The Eyes are Opened

Berkemah : "Turun Gununug" (Part 07)



Berkemah : "Turun Gununug" (Part 07)

1[Kwaaaakkkk!!!! Kwaaaakkkk!! Kwaaaakkkk!!]     

Terdengar suara burung yang terbang di sekitaran gunung Lawu di malam hari. Langit yang mulai semakin gelap, udara yang juga semakin dingin membuat kami memutuskan untuk membuka sleeping bag untuk beristirahat. Aku melihat ke arah jam tanganku dan terlihat waktu menujukkan pukul 18.20 WIB. Saat itu kami semua terlihat sangat kelelahan, bahan makanan kami juga sudah menipis dan hampir habis. Beberapa anak yang sudah terlalu kelelahan mereka langsung beristirahat tanpa makan malam. Ppak Andi dan pak Eka pun juga tinggal beberapa snack saja yang tersisa untuk dapat di makan. Tetapi sangat tidak mungkin untuk dimakan buat kami semua. Lalu pak Narto yang juga turun ikut beristirahat dan telah terlelap beberapa menit yang lalu tiba-tiba terbangun dan menyadari jika ia membawa bekal ubi dan kentang di dalam tasnya. Ia langsung duduk dan membongkar di dalam tasnya.     

"Permisi semuanya.. Ini saya membawa bekal ubi dan kentang. Jika kalian ada yang mau silahkan makan bersama." Ucap pak Narto membagikan 6 buah ubi kukus dan 4 kentang yang juga sudah di kukus. Melihat jumlah makanan yang di miliki hanya 10 buah, Pak Andi enggan untuk mengambilnya meskipun ia terlihat sangat kelaparan dan beberapa kali perutnya juga sudah mengeluarkan bunyi. Pak Andi mengambil beberapa biji makanan yang di miliki pak Narto dan membagikannya kepada kami yang perempuan. Terutama aku yang memiliki cidera.     

"Ini. Kamu makan. Agar lukamu bisa lebih baik dari pada nggak makan sama sekali." Ucap pak Andi sambil memberiku 2 buah ubi kukus yang berukuran sedang dan kecil. Aku menerima pemberian dari pak Andi dan segera memakannya.     

"Eh kok terdengar suara orang ya di luar sana? Apa sudah banyak pendaki malam yang naik ya?" Ucap Bella.     

"Uhmm biar bapak saja yang melihatnya. Kallian tunggu di sini saja dan istirahatlah." Ucap pak Eka lalu keluar melihat sekitar.     

Benar saja terlihat kabut telah hilang dan sudah banyak pendaki yang berdatangan. Pak Eka juga menyempatkan membeli beberapa biji gorengan yang terjual di sebelah bascamp bayangan yang sudah buka serta 3 gelas kopi panas untuk pak Andi dan pak Narto yang sedang beristirahat. Tak lama kemudain pak Eka kembali masuk kedapam bascamp bayangan dan memberikannya gorengan itu kepada merek ayng belum sempat makan dan 3 gelas kopi untuk menjag asetamina dan kehangatan tubuh mereka selama di sana. Kami menikmati makanan ringan ini dengan sangat lahap hingga tak ada yang tersisa.     

"Uhmm.. di luar kabut sudah hilang. Apakah kita mau tetap istirahat di sini sampai besok atau mau turun sekarang?" Tanya pak Eka.     

"Lebih baik kita turun aja sekarang. Saya tadi sudah dapat kabar dai bu Hera dan bu MAria. Anak-anak yang lain tidak ada kendala ataupun terluka selama turun dari gunung tadi. Mereka juga sudah berada di penginapan yang telah di pesankan di dekat gunung Lawu jadi kita bisa ke sana jika kita turun malam ini dan bisa beristirahat di penginapan. Bagaimana?" Ucap pak Andi.     

"Iya deh pak turun malam ini aja. Itu lebih baik jika kita mengulur waktu lagi sampai besok. Hajar aja sekalian biar besok bisa istirahat dengan tenang." Ujar Dito.     

