The Eyes are Opened

Rumah Jati Negara (Part 04)



Rumah Jati Negara (Part 04)

1Hari semakin gelap, matahari pun mulai terbenam. Kami yang saat itu tak dapat keluar dari rumah panti hanya menunggu pak Seto datang untuk mengantar kami pulang. Rumah panti yang sedari tadi siang terasa sepi tanpa adanya suara anak-anak panti membuat kami penasaran, sehingga kami memutuskan untuk berkeliling melihat kondisi kamar anak di lantai atas.     

Setelah kak Dita siuman dari pingsannya yang kedua kali, ia menjadi semakin waspada akan situasi sekitar. Kak Dita juga merasa ada yang aneh dari panti asuhan ini sehingga ingin menyelidiki lebih dalam kondisi panti saat kami masih di dalam ruangan besar.     

"Kak sudah sadar? Apa ada yang pusing?" Tanyaku memastikan kepada kak Dita agar tidak ada yang cedera saat ia terjatuh tadi.     

"Iya aku nggak apa kok. Kalau pusing, ia sedikit pusing, kerasa mual juga sih. dek, kamu bawa minyak angin nggak? Aku minta dong." Ucap kak Dita yang mulai nggak tahan dengan rasa pusing dan mual yang kami alami.     

Ya terang saja kak Dita mengalami hal seperti ini. Aku dan kak Dita baru saja masuk ke dimensi lain, seakan-akan aku di bawa oleh arwah anak-anak panti ke dalam lemari besar yang terdapat di ruang besar panti tersebut. Aku memprediksi jika hampir beberapa anak yang meninggal sebelumnya mereka di sekap di dalam lemari ini sebelum mereka di kuburkan di halaman panti. Aku yang saat itu nggak tahu motif dari kematian anak-anak panti ini tiba-tiba teringat dengan anak kecil yang menyelamatkanku keluar dari dalam lemari. Aku juga menceritakan semua kejadian yang aku alami pada kak Andrew dan yang lainnya. Mereka terkejut dan merasa heran dengan apa yang aku katakan. Kak Andrew memberanikan diri untuk membuka pintu lemari itu dari luar, namun pintu yang telah tertutup itu tak dapat di bukanya kembali, seakan-akan pintu itu telah terkunci. Kak Andrew mencoba melihat masa lalu dari kejadian yang telah di alami dengan menyentuh lemari itu. Ia mulai memejamkan mata dan tak lama kemudian kami melihat air mata mengalir dari pipi kak Andrew. Kami yang di sana tak tahu apa yang telah terjadi pada kak Andrew, kami hanya melihanya dan menunggu kak Andrew kembali ke alam sadarnya.     

"Apa Andrew akan baik-baik saja? Kenapa dia sampai menangis seperti itu? Apa yang sedang ia lakukan?" Tanya kak Dita yang penasaran.     

"Nggak apa kok kak. Kak Andrew cuman sedang ingin tahu apa yang telah terjadi masa lalu dengan anak-anak yang kak Dyandra lihat di dalam lemari ini. Kak Andrew sedang berada di alam lain untuk melihat masa lalu melalui media lemari ini. Mungkin sebentar lagi kak Andrew sudah kembali." Terang Dante yang berbicara seperti orang dewasa. Terkadang aku sangat heran dengan Dante, ia adalah anak kecil namun terkadang gaya bahasa yang ia gunakan seakan-akan ia telah dewasa melebihi umurnya, tetapi kadang juga ia bersikap layaknya anak kecil seumurannya. Apakah ini efek anak yang sangat jenius dan memiliki kemampuan special seperti kami? Pikirku.     

"Hah? Masuk ke alam lain? Apakah Andrew bisa kembali?" Tanya kak Dita lagi.     

"Sudah kak.. kakak tunggu aja dan berdoa kak Andrew mendapat jawaban dari apa yang ia lihat." Jelasku.     

Selama kami menunggu kak Andrew kembali ke alam sadarnya, lagi-lagi perasaan seperti di awasi kembali menyelimuti kami. Dante yang tadinya santai dan tak menunjukkan rasa takut, tiba-tiba ia mendekat ke kak Robby dan meminta digendong kak Robby sambil beberapa kali menyembunyikan wajahnya di dalam pelukan kak Robby. Aku yang mengetahui gelagat Dante yang aneh, langsung saja menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari siapa yang terus menerus mengawasi kami dari ke jauhan. Aku merasakan ada beberapa pasang mata yang memperhatikan segala tingkah laku kami dan setiap ucapan kami. Apalagi menyangkut dengan kondisi panti saat ini. Seakan-akan mereka yang mengawasi kami tak menyukai kehadiran kami saat ini. Aku terus melihat ke sekelilingku namun tak kudapati orang yang mengawasi.     

"Kenapa Ndra?" Tanya kakak.     

