The Eyes are Opened

Tanda Kucing Hitam (Part 02)



Tanda Kucing Hitam (Part 02)

3Siang itu berjalan seperti biasa, nggak ada hal yang aneh hingga mama kembali masuk kedalam rumah sambil cepat-cepat mengambil sebuah baskom dan menaruh beras di dalamnya. Aku yang saat itu sedang makan awalny atak terllau memperhatikan mama hingga saat mama ingin berpamitan untuk keluar baru aku menyadarinya.     

"Ndra! Mama ke blok DD dulu ya. Mau ngelayat." Ucap mama yang masih siap-siap.     

"Hah? Siapa yang meninggal ma?" Tanyaku yang terkejut mendengar berita duka itu.     

"Itu lho Eyang Sarjono yang rumahnya gede punya banyak mobil anaknya semalem meninggal di rumah sakit. Ini mama pergi dulu sama ibu-ibu PKK ya.. Kamu di rumah dulu." Ucap mama yang langsung meninggalkan rumah sambil membawa baskom yang berisi beras di tangannya.     

Mendengar hal itu aku menjadi takut dan merinding sendiri. Seperti kucing hitam itu selalu memberi tahuku akan ada kejadian orang yang meniggal di sekitarku. Hmmm.. lebih tepatnya kucing hitam itu seperti pembawa pesan untukku agar aku lebih hati-hati. Aku menyelesaikan makan siang ku dengan cepat lalu kembali ke kamar. Di kamar kau mengingat-ingat kembali berapa kali kucing hitam selalu menemuiku dan akhirnya ada kabar duka yang aku dengar.     

"Sudah ke berapa ya ini terjadi? Kok kayanya sering banget setelah ada kucing hitam yang selalu menghampiriku? Hmmm.. baru dua kali ini sih? Tapi kok jadi ngeri sendiri ya kalau kaya gini? Udah ah, banyak doa aja biar nggak ada hal buruk yang terjadi." Gumamku di dalam kamar lalu tak lama kemudian aku terlelap.     

Beberapa hari telah berlalu. Selam itu pun aku tak bertemu dengan kucing hitam lagi. Aku pikir itu sudah berakhir dan hidupku menjadi tenang. Di sekolah juga aku bisa beraktivitas seperti biasa, yaahh.. meskipun terkadang aku merasakan penunggu di toilet sekolah lantai dua masih ada di sana dan sering mengawasi, namun aku berusaha untuk tidak memeperdulikannya. Hari-hari itu berjalan seperti biasanya, bermain bersama teman-teman hingga ikut ekskul sepulang sekolah. Aku merasakan sedikit lega dengan tidak adanya tanda kabar duka yang akan aku dengar nantinya. Tetapi ada satu hal kemampuan supranatural lainnya yang mulai terbuka. Aku menjadi lebih sensitif dengan orang-orang yang berada di sekitarku, dan beberapa kali aku dapat memprediksi apa yanga akan terjadi. Yahhh.. meskipun itu terkadang terjadi tanpa aku sadari dan aku masih belum dapat membedakannya, sehingga aku tidak terlalu mempercayainya, serta tak berani aku membicarakan hal supranatural pada orang lain yang tak percaya.     

"Hoi Ndra! Lama nggak kelihatan." Sapa kak Andrew yang saat itu sedang lewat di depanku yang sedang menunggu jemputan.     

"Ah, kak Andrew. Iya kakak sendiri yang nggak pernah kelihatan. Pesanku pun juga nggak di balas." Ucapku.     

"Heeee.. masa?? Masa aku nggak ngebalas pesanmu? Kapan kamu kirim pesan?"     

"Uhhmm.. sebelum aku pulang dari puncak itu. Aku kirim pesan ke kakak buat pamitan. Tapi sampai saat ini nggak ada balasan yang aku terima." Ucapku dengan muka yang mulai masam.     

"Ih, masa sih? Kok aku nggak ada pesan ya?"     

"Sengaja kali kak kamu nggak baca pesanku. Atau jangan-jangan kamu hapus lagi."     

Seketika saja saat aku mengucapkan itu, kak Andrew sempat terdiam beberapa detik tak dapat menjawab ucapanku. Seakan-akan ucapanku benar adanya. Aku melihat dalam ke arah mata kak Andrew yang berpura-pura mengecek ponselnya untuk memastikan pesanku yang belum ia balas.     

"Iya Ndra, pesanmu nggak ada tuh. Nih lihat." Ujarnya sambil menunjukkan isi ponselnya kepadaku. Disaat yang bersamaan, aku tak sengaja melihat nama Karin di ponselnya dengan memiliki simbol hati di sebelahnya. Aku hanya terdiam tak membahas apa yang aku lihat, seakan-akan tak melihat yang seharusnya tak kulihat tadi dan aku juga nggak berani membahasnya.     

