The Eyes are Opened

Ketempelan



Ketempelan

3Suasana sangat sunyi dan sepi saat aku membuka mataku. Hanya terlihat lampu-lampu panjang dengan atap putih. Terdengar siup-siup suara orang sedang berbincang dan sesekali terdengar suara mesin yang berdenyit beberapa kali. Aku yang baru saja membuka mataku terasa sangat berat untuk membuka mata ini dengan lebar. Aku mencoba untuk menoleh ke arah kiri, hanya terlihat gorden berwarna hijau tosca yang menutupinya. Lalu aku menoleh ke arah kanan terlihat kasur rumah sakit yang kosong dan tergeletak di ujung ruangan. Aku hanya dapat membuka dan menutup mataku dengan sangat pelan tanpa ada tenaga untuk membuka mulut dan bersuara. Sekujur tubuhku terasa kaku dan sangat sakit saat mencoba untuk bangun. Terlihat di punggung tangan kiriku terpasang selang infus yang terlihat baru saja di pasang dengan botol infus yang masih setengah penuh berada di sampingku. Aku membalikkan badanku ke arah kanan dan mulai memejamkan mata lagi.     

[Tiit-tit-tit-tit-tit-tit]     

Terdengar suara mesin denyut jantung berada di sebelah tempat tidurku yang berbunyi pelan terdengar olehku. Aku mulai membuka mataku dengan pelan terlihat ada seseorang yang sedang berdiri di samping kiriku sambil mengatur kecepatan infus yang baru saja di ganti dan mengontrol keadaanku. Aku yang masih terbaring lemas mencoba untuk membuka mata dengan lebar, namun yang terlihat hanyalah bayangan samar dan buram yang terlihat. Seakan-akan ada selaput putih yang menutupi bola mataku. Aku mencoba membuka mata dan menutupnya berkali-kali agar aku dapat melihat dengan jelas siapa yang berdiri di sampingku saat ini. Aku mulai melihat pakaian yang ia kenakan menggunakan pakaian rumah sakit dengan warna hijau daun. Ternyata seorang perawat yang sedang mengontrol kondisiku saat itu berdiri dan memandangiku dengan wajah yang sangat dekat dengaku. Aku hanya terdiam lemas dan bibirku terasa kering dan pecah-pecah. Kepalaku terasa sangat berat dan pusing untuk di angkat. Aku beberapa kali membuka dan menutup mataku dengan sangat pelan seakan rasa kantuk ini terus menyerang dan enggan untuk bangun dari tidurku. Di saat yang bersamaan, perawat itu berbicara padaku dengan nada yang pelan serta sangat lembut di dengar.     

"Nona Dyandra, apakah anda bisa melihat saya dengan jelas? Jika anda mulai dapat melihat saya dengan jelas coba angkat jari telunjuk anda." Ucap perawat itu padaku. Aku mengangkat telunjukku sesuai dengan apa yang ia perintahkan. Ia langsung berlari dengan membuka tirai hijau itu dan memanggil dokter beberapa kali.     

Mataku terpejam kembali dan tak lama seorang dokter pria dengan jasnya yang berwarna putih, menggunakan kacamata dengan frame yang sangat tipis dan terdapat stetoskop yang terkalungkan di lehernya berlari mendekatiku sambil menyiapkan stetoskop itu di telinganya. Tanpa banyak bicara, dokter itu memeriksa denyut jantung di dadaku dan beberapa kali membuka mataku dengan senter kecil serta terus mengawasi monitor kecil di sebelah tempat tidurku. Lalu dokter itu berbisik pada perawat yang bersamanya saat memeriksaku dan pergi meninggalkanku begitu saja. Perawat itu memperhatikanku dari kejauhan lalu menutup tirai itu kembali. Tak lama kemudian, bu Maria dan pak Andi menyusul memasuki tempat di mana aku terbaring. Mereka langsung mendekatiku dan mencoba berbicara denganku.     

