Andrea meneruskan acara beres-beres kamar dia yang tertunda gara-gara sang anak.      

Mengetahui ibunya sedang dalam mode 'lebay', Jovano hanya mengulum senyumnya dan diam di sana sesuai perintah.      

"Mam, apa kau lihat crayon aku?" tanya si mungil Zivena. Si kecil langsung saja menyelonong masuk karena pintu kamar orang tuanya terbuka, itu tandanya tidak ada yang perlu diwaspadai. Yah, bocah itu sudah paham kode dari kedua orang tuanya jika mereka hendak bermesraan. Pintu selalu ditutup rapat, bahkan disegel. "Ohh, hai Kak Jo!" Ia menemukan sang kakak di ruangan itu pula.     

Mungkin karena tadi Jovano masuk ke sana, makanya pintu tetap dibiarkan terbuka karena toh tidak ada hal bermuatan rahasia akan dibicarakan.      

"Hai, sweetie ..." Jovano menyapa balik ke adiknya.      

"Nah, mari kita bica-" Tuan Nephilim muncul.     

"Pap! Astaga! My eyes!" jerit melengking Zivena sambil menutup dua mata menggunakan tangan kecilnya ketika ayah dia keluar dari kamar mandi tanpa memakai handuk apapun sehingga terong gantungnya bisa leluasa bergerak syahdu.      

Wushh!     

Andrea terpaksa memakai sihirnya untuk membebat tubuh suaminya menggunakan seprei yang baru saja dia rapikan. "Damn, Dan!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.