The Eyes are Opened

Penunggu Motel Tua (Part 02)



Penunggu Motel Tua (Part 02)

0"Iiiihh kok daerah sini sepi banget ya? Nggak ada lampu sama sekali. Orang lewat aja nggak ada. cuman kakek-kakek itu aja, udah gitu jalan sendirian lagi malam-malam. Nggak takut apa?" Celotehku selama menunggu papa menanyakan alamat pada kakek-kakek yang kami temui.     

"Eh, kak kamu nggak salah cari penginapan kan? Kok nyarinya gini amat sih tempatnya terpencil banget." Ucapku lagi.     

"Yaaaa.. mana aku tahu Ndraaa. Kalau tahu ya mana mungkin aku pesen penginapan di tempat kaya gini? Tapi bukannya semakin terpencil tempatnya semakin bagus ya penginapan kaya gitu? Berarti belumbanyak orang yang tahu atau menginap kan? Masih asri gitu lho!" Ujar kakak dengannada positif.     

"Iya kalau kaya yang kamu bilang. Kalau tahunya jelek, reot, terus nggak layak huni awas aja lho kak." Tukasku.     

"Ya udah lu tidur di mobil aja kalau nggak mau tidur di dalam penginapan nanti. Biar kami bertiga yang masuk hotel." Ucapnya.     

"Udah-udah.. Kalian ini ya ribuuuttt mulu. Nggak di rumah, nggak di luar selalu aja. Udah jangan debat lagi, tuh papamu sudah kembali pasti sudah dapat infonya." Ucap mama yang menceoba melerai kami.     

Papa menyalakan mesin mobil kembali dan mulai melaju mobilnya mengikuti arahan yang di berikan oleh kakek-kakek yang kami temui di tengah jalan. Mama dan kakak membuka kaca jendela mobil kami sebagai ucapan salam perpisahan dan terimakasih pada kakek tersebut yang masih berdiri di pinggi jalan sambil menunggu mobil kami melewatinya. Aroma bunga dan pohon-pohon hutan semerbak tercium hingga kedalam mobil. Hawa yang sangat dingin menyelimuti puncak malam itu. Di saat kami telah melewati kakek itu, aku terus memperhatikannya sampai memutar badanku melihatnya dari belakang. Lalu di saat aku melihat dari belakang, mataku terbelalak tak percaya hingga aku mengusap mataku berkali-kali.     

"Lho! Lho! Lho mana? Lho kok nggak ada? Masa hilang sih?" Ucapku yang terkejut saat mengetahui sang kakek menghilang bagaikan angin di tengah malam. Tak terlihat batang hidungnya lagi setelah beberapa detik kami melewatinya.     

"Apa'an sih Ndra? Apanya yang hilang? Barangmu ada yang hilang ta?" Tanya kakak.     

"Hah? Nggak kok. Barangku nggak ada yang hilang." Ujarku yang masih terus menghadap ke belakang sambil terus memperhatikan kakek tersebut tak terlihat lagi.     

"Lah terus apa'an coba? Ayo duduk yang bener napa!" Ucap kakak dengan sedikit emosi.     

"Itu! Si kakek yang tadi hilang!" Ucapku sambil membalikkan badan dan kembali duduk dengan benar, dengan ekspresi yang masih bingung dengan apa yang baru saja aku lihat.     

"Apanya? Ya sudah nggak kelihatan lah! Jalanannya aja gelap kaya gini." Ucap kakak dengan sinis.     

"Enggak, tadi setelah mobil kita ngelewatin kakek itu harusnya masih kelihatan kan dari belakang, toh ya waktu itu nggak gelap-gelap banget, masih kena lampu mobil. Tapi si kakek nggak ada wujudnya."     

"Heh! Jangan ngomong yang aneh-aneh deh Ndra di sini. Ini tuh udah hampir tengah malam, lalu kita tersesat di tengah hutan, lu malah ngomongin hal kaya gini. Udah lu dengerin lagu aja deh atau chattingan sama temenmu itu." Ujar kakak yang emosi ketakutan setelah mendengar ceritaku.     

"Iya sudah-sudah, kamu tidur aja Ndra, nanti kalau sudah nyampe kita bangunin. Katanya sih satu kilo lagi dari tempat kita berhenti. Ya bentar lagi nyampe harusnya." Ucap papa.     