"Ndra. Gimana keadaanmu? Masih pusing? Ngantuk?" Tanya bu Maria dengan nada yang sangat lembut di telingaku.     

Aku hanya mengangguk dan memandangnya dengan tatapan lemas seakan mataku tak kuasa untuk menahan dan ingin tertidur kembali. Kakiku tak terasa saat aku menggerakkannya, aku ingin melihat kondisiku namun apa daya aku yang tak dapat bergerak saat itu hanya terdiam dan pasrah dengan kondisiku. Aku saat itu hanya merasakan kakiku terasa berat dan kaku.     

"Ndra.. operasinya berhasil. Kakimu yang pindah posisi sudah berada di posisi yang seharusnya. Jadi kemungkinan kamu akan menggunakan gips dan tongkat untuk dapat beraktivitas sementara selama enam bulan." Terang bu Maria menjelaskan kondisiku saat ini.     

Aku melihat pak Andi yang terlihat sangat lelah dan mengantuk terbaca dari raut wajahnya yang memiliki kantung mata pada yang sangat besar di bawah matanya. Aku hanya mengangguk dan tak lama mataku terpejam kembali setelah mendengakan ucapan bu Maria.     

"Nanti orang tuamu akan datang kemari. Jadi kami yang akan mengurusmu dan menemanimu di sini." Ucap pak Andi dengan singkat.     

"Ya sudah istirahatlah dulu. Sepertinya obat biusnya masih belum hilang pengaruhnya." Ucap Bu Maria lalu meninggalkanku sendirian terbaring di tempat tidur yang sangat dingin dan keras itu.     

Aku mulai tertidur kembali dan aku merasakan tempat tidurku di pindahkan ke ruangan lain. Melewati beberapa lorong dengan lampu neon panjang yang hanya terlihat olehku serta menaiki lift yang sangat besar ke beberapa lantai di atas, lalu aku di abwa ke sebuah ruangan yang sangat besar dimana terdengar suara bising orang berjalan maupun berbicara di sana. Terdengar pula suara tangisan anak kecil yang berteriak kencang.     

["Ahhh.. aku pindah kamar to ini. Berarti tadi aku masih berada di ruang pemulihan."] Gumamku dalam hati sambil melihat ke sekelilingku yang hanya terlihat satu ranjang tidur yang tertutup gorden berwarna putih di sebelahku dan satu televisi yang berada di tengah-tengah ruangan serta meja nakas di sebelah kanan tempat tidurku. Aku mulai tertidur lagi hingga beberapa saat.     

[Tik-tok-tik-tok-tik-tok-tik-tok]     

[Ngiiieeettttt!! Jeglek!]     

Suara yang berada di dalam kamar itu terdengar sangat jelas di telingaku. Aku mulai membuka mataku dan hendak langsung untuk bangun dari tidurku.     

"Eh! eh! eh! Ndra! Kamu jangan bangun dulu! Tiduran aja. Kasurnya yang akan saya betulkan untuk setengah duduk ya?" Ucap bu Maria yang terkejut melihatku ingin bangun dari tempat tidurku. Beliau yang melihatku sudah bangun, dengan sigap memberikanku sebotol air mineral untukku minum agar tidak merasa haus. Aku mengambil dari tangannya dan mulai meneguknya dengan pelan-pelan. Terasa sangat lega sekali tenggorokanku saat meminum air itu. Seperti terasa aku telah nggak minum beberapa hari lamanya.     

"Gimana? Sudah lebih baik dari pada tadi? Masih pusing atau ngantuk nggak?" Tanya bu Maria.     

"Ah, iya sudah lebih baik dari pada tadi. Pusing masih ada sedikit tapi bu. Makasi ya bu sudah menemani saya sepanjang malam di rumah sakit. Uhmm.. lalu Via gimana bu keadaanya sudah siuamn juga?" Tanyaku dengan nada yang masih sangat lemas.     