"Iya. Kok nggak ada sih? Padahal di ponselku jelas-jelas terkirim kok, tapi nggak kebaca. Aneh." Ucapku yang memalingkan mataku dari kak Andrew.     

"Uhmm.. kak, aku mau tanya sesuatu nih sama kamu."     

"Ya tanya aja. Nggak bisa. Nggak bisa sekarang. Gimana kalau kakak ke rumahku aja nanti. Aku sudah di jemput tuh. Oke? Nanti sore aku tunggu di rumahku. Hubungi aku kalau ke rumah ya.."     

"Ok bye.." Ucapnya sambil melambaikan tangannya. Aku berjalan membelakangi kak Andrew dan langsung menuju ke pak Daud yang sudah menjemputku. Aku melihat sekilas saat hendak meninggalkan sekolah, terlihat Karin yang menghampiri kak Andrew sambil merangkul lengannya.     

["Ooohhh.. sudah benar-benar jadian toh. Tapi mereka nggak ada yang bicara padaku jika sudah jadian. Karin juga nggak cerita apapun sampai hari ini. Apa mereka sengaja ya? Hmmm.. sudah lah. Biarin. Toh ya cinta emang nggak bisa di paksakan."] Gumamku dalam hati.     

Pukul 19.00 WIB     

[Ting-tong! Ting-tong!]     

Terdengan bunyi bel pintu rumah. Aku yang mengetahui hal tersebut langsung menuruni tangga dan berlari ke depan pintu.     

"Siapa Ndra?" Tanya papa.     

"Oh, kak Andrew?"     

"Ngapain malam-malam gini bertamu?"     

"Mau main aja bentar mungkin ke sini. Sudah papa masuk aja ke dalam sama mama. Andra di teras bentar mau ngobrol. Jangan nguping! Awas kalau nguping! Kebiasaan kok papa ini!" Ucapku sambil mengancam papa.     

"Idiihh.. orang tua pake di ancam-ancam segala. Nggak usah keluar-keluar lho!"     

"Iyaa tahu!." Ucapku sambil berlari dan membukakan pintu rumah.     

"Sori ya Ndra baru bisa jam segini ke rumah mu. Nggangu ya?" Tanya kak Andrew yang masuk ke teras rumah dan duduk di bangkku teras.     

"Oh nggak kok. Aku juga tadi lagi baca komik. Hehehe.."     

"Ow kirain lagi belajar. Uhmm.. ow ya kamu tadi siang ada yang mau kamu tanyakan apa Ndra?"     

"Ohh.. itu... aku mau tanya, aku belakangan ini sering banget di datangi kucing hitam, dan abis gitu nggak lama, entah hari itu apa beberapa hari berikutnya selalu aja ada yang meniggal. Mungkin nggak sih kalau kucing hitam yang datang ke aku itu membawakan pesan kaya gitu?" Tanyaku.     

["Btw, dari tadi kak Andrew ngomong sama aku kok formal banget ya? Nggak biasanya. Hmm.. ya mungkin dia sudah benar-benar jaga jarak denganku. Apa perlu aku singgung ya nanti.. Hmm.. yah lihat reaksinya aja deh."] Gumamku dalam hati.     

"Oh? Kamu di datangi kucing hitam? Kapan? Malam? Siang?" Tanyanya bertubi-tubi.     

"Ya nggak tentu. Kadang malam, kadang siang. Tapi tanda orang meniggal juga sering aku rasakan sih. Kaya emosiku yang tiba-tiba melow, terus suasana hatiku pengennya berduka itu sudah beberapa kali aku rasakan. Dan sekarang ada kucing hitam yang selalu mendatangiku dan ketika kucing itu mau pergi, dia selalu melihat ke arahku lama banget. Kenapa ya kak?"     

"Yah. Banyak cara kalau kita punya kemampuan itu untuk mengetahui apakah ada tanda orang meninggal atau nggak. Tapi termasuk jarang sekali orang yang di datangi kucing hitam dan mereka menyampaikan pesan seperti itu. Aku juga hampir nggak pernah di datangi kucing hitam. Pernah itu dulu dan mereka memang menyampaikan sesuatu. Kalau di aku, mereka bilang akan ada bahaya yang menimpa keluargaku beberapa pekan lagi. Udah gitu doang lalu kucing itu berjalan meninggalkanku. dan benar beberapa hari kemudian saudara papaku meninggal karena kecalakaan. Yahhh.. aku cuman dapat sekali pesanitu dari si kucing. Kamu malah berkali-kali. Waahhh.. apa mereka memilihmu untuk menyamapikan pesan ini ya?" Ucap kak Andrew yang terheran denganku.     