"Gimana yang lainnya?"     

"Iya pak Setuju apa kata Dito!" Ucap Gunawan yang bersuara paling kencang.     

"Uhmm.. Pak Narto, apakah bisa di bantu untuk membaca surat yang bapak kasih ke saya ini untuk membantu Via pak? Jujur saya nggak tahu artinya pak." Ucap pak Andi dengan nada yang sangat pelan berbisik di telinga pak Narto.     

"Owala paaakkk.. pak.. kirain bapak bisa bahasa Arab.. Ya sudah sebelum kalian turun dan pulang, saya meminta bantuan doanya ya agar teman kalian Via ini dapat siuman dengan cepat." Ujar pak Narto yang langsung membacakan doa-doa tersebut.     

Suasana di dalam bascamp terasa sunyi dan semakin dingin, tak ada orang yang berani untuk berbicara satu katapun saat pak Narto berdoa meminta kesembuhan dan keselamatan untuk Via. Aku mulai merasa lelah dan mengantuk, mata ini susah untuk di ajak kompromi saat yang alinnya sedang fokus melihat perubahan Via dan berdoa. Aku memilih untuk mundur dan duduk di ujung basecamp sambil meluruskan kakiku dan memberikan sanggahan pada kakiku yang terluka. Mataku saat itu rasanya nggak bisa diajak untuk kerjasama agar aku tetap terjaga padahal saat itu sudah jam 7 malam. Aku mulai memejamkan mataku sebentar, terasa sangat lama ketika aku terlelap. Seakan telah berjam-jam lamanya aku terlelap. Namuan ternyata aku hanya terlelap selama 10 menit. Di saat aku mulai tersadar dari tidurku, aku mencium aroma yang sangat harum di dekatku. Aku mulai terbangun dan melihat ke sekelilingku. Tak ada bunga ataupun yang menggunakan parfum saat itu. Semua orang sedang sibuk untuk menyadarkan Via dari pingsannya yang telah seharian belum sadar sama sekali. Pak Andi yang saat itu bertanggung jawab atas muridnya ia terlihat sangat khawatir dan takut apabila Via meninggal saat turun dari gunung, namun detak jantung dan paru-parunya masih berfungsi dengan normal. Aku terus mencari aroma harum bunga yang tercium di dalam basecamp hingga aku mendekati di dekat ujung lainnya dan aroma itu semakin tercium sangat kuat, aroma seperti bunga mawar dan aroma pohon cemara bercampur jadi satu. Ketika aku mendekati sumber aroma tersebut, aku seketika melihat ada sosok pemuda yang aku lihat tadi di semak-semak dekat pos 3. Pria yang mengenakan baju hijau dan celana pendek hitam duduk meringkuk di belakang Karin. Aku terkejut dan hampir saja aku berteriak di sana. Aku melihat sekujur tubuhnya penuh darah yang terlihat masih segar. Kepalanya terdapat luka yang cukup lebar sehingga darah membasahi hampir seluruh wajahnya dan terdapat bekas tanah di sekujur tubuhnya. Aku perlahan menjauhi sosok itu dan mundur dengan perlahan-lahan sampil menahan rasa nyeri di kakiku yang mulai terasa. Karin yang menyadari aku berada di belakangnya menoleh ke arahku.     

"Kamu kenapa Ndra? Kok mundur-mundur?" Tanya Karin padaku.     

"Ah, nggak apa. Tadi aku kira lihat ada serangga di punggungmu tapi ternyata bukan. Aku hanya salah lihat saja. Hehehehe.." Ucapku sambil terus tersenyum pada Karin yang memandangku dengan aneh.     

Tubuhku tiba-tiba gemetaran saat sosok pemuda itu melihat kearahku dengan cepat. Lalu ia memutar kepalanya 360 derajat. Semakin membuatku ketakutan dan aku hampir saja menubruk Claudi yang sedang membantu pak Andi memberikan minyak kayu putih pada tubuh Via agar ia merasa hangat dan cepat untuk siuman.     

"Ah! Sorry-sorry Di!" Ujarku yang terkejut melihat Claudi di belakangku.     