"Uhmm... Via masih belum sadar, dia dibawa ke ruang ICU dari semalam dan masih di nyatakan koma. Jadi kami hanya menunggu kabar baik yang datang dari ruang ICU untuk Via saat ini. Ow ya kedua orang tuamu sedang dalam perjalanan sekarang. Mungkin nanti siang atau sore sudah tiba di rumah sakit ini. Kami tadi menghubungi mereka tengah malam tadi." Ucap bu Maria dengan tatapan lembut padaku.     

"Bu, sekarang sudah jam berapa?" Tanyaku lagi.     

"Uhmm.. ini sudah pukul delapan lebih sepuluh menit. Kenapa Ndra? Ow ya barang-barangmu sudah saya taruh di nakas. Dan ini ponselmu jika kamu menginginkannya." Ucap Bu Maria.     

"Ah, nggak apa kok bu. Saya cuman ingin tahu saja pukul berapa saat ini, karena terasa lama sekali saya tertidur sampai lupa waktu." Ucapku.     

" Iya kamu tiba di rumah sakit ini sudah jam 12 malam, lalu masuk IGD dulu untuk mengontrol lukamu, baru setengah jam kemudian dokter langsung mengambil tindakan operasi pda tulang pergelangan kakimu yang bergeser. Kamu operasi selama 3 jam sampai selesai. Makannya kamu baru saja bangun." Ucap bu Maria.     

"Ndra, saya tinggal dulu ya. Ini ada telepon dari sekolah menanyakan kabarmu dan Via mungkin. Ow ya biaya rumah sakit sekolah yang tanggung. Jadi kamu nggak perlu khawatir lagi. Oke? Ibu tinggal dulu, nanti ibu kembali lagi." Ucapnya sambil menerima telepon dari pihak sekolah.     

Aku mengambil ponselku yang di taruh bu Maria di atas nakas, dan membuka ponselku yang sudah hampir dua hari tidak aku nyalakan.     

[Ting! Ting! Ting! Ting! Ting! Ting! Ting! Ting! Ting!]     

Begitu banyak pesan yang masuk di ponselku selama dua hari. Aku mulai membukannya yang paling bawah terlebih dahulu dan terlihat nama yang muncul di layar ponsel, Andrew.     

"Hah?? Ngapin orang ini mengirim pesan ke aku? Nggak salah ta? Kan sudah punya Karin?" Gumamku sambil membaca pesannya.     

Aku terdiam saat membaca pesan dari kak Andrew, ternyata saat aku naik ke gunung, ia mengetahui akan aku yang mengalami kecelakaan di sana.     

"Apa-apa'an ini kok kak Andrew tahu aku akan kejadian kata gini? Apa dia di kasih tahu sama Karin ya?" Ucapku. Tak lama ada seorang suster masuk ke dalam kamarku dan memberikanku makan pagi. Dengan sepiring nasi dan terdapat lauk ayam goreng serta sup sayur dan tak lupa buah pepaya tersaji di hadapanku. Aku menaruk ponselku sementara dan langsung menyantap makan pagi yang sudah di sediakan. Perutku yang saat itu terasa lapar sekali sehingga aku tak menyadari jika makanan yang aku makan cepat habis dalam beberapa menit. Selesai makan, bu Maria masuk kedalam kamarku untuk menemaniku lagi.     

"Lho kamu sudah makan to? Kapan datangnya?" Tanya bu Maria yang heran aku sudah selesai makan saat itu.     

"Barusan aja bu susternya datang sambil bawa nampan isi makanan, jadi ya aku langsung makan aja." Ucapku sambill tersenyum.     

"Ya sudah kalau sudah habis. Sini piringnya biar saya taruh di meja kotor, suapaya nanti waktu di ambil mudah." Ujar bu Maria sambil menerima piring kotorku.     