"Halaaahh.. tapi kan kakak beda dari aku.." Ucapku sambil merenung dan melihat ke bawah.     

"Hei. Apanya beda? Kita sama aja kok. Malah enakan kamu. Nggak lihat barang-barang halus kaya yang lagi ikutan nongkrong di depan kita itu." Ucapnya sambil mengarahkan tangannya ke depan sambil menunjuk ke sebuah pohon mangga yang tumbuh di depan rumahku.     

"Hah? Mana? Aku nggak ngelihat apa-apa tuh." Ucapku yang tengak-tengok untuk melihat 'mereka' yang di maksud kak Andrew.     

"Udah nggak usah di lihat. Katanya nggak pengen bisa lihat 'mereka'. Tuh mereka malah ketawain kamu. Hahahaha.. Udah. Di pohon itu ada dua. Yang satu masih baru kemarin meninggal, yang satu sudah lama. Yang sudah lama itu usil. Apa kamu sering di ganggu dengannya?"     

"Hah? Maksud kakak, si mbak kun?"     

"Iya. Pernah ya?"     

"Iya sering. Ketawa ketiwi gitu nggak jelas. Sambil nggoyang-goyangin kaki pula."     

"Dia emang usil. Lebih usil dari pada yang lainnya. Jadi kamu sendiri harus lebih hati-hati. Nggak usah di perdulikan kalau mereka ganggu kamu. Lalu masalah kucing hitam itu, iya memang mereka selalu membawa berita duka kebanyakan kepada orang-orang yang mempunyai kemampuan dan nggak sembarangan orang yang mempunyai kemampuan ia mau kasih tahu. Kadang kay agitu buat aku itu ngingatkan aku buat bersyukur aja. Kita masih di beri hidup sama Tuhan, sedang yang lain sudah di panggil Tuhan lebih dulu. Makanya banyak doa aja, banyak puasa juga bair semakin terasah kemampuanmu. Hmm.. sudah malam Ndra. Aku pulang dulu ya. Sampaikan salamku ke mama papamu." Ucapnya yang sudah berdiri hendak meninggalkan rumahku.     

"Iya kak. Makasi ya sudah mau main ke rumah. Ow ya, boleh aku tanya satu hal lagi?" Tanyaku dengan sangat hati-hati.     

"Yap. Apa?"     

"Uhmm.. apa kakak sudah resmi pacaran dengan Karin ya? Selamat ya kak.. Jaga Karin jangan buat dia menangis. Oke?" Ujarku sambil tersenyum.     

"Oh, kamu sudah tahu dari Karin?"     

"Enggak. Karin nggak ada cerita apapun padaku. Dia juga sudah lama nggak menghubungiku. Kami cuman ketemu pas di sekolah aja."     

"Lalu tahu dari mana?"     

"Uhmm.. filling. Hehehe.. Kenapa emangnya?"     

"Uhmm.. nggak apa.. Cuman Karin yang memutuskan untuk tidak memberitahu siapapun tentang hubunganku dengannya. Terutama kamu Ndra. Maaf ya.." Ucapnya dengan kepala tertunduk. Melihatnya berkata seperti itu, seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan dan perasaan menyesal bercampur jadi satu. Tapi jika aku tak menanyakan hal ini juga, mereka benar-benar tak menceritakannya padaku.     

"Nggak usah minta maaf terus-terusan sama aku. Sudah sana cepetan pulang. Bye.." Ucapku sambil mendorongnya keluar dari pintu gerbang untuk menyuruhnya pulang.     

"Oh ya bye.. Thanks Ndra.." Ujarnya sambil tersenyum lalu meniggalkan rumahku menggunakan sepeda motornya.     

["Mengetahui hal itu tanpa mereka sendiri yang cerita itu ternyata lebih sakit ya? Kalau di bilang di khianati sahabat sendiri, dan orang yang pernah aku sukai lebih memilih sahabatku.. hmmm.. Aarrrggghhh sudah lah.. Mereka yang pacaran kenapa aku yang heboh mikirin! Sudah ah masuk aja!"] Gumamku dalam hati sambil menutup pintu rumah dan kembali ke kamar.     

Hari demi hari terus berjalan, tanpa ada pembicaraan denganku dan Karin. Setelah malam itu juga Karin mulai berubah. Ia sedikit menjauhi ku entah apa yang telah aku lakukan. Beberapa minggu juag kucing hitam selalu datang kepadaku untuk menyampaikan kabar duka. Entah keluargaku yang meninggal, orang gereja terdekat, hingga beberapa temanku dulu waktu SDpun sudah ada yang meninggal. Aku mulai terbiasa dengan tanda-tanda itu meskipun aku bersyukur tak dapat melihat 'mereka' yang bergentayangan di sekitarku. Hal ini aku jalani hingga aku kuliah sampai di semester terakhir.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.