"Lu ini kenapa sih Ndra? Kok tegang banget? gue lho nggak kenapa-kenapa." Ucapnya dengan nada santai.     

"Ah-iya-iya.. Hehehe.. ya pokoknya sorry tadu hamppir nubruk badanmu Di." Ucapku sekali lagi.     

Ternyata apa yang aku lakukan dari tadi di perhatikan oleh Doni yang berada di ujung bascamp sebelah kanan, ia duduk di dekat pak Eka yang masih ikut berdoa bersama pak Narto. Doni yang penasaran dengan sikapku lalu dengan perlahan mendekatiku dan berbisik padaku. Saat Doni mendekatiku, saat itulah sosok itu menghilang dari hadapanku.     

"Heh!Lu dari tadi ngapain sih? Kok aneh banget? Abis nyium sana sini kaya anjing, lalu mundur-mundur kaya anjing lihat hantu aja." Bisik Doni pada telingaku yang membuatku semakin tak dapat menjawab pertanyaannya. Aku hanya terdiam membisu dan badanku masih gemetaran.     

"Hoi! Lu di ajak ngomong kok nggak di jawab sih!" Ucap Doni mulai menggunakan nada tinggi.     

"Aahhh.. kamu dari tadi memperhatikanku ya? Uhmm.. apa kamu percaya kalau aku menceritakan ini semua? Tapi aku juga nggak bisa cerita hal ini di sini juga."     

"Hah? Lu mempermainkan gue ya?"     

"Nggak kok. Beneran kalau aku cerita di sini itu sama aja cari masalah. Nanti aja kalau sudah pulang dan kita bertemu di sekolah." Ucapku yang nggak mau membahas tentang arwah itu saat itu juga.     

Setelah mendengar ucapanku seperti itu akhirnya Doni duduk menjauh lagi dari tempat dudukku.     

["Waduuhh gimana ini?? Apakah arwah itu bisa tahu aku kalau aku melihatnya?? Bagaimana kalau arwah itu mengikutiku?"] Gumamku dalam hati sambil mengigit kuku jempol tanganku.     

["Hmmm bau buang lagi nih muncul. Waduuhh jangan donggg.. jangan datang lagi plisss.. Jangan ganggu lagiii."] Gumamku sambil berdoa dalam hati.     

Benar saja, saat aku membuka mataku, aku melihat sosok itu berada tepat di depanku sambil memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri lalu tersenyum padaku. Aku yang ingin teriak saat itu tak dapat teriak. Seakan-akan mulutku terkunci rapat hingga tak dapat mengeluarkan suara satu pun. Aku hanya dapat menunduk melihat kebawah kakiku sambil terus memeluk kedua lenganku dan beberapa kali aku memejamkan mataku karena sosok itu mengikuti arah bola mataku. Hingga akhirnya aku tak tahan lagi dengannya yang terus menggangguku dan dengan terpaksa aku berteriak memanggil pak Andi untuk cepat kembali ke rombongan yang lain.     

"Pak Andiiii!!! Jam berapa kita akan turun pak!!" Teriakku yang tiba-tiba membuat satu ruangan terkejut dan menoleh ke arahku. Aku sangat berharap sosok itu segera pergi dari hadapanku saat itu juga, namun ternyata sosok itu malah mendekati pak Andi yang melihatku. Bulu kuduku semakin berdiri di tambah udara malam yang semakin dingin menyusup di celah-celah kayu pada bangunan bascamp.     

"Ah iya sebentar lagi kita kan turun. Saya tadi sudah meminta tolong sama bu Hera untuk meminta petugas kesehatan untuk membawa dua tandu naik ke atas sini. Namun sampai sekarang mereka belum juga tiba. Sabar ya Ndra... kenapa emangnya?" Tanya pak Andi lagi.     

"Nggak apa pak. Kaki saya sudah mulai terasa sakit sekali soalnya. Saya rasa obat bius dari tanaman yang di bobokkan di kaki saya sudah habis." Ucapku sambil sesekali melirik kearah sosok itu yang terus duduk dan menatap ke arahku.     