Seketika aku terdiam tak ingin berbicara apapun saat itu, memikirkan apa yang baru saja aku lihat dengan mata kepalaku sendiri dan juga tak berani melihat ke arah luar jendela. Suasana malam di puncak yang semakin gelap dan sunyi hingga kami yang di dalam mobil dapat mendengar suara monyet dan suara burung yang saling bersaut sautan di tengah malam. Kami terus berjalan mengikuti jalan kecil berbatu yang sempit yang hanya dapat di lalui satu kendaraan saja. Tak membutuhkan waktu yang lama setelah kami berhenti tadi, hanya 15 menit akhirnya kami tiba di penginapan yang kami pesan melalui aplikasi. Dari kejauhan terlihat ada gapura yang terbuat dari bambu dihiasai dengan lampu lampion yang menggantung di sudut kanan dan kiri gapura. Di sepanjang jalan sebelum memasuki penginapan juga terdapat lampu taman yang berjejer di sepanjang jalan pintu masuk penginapan sehingga penginapan itu terlihat sangat terang dan estetik saat malam hari. Papa segera memarkirkan mobil di tempat parkir dekat dengan pintu masuk, lalu kami turun dan memasuki lobi utama penginapan tersebut. Penginapan ini dari luar terlihat biasa saja, tak terlalu besar dan tak bertingkat. Hanya seperti rumah penduduk desa biasa dengan halaman yang sangat luas dan beberapa aksen ukiran pada pintu dan jendela penginapan sehingga terlihat mewah.     

Penginapan ini memiliki nama " Motel Omah Turu", sangat sederhana dan simpel. Lobinya juga sangat simpel dan tak terlalu besar, mungkin hanya seluas 5x7m2. Hanya ada satu meja receptionis yang dihiasi lampu duduk, empat kursi personal, satu kursi besar dan panjang dengan ukiran-ukiran antik, serta meja tamu yang sangat besar terbuat dari bagian bawah pohon kayu jati yang sudah tua yang hanya di furnis menambah kesan etnik pada penginapan ini. Dinding yang hanya terbuat dari batu bata tanpa cat maupun semen yang menutupinya serta lampu hias kuno yang terpajang di tengah-tengah lobi membuat suasana penginapan itu sangat kental dengan tema yang di usungnya. Aku mulai duduk di kursi lobi bersama kakak yang mulai mengantuk dan tak sabar untuk tidur di atas kasur, sedangkan mama dan papa mengurus kunci kamar yang akan kami tempati. Aku memperhatikan seluruh bagian penginapan itu, mengelilingi hampir seluruh bagian lobi, melihat banyaknya patung-patung antik yang terpajang di penginapan itu, namun juga terlihat menyeramkan jika diamati lebih dekat. Terlihat ada beberapa pengunjung lain yang telah menginap jauh sebelum kami keluar dari kamarnya dan menemui receptionis untuk meminta sesuatu untuk kamarnya. Di penginapan ini, semua receptionis menggunakan pakaian adat jawa lengkap dengan aksesorisnya. Sanggul dan selendang yang diikatkan di pinggang untuk receptionis wanita, sedangkan blangkon dan keris yang di sematkan di punggung untuk receptionis pria. Aku mulai tertarik dengan design interior dari penginapan ini dan ingin sekali untuk melihat ke seluruh bagian penginapan.     

"Andra! Andra!" Teriak mama memanggilku yang sudah berdiri di dekat jalan masuk ke kamar bersama papa dan kakak. Aku yang baru menyadari segera berlari mendekati mereka sebelum aku tertinggal terlalu jauh.     

"Kamu ini dari mana aja sih? Kok nggak bisa duduk diem!" Ucap papa yang berada di depanku sambil membawa koper kami.     

"Andra lihat-lihat interior penginapan ini lho pa. Bagus banget, unik gitu." Ucapku sambil tetap melihat ke kiri dan ke kanan.     

"Kamu ini lihat apa sih Ndra! Fokus lihat depan dong!" Ucap kakak yang mengomel karena jalanku melambat.     

"Iya-iya. Iihhh bawel amat." Tukasku.     