"Nggak. Kok aku ngerasa dari tadi ada yang terus mengawasi kita ya dari kejauhan? Kalau pakai CCTV kan nggak kaya gini juga rasanya. Kaya mereka langsung memperhatikan kita dari kejauhan gitu lho." Terangku.     

"Maksudmu mereka itu..." Tebak kak Robby yang sama pemikiran denganku. Aku hanya menganggukkan kepala tanpa menjawab dan menyebut nama orang yang sedang mengawasi. Aku tak ingin mengusik mereka agar tidak tersinggung dengan ku.     

10 menit telah berlalu, kak Andrew belum kembali ke alam sadarnya. Teror yang kami rasakan semakin menjadi-jadi. Beberapa kali kami mendengar bunyi benda besi yang di gesekkan di dinding bata di lantai atas terdengar nyaring dan berderit membuat kami semakin awas pada sekeliling. Kami hanya berharap kak Andrew kembali secepatnya ke alam sadar.     

Tak lama kemudian kak Andrew tersadar dan ia mulai membuka matanya yang penuh dengan air mata yang telah membasahi seluruh wajahnya. Aku yang berada di depannya segera memberikan tissue untuk membersihkan air mata, namun ia tak menerima tissue yang sudah aku sodorkan melainkan ia memelukku sambil terus menangis seperti anak kecil yang kehilangan sesuatu yang berharga. Aku membalas pelukannya dan menepuk-tepuk punggungnya agar ia lebih nyaman dan melampiaskan segala emosinya saat itu. Kak Dita dan yang lainnya yang melihat kak Andrew menangis seperti itupun turut ikut memeluknya dari belakang hingga kak Andrew lebih tenang.     

Beberapa menit kemudian kami melepaskan pelukan itu satu persatu dan kak Andrew mulai menceritakan apa yang ia lihat.     

"Uhmm.. aku melihat kalau anak-anak di panti ini banyak yang di jadikan tumbal oleh pemilik panti."     

Kami semua tercengang dan tak dapat berkata apapun mendengar cerita yang belum selesai dari kak Andrew. Kami hanya dapat menunggu dan mendengarkan dengan baik cerita yang ia sampaikan sampai selesai dan juga alasan ia menangis hingga seperti itu.     

"Lalu apa yang terjadi?" Tanyaku.     

"Aku dulu sering ke sini bersama keluargaku untuk bermain dan paling nggak memberikan beberapa baju yang masih bagus untuk mereka. Namun beberapa tahun kami tak kesini, dan saat kami kesini dua tahun lalu, beberapa anak telah meninggal, aku dan keluargaku hanya tahu jika anak-anak di sini meninggal karena sakit. Namun saat aku melihat ke masa lalu tadi, ternyata sakit yang mereka derita bukanlah sakit biasa. Tetapi sakit kiriman sebagai tumbal bagi pemilik panti yang hanya ingin usahanya berjalan lancar dan mendapatkan keuntungan yang besar. Karena tumbal yang harus di berikan adalah anak-anak yang sudah berumur 10 tahun ke atas. Kebanyakan anak-anak di sini adalah anak yang di buang atau anak yang nggak di inginkan orang tua mereka. Ada juga anak jalanan yang tak punya orang tua dan tempat tinggal. Aku tadi bertemu dengan anak yang menyelamatkan mu di dalam lemari sana. Dia ternyata teman kecilku yang telah meninggal karena kejadian itu. Ia meminta tolong untuk membebaskannya dan teman-teman yang lain. Tapi aku tahu dengan kemampuanku. Aku tak bisa melakukannya. Mereka ada yang di berikan obat melalui suntikan agar mereka sakit dan meninggal. Ada juga yang di kurung di dalam lemari in berhari-hari tak di beri makan dan minum sama sekali hingga mereka meninggal karena tak mau menerima suntikan itu. Termasuk temanku ini. Ia tak mau menerima suntikan itu karena ia mengetahui temannya yang sudah menerima suntikan itu tak lama kejang-kejang hingga mengeluarkan busa dari mulutnya."Jelas kak Andrew.     

"Oh tidak! Tempat ini jadi tempat pembunuhan! Lalu siapa yang melakukannya?" Tanya kak Dita.     

"Orang yang melakukannyaa..."     

Belum sempat kak Andrew melanjutkan perkataannya, bu Nilam yang sedari tadi di dapur tiba-tiba keluar dai pintu dapur dan menemui kami. Beliau terlihat masih menggunakan celemek yang terpasang di dadanya, sarung tangan dan sepatu boots. Kami terkejut melihat beliau yang tiba-tiba datang menhampiri kami. Tangan kanan bu Nilam juga terlihat sedang menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya. Kami semua seketika langsung wasapda dengan bu Nilam tanpa melihatkan ekspersi ketakutan kami dan berpura-pura baik-baik saja. Ia terus berjalan hingga kurang lebih dua meter jaraknya dari kami, beliau berhenti.     