"Oke. Kalau begitu saya akan menghubungi bu Hera lagi untuk lebih cepat tiba di sini. Pak Narto saya mengucapkan terima kasih banyak atas bantuan bapak. Karena bantuan bapak, anak didik saya Via sudah mulai kembali sadar."     

"Iya pak sama-sama. Saya juga berterima kasih, jika tidak mungkin saya juga dapat tersesat tadi saat ada kabut tebal datang." Ucap pak Narto sambil membereskan beberapa perlengkapannya.     

Hari semakin malam, udara dingin semakin menusuk hingga ke tulang yang aku rasakan. Cuaca malam itu sangat terang sekali, meskipun tadi siang sempat hujan, namun malam ini benar-benar sangat terang hingga bulan dan bintang dapat terlihat dan cahaya bulan bersinar menerani setiap jalan di gunung Lawu. Malam itu sudah pukul 20.10 WIB kami mendengar banyak sekali pendaki yang sedang naik ke atas gunung Lawu. Lalu pak Andi membuka pintu bascamp untuk memberi tahu tim kesehatan dan bu Hera yang menjemput kami dapat mengetahui lokasi kami saat itu juga. Dan benar saja, ketika baru 5 menit pak Andi membuka pintu bascamp sekelompok tim penyelamat dan tim kesehatan dari kota datang dengan membawa dua tandu yang mereka sediakan untuk Via dan juga untuk aku. Kami akhirnya dapat turun dari gunung Lawu malam itu juga dan tiba di bascamp bawah tepat pukul 21.00 WIB. Aku dan Via langsung di bawa menggunakan mobil ambulance yang sudah berjaga di depan pintu masuk gunung Lawu via Cemoro Sewu. Di dalam mobil ambulance kami di temani oleh bu Maria dan terutama pak Andi yang mengetahui kondisi kami dari awal. Kami menuju rumah sakit terdekat dengan lama perjalanan kurang lebih dua jam perjalanan.     

Di saat kami sedang perjalanan menuju rumah sakit, teman-temanku yang lain bersama bu Hera dan pak Eka menaiki mobil elf untuk menuju penginapan yang telah disewa. Jarak penginapan dari gunung Lawu juga tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu 30 menit lamanya untuk dapat tiba di penginapan tersebut. Di sana ternyata anak-anak yang lain telah menunggu kami dengan sangat khawatir dan gelisah di depan halaman penginapan berharap kami tidak terjadi hal yang lebih buruk dari kematian. Benar saja, saat pak Eka dan bu Hera tiba di penginapan bersama Dito, Angga, Gunawan, Doni, Bella, Claudi dan Karin, mereka sangat senang terlihat di wajah mereka yang melepas nafas dengan lega dan tersenyum melihat teman-temannya datang. Tetapi saat itu anak -anak yang lain juga masih belum tahu tentang kabar ku yang mengalami kecelakaan hingga tulang bergeser dan Via yang masih belum siuman sepenuhnya. Pak Eka dan bu Hera memasuki rumah penginapan itu bersama yang lainnya, tetapi Alex dan Theo yang mengetahui aku yang tak terlihat sedari tadi waktu turun dari mobil elf menanyakan pada Claudi yang berjalan di depan mereka.     

"Eh Di! Claudi! Kalian tadi cuman bersembilan aja? Mana Dyandra?" Tanya Alex yang terlihat khawatir padaku.     

"Dyandra di bawa ke rumah sakit. Udah dulu ya Lex, aku mau masuk kamar dulu sama Karin. Capek banget nih. Badanku juga rasanya abis di pukulin sakit semua." Ucap Claudi sambil berlalu meninggalkan Alex dan Theo dengan muka yang terkejut mendengarkanku di bawa ke rumah sakit.     