Sepanjang lorong penginapan ini sangat banyak barang-barang antik, baik dari meja nakasnya, lampu, patung, topeng-topeng dan juga berbagai macam jenis lukisan. Namun yang paling membuat mataku tertarik di dalam penginapan ini adalah salah satu lukisan yang sangat besar terpasang di salah satu lorong kosong yang hanya terdapat satu pintu di sebelah kiri berdekatan dengan lukisan itu terpajang. Lukisan itu memiliki gambar seorang wanita muda yang sangat cantik parasnya dengan rambutnya yang sangat panjang dan di kepang dua, membawa sebuah bakul berisi buah segar dan memiliki latar sungai yang sangat tenang dan air yang jernih. Lukisan tersebut terlihat sangat hidup dan seperti nyata, aku tertarik melihatnya dari dekat, namun di saat aku hendak melangkahkan kakiku masuk ke dalam lorong tersebut, tiba-tiba ada seorang nenek-nenek paruh baya yang terlihat sangat anggun dengan balutan baju kebaya berwarna merah darah yang sangat indah dan ia juga menggunakan selendang kain sutra di pundaknya. Beliau tampak keluar dari pintu di dekat lukisan tersebut. Ia Berdiri menatapku dengan tajam tanpa ekspresi, lalu seketika saja ia tersenyum kepadaku. Aku membalas senyumannya, namun di saat aku membalas senyumannya aku merasakan bulu kuduku berdiri di sekujur tubuhku dan tanpa basa basi lagi aku berlari meninggalkan lorong itu dan mengejar mama dan papa yang telah tiba di depan pintu kamar kami. Entah kenapa aku merasa sangat takut saat bertemu dengan nenek itu, seakan-akan nenek itu memiliki aura mistis yang melingkupinya. Aku segera masuk ke dalam kamar bersama kakak dan cepat-cepat menutup pintu kamar kami.     

"Kamu ini dari mana aja sih Ndra? Pasti kelayapan lagi ya?" Tanya kakak yang membuka tas kopernya dan mengeluarkan beberapa baju untuk di taruh di lemari.     

"Hehehehe... Ya abisnya tadi lagi asik lihat-lihat lukisan sih kak. Di tengah sana ada lukisan cewek yang besar banget lho dan ceweknya cantiikkk. Makanya aku sampe ketinggalan." Ucapku.     

"Kamu ini ya nggak bisa apa diam dulu. Besok pagi kan bisa kita keliling motel ini sama-sama. Lagian penginapan ini ternyata luas juga ya? Padahal dari depan kelihatan penginapan biasa yang kecil, palingan ada 20 kamar gitu ternyata segini banyaknya kamar dan seluas ini bangunan di dalamnya. Keren banget nggak sih ini penginapan? Nggak salah kan kakak pilihin?" Ucapnya sambil rebahan di tempat tidur.     

"Iya sih nggak salah. Bagus banget. Pasti besok pagi pemandangannya bangus juga kak. Kakak mau lihat sunrise nggak besok pagi-pagi?" Tanyaku.     

"Iya ayuk dah.. Eh, tapi kok di sini sepi pengunjung banget ya? Mobil yang terparkir juga cuman beberapa aja lho! Nggak sampe 10 mobil." Ujar kakak penasaran.     

" Yaaa... mungkin karena ini penginapan baru, makanya belum banyak yang tahu kak. Apalagi kakak tahu sendiri kalau mau masuk ke penginapan ini jauhnya minta ampun."     

"Iya juga sih. Bisa jadi karena itu makanya di sini masih sepi." Ucap kakak yang tak lama kemudian tertidur dengan pulas.     

Melihat kakak yang telah tertidur dengan pulas, aku pun mencoba untuk ikut tidur juga. Namun malam itu aku merasa tak mengantuk sama sekali. Aku mulai bosan di dalam kamar yang hanya ada televisi tabung dengan siaran-siaran sinden dan wayang. Saat aku mencoba mencari channel-channel TV yang menarik, aku teringat dengan pesan yang di kirim oleh kak Andrew.     

"Oh iya tadi siang kan kak Andrew kirim pesan dan aku belum balas, uhhhmm.. di balas gimana ya?" Gumamku sambil membaca pesan kak Andrew kembali.     

" Tapi masa iya kau balasnya malam-malam gini juga? Kan nggak sopan banget? Nanti kalau kak Andrew sudah tidur kan aku jadi ngganggu dia?" Ucapku lirih.     

"Hmmm... tapi apa ya maksudnya dia kirim pesan kaya gitu? Apa benar kaya kakak yang di bilang itu? Masa sih kak Andrew suka sama aku?" Gumamku yang masih memikirkan apa yang kakak ucapkan tadi siang. Hingga akhirnya aku merasa mengantuk dan tak sadarkan diri aku tertidur dengan pulas hingga pagi hari.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.