Baru saja bu Maria duduk di bangku yang terletak di sebelah kanan kasurku, ia kemudian bangun dan menerima telepon kembali. Terdengar dari balik telepon suara bu Hera yang menelepon beliau. Ia keluar ruangan dan meninggalkanku lagi. Aku masih terbaring dan merasa mulai bosan dengan suasana kamar yang sangat sunyi ini. Aku kembali membuka ponselku dan melihat mama meneleponku semalam. Tanpa pikir panjang lagi, aku menelepon mama kembali untuk menanyakan posisinya saat ini dimana.     

"Halo? Ma?" Ucapku saat panggilan teleponku di terima oleh mama.     

["Andra! Kamu nggak apa nak? Ini mama sama papa sedang di jalan menuju rumah sakit tempat kamu di rawat. Tunggu ya nak. Nanti mama yang jaga kamu di sana. Ini juga sudah mama bawakan pakaian bersihmu dan kebutuhanmu yang lain."] Ucap mama dari seberang sana. Terdengar suara mama yang masih parau seperti habis menangis dan sangat khawatir akan keadaanku.     

"Iya ma. Ini Andra nggak apa-apa kok. Cuman tulangnya geser aja makanya kaki Andra sekarang pake gips. Ya sudah hati-hati kalau di jalan. Bilangin papa nggak usah ngebut-ngebut asallakan naymapi sini papa dan mama selamat nggak kenapa-kenapa. Oke?"     

["Iya-iya. Ya sudah mama kesana ya nak.. Tunggu mama!"] Ucap mama mengakhiri teleponnya. Tak lama setelah telepon mama tertutup, aku mendapat panggilan telepon lagi dari Claudi.     

["Ndraaaa!!! Lu nggak apa?? Iiihh gue pengen nemeni lu di rumah sakit. Tapi nggak boleh sama bu Hera. Katanya sudah ada bu Maria sama pak Andi di sana. Anak-anak juga pada khawatir lho sama lu!"]     

"Hahahaha iya ta? Hahahaha.. Aku nggak apa kok ini. Sudah operasi dan sekarang kakiku di gips. Emang siapa yang khawatir sama aku Di?" Tanyaku.     

["Itu si Alex sama Theo. Bisa-bisanya mereka saat aku datang di penginapan, belum juga mandi, belum juga istirahat, mereka langsung menghadangku di depan pintu masuk penginapan menanyakan kamu. Ya gila aja gue langsung tanggepin, malah gue langsung tinggal masuk buat mandi dan tidur kok. Tapi besok paginya mereka malah nungguin di depan kamar gue cumanmau dengar cerita keadaan lu. Nih dua cecunguk itu ada di kamar gue sambil ndengarin kita telepon!"] Ujar Claudi dengan nada khasnya yang seperti orang emosi namun ia sangat baik dan hanya bergurau.     

"Hahahahaha.. masa sih mereka segitunya sama aku? Padahal kalo di kelas cuek-cuek aja tuh."     

["Heee.. siapa bilang mereka cuek! Mereka tuh paling perhatian tahu di antara kita! Apalagi si Alex sama Theo. Dari trio kwek-kwek itu kalau salah satu nggak ada aja pasti ada nyariin kaya kehilangan pacarnya!"] Ujar Claudi.     

"Waaahhhh sampein ke merea deh Di kalau aku terharu banget lho sama mereka kalau care kaya giniii.. nanti kalau sudah sekolah lagi aku traktir di mbak Eka dehhh.. Hahahahaha.."     

["Gue juga ya Ndraa! Jangan lupa! Hehehehe.."]     

"Pasti doonggg.. Eh, sudah dulu ya Di, ini ada dokternya lg kunjungan. Nanti kita telponan lagiii.. Byeeee.."     

["Bye Ndraaa.. cepat pulih biar bisa main lagi kaya sebelumnya.. see youuu"] Ucap Claudi mengakhiri teleponnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.