"Anak-anak apa yang ingin kalian makan malam ini? Akan saya buatkan untuk kalian." Tanya bu Nilam.     

"Oh nggak usah repot-repot bu. Kami mau pulang kok ini. Kami masih menunngu pak Seto aja untuk berpamitan." Ucap kak Andrew.     

"Ohhh.. yakin kalian nggak mau makan malam dulu bersama kami?" Tanya bu Nilam sekali lagi.     

"Iya bu. Kami mengucaokan terima kasih banyak. Omong-omong pak Seto kemana ya bu?" Tanya kak Andrew.     

"Ohhh bapak sedang keluar ke kota untuk membeli perlengkapan dan kebutuhan rumah yang habis. Mungkin sebentar lagi bapak sudah pulang." Jelasnya dengan senyuman yang sangat dingin pada kami.     

"Ow gitu ya? Uhmm.. kalau gitu kami langsung pulang aja deh bu. Nanti tolong sampaikan ke pak Seto kalau kami pulang duluan ya bu.. karena ini juga sudah larut." Ucap kak Andrew.     

"Tunggu sebentar saja aja lahhh.. nanti nggak enak sama bapak kalau tamunya sudah pulang duluan. Saya yang bisa kena omel bapak nggak menjaga tamunya pikirnya."     

"Uhhmmm.. baiklah akan kami tunggu sebentar lagi. Kami akan menunggu pak Seto di sini saja ya bu. Ow ya anak-anak apakah boleh di kunjungi?" Tanya kak Andrew.     

"Oh boleh kok. Silahkan naik ke atas. Mungkin mereka sedang bermain di kamar atau di ruang belajar." Ucap bu Nilam yang terus melihat ke arah kami dengan senyumannya yang dingin.     

Ketika kami hendak berdiri dan mengambil tas kami, pak Seto pulang dengan membawa beberapa kardus besar yang ia bawa dari depan. melihat hal itu, kami langsung menyambut pak Seto dan segera membantunya. Melihat pak Seto yang telah pulang, seketika bu Nilam menunjukkan sikap tak sukanya pada pak Seto. Beliau menatap tajam ke arah pak Seto yang sudah pulang seakan tatapan penuh kebencian terpancar dari matanya. Aku melihat bu Nilam dari kejauhan langsung merasa ketakutan dan berpikiran apakah yang terjadi di dalam panti ini juga campur tangan dari bu Nilam? Karena sikapnya sangat mencurigakan saat pak Seto tidak ada di tempat. Berbeda dengan ketika pak Seto berada di sampingnya. Aku memperhatikan bu Nilam dari jauh di saat pak Seto menghampirinya dengan memberikan beberapa barang kebutuhan untuk anak-anak panti. Ekspresi wajah yang awalnya hanya terdiam dan memandangi pak Seto dengan tajam seketika ia berubah dengan ekspresi yang sangat ceria dan menyambut suaminya pulang. Aku terus memandangi bu Nilam hingga ia masuk ke dalam pintu dapur, terlihat sekilas di balik tangan kanannya yang sedari tadi ia tutupi, ternyata ia membawa sebilah pisau yang sangat tajam. Entah apa tujuannya ia membawa pisau saat menemui kami. Aku menjadi sangat takut dan jantungku berdegup kencang.     

"Andra! Ayo sini!" Panggil kak Andrew.     

"Ayo kita pulang dan berpamitan ke pak Seto." Bisik kak Andrew saat aku mendekatinya.     

"Pak, kami ijin pulang dulu ya.. Terima kasih sudah mengijinkan kami untuk bermain di sini lagi. Lain kali kami akan berkunjung." Ucap kak Andrew sebagai perpisahan kepada pak Seto.     

"Iya nak. Sama sama.. Ow ya apakah dari tadi ada kejadian aneh di sini?" Tanya pak Seto tiba-tiba. Kami yang mendengarnya sontak bingung mau menjawab apa yang kami alami, namun kami juga takut jika pak Seto ingin melakukan sesuatu yang jahat pada kami hingga kami tak ada yang menjawab sama sekali pertanyaan pak Seto.     

"Nggak apa kok nak. Saya tahu semuanya. Jika istri saya yang melakukan hal itu pada anak-anak panti. Makanya saya diam-diam memasang CCTV di beberapa sudut rumah yang tidak di ketahui istri saya dan melihat apa yang ia lakukan di belakang saya selama ini. Saya tak dapat menceraikannya karena dia adalah anak dari pemilik panti yang saya nikahi sebagai upah saya bekerja di sini. Mungkin suatu saat nanti akan ada karma sendiri bagi pemilik panti dan istri saya dan di saat itu terjadi saya sudah tak berada di sini nak. Jadi jangan kembali ke sini lagi ya.." Ucap pak Seto terakhir kalinya dan tak lama kami berpamitan, lalu meninggalkan panti itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.