Mendengar hal tersebut dari Claudi, Alex berlari menuju ke ruang tengah penginapan itu dan mencari pak Andi, namun juga tak ketemu. Saat Alex dan Theo terlihat kebingungan, bu Hera yang sedang berjalan-jalan memperhatikan seluruh muridnya agar tidak ada yang keluar penginapan malam-malam menghampiri Alex dan Theo yang sedang duduk di bangku ruang tengah.     

"Kalian nggak masuk kamar dan beristirahat?" Tanya bu Hera yang saat itu duduk di seberang Alex dan Theo.     

"Iya bu sebentar lagi kami akan masuk kedalam kamar kok. Ow ya bu, teman kami yang bernama Dyandra kemana ya? Kok tadi saya dengar dari Claudi, dia di bawa ke rumah sakit? Emangnya dia terluka parah setelah terjatuh di pos 4 tadi?" Tanya Alex.     

"Iya teman kalian Dyandra memang saat ini di bawa ke rumah sakit terdekat di kota bersama pak Andi dan bu Maria, serta satu teman kalian lagi yang lain, bernama Via. Mereka harus di bawa ke rumah sakit di kota agar perawatan yang mereka intensif dan mereka cepat untuk dapat kembali ke sekolah nantinya." Jelas bu Hera pada Alex dan Theo tanpa memberi tahu apa yang terjadi pada mereka.     

"Dyandra kenapa bu? Nggak sampai pingsan kan?" Tanya Alex lagi.     

"Nggak kok Lex... Dyandra baik-baik aja. Cuman ada luka aja pada pergelangan kakinya yang harus di rawat di rumah sakit dan perlu menggunakan gips agar ia dapat tetap berjalan dengan baik nantinya."     

"Lho! Dyandra patah tulang ta bu?" Tanya Theo dengan nada terkejut mendengarkan jika Dyandra harus menggunakan gips.     

"Hahahahaha.. Nggak samapai patah tulang kok. Cuman tulangnya tidak pada tempatnya makanya tetap harus menggunakan gips. Kenapa kalian sangat khawatir sekali dengan Dyandra? Apakah kalian ada yang suka dengan Dyandra?" Tanya bu Hera dengan sedikit menggoda Alex dan Theo.     

"Nggak kok bu! Kami cuman sahabatan sama Dyandra. Jadi wajarkan kalau teman mengkhawatikan temannya yang lain sakit. Lagi pula Andra sering seklai membantu kami di sekolah. Anaknya baik dan asyik juga kok kalau beterman meskipun terkadang dia anaknya pendiam banget dan lebih memilih buku novelnya dari pada bermain bersama kami sih. Hahahaha..." Ujar Theo sambil menggaruk-garuk kepalanya yang terlihat malu menceritakannya.     

"Hahahaha.. Kalian ini ada-ada aja. Sudah cepat kembali ke kamar kalian masing-masing dan beristirahatlah. Kita akan menunda kepulangan kalian hingga besok." Ucap bu Hera sambil tersenyum.     

"Yang benar bu? Terima kasih ya bu! Kami mungkin nggak sanggup jika perjalanan panjang lagi dengan kondisi badan kaya gini." Ucap Alex.     

"Ya sudah cepat tidur sana!"     

Di sisi lain saat aku sedang dalam perjalanan ke rumah sakit, aku masih mencium bau bunga yang sangat pekat di dekatku. Hingga aku memberanikan diri untuk bertanya pada bu Marian yang duduk di sebelahku.     

"Bu, ibu pakai parfum aroma bunga ya?" Tanyaku agar tidak terlihat aku dapat melihat makhluk halus.     

"Hah? Nggak kok. Ibu nggak pakai parfum apapun. Ibu nggak suka pakai parfum soalnya." Ucap bu Maria.     

"Masa ibu nggak mencium bau bunga atau wangi-wangi gitu di sekitar sini?" Tanyaku sekali lagi. Aku tak berani bertanya pada pak Andi yang sedang terlelap selama perjalanan. Beliau memang kurang istirahat sedari tadi karena mengurus kami semua selama perjalan turun dari gunung Lawu.     

"Nggak Ndra. Sudah kamu istirahat aja dulu selama perjalanan. Nanti kalau sudah tiba di rumah sakit akan saya beri tahu lagi." Ucap bu Maria sambil memeriksa ponselnya.     

Selama perjalanan aku merasa nggak enak sekali perasaanku seakan-akan ada yang terus memperhatikanku dari tadi seama di mobil ambulance. Ketika kami masih menuruni gunung dengan kelokan yang terjal dan di sisi kiri kami merupakan jurang yang sangat dalam, tiba-tiba mobil ambulance berhenti mendadak membuat kami yang berada di belakang terkejut. Pak Andi yang sedang tertidur juga sampai terbangun dari tidurnya. Beliau mengetuk jendela kaca yang menghubungkan dengan tempat supir duduk.     

"Pak? Kenapa kita berhenti mendadak?" Tanya pak Andi.     

"Itu pak. Tadi saya melihat ada seorang pemuda yang sedang berdiri di tengah jalan menghalangi kami berjalan, namun saat mobil berhenti melebihi pemuda itu berdiri, pemuda itu menghilang. Saya kira, saya sudah menabraknya tetapi tidak ada jasad di manapun baik di bawah mobil atau di sekitar mobil ambulance." Terang pak supir yang membawa mobil ambulance yang kami tumpangi.     

"Anda yakin pa? Tidak menabarak seseorang tadi?"     

"Iya pak. Saya yakin. Rekan saya tadi sudah mengecek beberapa kali tetapi tidak ada seorangpun di sana. Apakah kita memutuskan untuk berjalan lagi ke rumah sakit?"     

"Iya pak. Segera ke rumah sakit aja kalau begitu." Ucap pak Andi lalu menutup jendela penghubung tersebut.     

Setelah kami berjalan kembali, di saat itulah kami semua mencium aroma bunga yang sangat harum di dalam mobil ambulance, sehingga membuat kami kebingungan bau dari mana ini berasal. Aku yang mengetahui bau bunga ini tak berani membuka mataku hingg akau tiba di rumah sakit. AKu tahu jika arwah tersebut sedang duduk di sebelah pak Andi sambil memandanginya seperti yang 'ia' lakukan padaku tadi sewaktu di bascamp bayangan gunung Lawu.     

Aku mulai merasakan bulu kuduku berdiri dan hawa dingin berhembus di sekitarku. Semakin dekat hawa dingin itu berhembus di sekitarku semakin dapat aku mencium bau busuk yang tiba-tiba menyeruak menusuk kedua lubang hidungku. Seakan bau bangkai daging yang telah lama di biarkan di ruangan terbuka tanpa pengawet ataupun pendingin. Suara pak supir yang menyetir mobil ambulance pun sampai dapat mencium bau busuk ini.     

"Ughhh!! Baunya busuk!! Bau apa'an ya?" Ucap pak supir yang bernama Toni.     

"Iya kok mobilnya bau busuk ya? Perasaan kita nggak bawa mayat kok. Tapi baunya seperti bau mayat yang sudah membusuk berbulan-bulan." Ucap Budi.     

"Hus! Janganbicara aneh-aneh selamm kita msih tuurn gunung. Nanti bisa datang beneran mampus lu!" Ucap pak Toni sambil terus fokus pada jalanan yang berkelok-kelok.     

Tak lama kemudian setelah mobil ambulance yang kami tumpangi keluar dari area gunug Lawu, bau itu menghilang tak membekas. Kami yang berda di dalam mobil ambilance sedikit merasa lega karen atidak adanya lagi bau busuk itu. Supir yang membawa mobil ambulancepun membawanya dengan kecepatan penuh agar cepat sampai di rumah sakit.     

Setibanya di rumah sakit, para medis langsung berlarian menuju mobil ambulance yang kami bawa dan langsung menurunkanku dan Via dengan sigap dan cepat. Kami di bawa ke ruang IGD untuk pemeriksaan terlebih lagi. Lalu mama papaku yang berada di rumah segera di beri tahu oleh pak Andi dan aku akan di jemput mama papaku besok saat aku selesai melakukan pengobatan di rumah sakit ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.