The Eyes are Opened

Kisah Kasih yang Berujung Maut (part 04)



Kisah Kasih yang Berujung Maut (part 04)

0"Nama saya Parto, tenang saja kamu sekaranga man kok bersama saya. Sekarang kita akan pergi ke pos jaga untuk memberikanmu minuman dan makanan sebelum kamu pergi ke rumahmu nak." Ucap petugas itu sambil berjalan di sisinya. Beliau tak menanyakan apapun dan terus berjalan dengan diam bersama denga Siska. Siska yang melihat pak Parto pun mulai merasa lebih tenang dan tak menggigil ketakutan lagi. Ia terus berjalan mengikuti setiap langkah pak Parto sambil mendekap tasnya dengan erat di depan.     

"Oi pak! Siapa itu yang kau bawa?" Teriak salah satu rekan kerja pak Parto yang berjaga di dalam pos jaga.     

"Oh, ini saya bertemu dengan anak ini di depan gerbang rumah kosong blok AA itu milik pak Wijoyo. Bisa tolong berikan tempat duduk dan selimutmu dulu buat nona ini Di? Saya akan menyiapkan minuman dan membeli nasi bungkus di depan dulu buat nona ini." Ucap pak Parto meminta tolong pada rekannya.     

"Baik pak! Serahkan pada saya saja beli nasi dan minumannya. Ini selimut saya berada di atas lemari kok pak." Ucap rekan pak Parto sambil mengambil topi dan menyiapkan sepeda untuk membeli makan untuk Siska.     

"Oke Di. Makasi banyak ya.." Ucap pak Parto sambil mengambil selimut di atas lemari di balik pintu pos jaga. Siska hanya terdiam sambil duduk di dalam pos jaga itu sambil memperhatikan jam dinding di dalam sana. Ia terlihat terkejut melihat angka pada jam itu yang di tunjukkan jarum jam yang menempel di atas televisi itu.     

"I-ini sudah jam sepuluh malam?" Ucap Siska dengan nada lirih dan pelan yang terkejut melihat jam saat itu.     

"Iya. Sekarang sudah jam sepuluh nak. Sudah hampir tengah malam. Ow ya, ini selimut untukmu, pakailah sambil menunggu teman saya membelikanmu makanan dan minuman." Ucap pak Parto sambil menemaninya duduk di depan pos jaga sambil menyalakan sebatang rokok.     

"Terima kasih pak. Ow ya pak, bolehkah saya pinjam teleponnya?" Ucap Siska setelah menerima selimut dari pak Parto dan dengan segera membungkus tubuhnya agar lebih hangat.     

"Oh iya silahkan. Apakah kamu mau menghubungi orang tuamu nak? Biar saya saja yang bicara, berapa nomor telepon rumahmu?" Ucap pak Parto sambil bersiap untuk memencet tombol telepon yang berada di depannya. Tak lama Siska langsung memberi tahu nomor telepon rumah orang tuanya.     

Selang beberapa detik setelah nada dering berbunyi, terdengar suara pria dari balik telepon mengangkat telepon dari pak Parto.     

["Halo selamat malam? Dengan siapa ya saya bicara?"]     

"Iya selamat malam pak. Saya Parto petugas keamanan dari komplek perumahan Sejati. Apa benar ini dengan bapak Hendra Widjaya Koesoema?"     

["Ya saya sendiri. Ada perlu apa ya pak?"]     

"Ini pak, saya ingin memberitahukan jika putri bapak yang bernama Siska Wijayanti Koesoema sedang bersama saya. Terlihat putri bapak telah mengalami penculikan dan kekerasan seksual pak. Apakah bapak dapat kemari secepatnya?"     

["Hah?! Apa?! Kok bisa?! Lalu bagaimana kondisi anak saya?!"]     

"Iya bapak dapat kemari secepatnya untuk mengetahui kondisi anak bapak dengan benar."     

["Baik-baik pak! Saya akan ke sana secepatnya sekarang! Terima kasih pak!"] Ucap papa Siska mengakhiri percakapan di telepon dan langsung bergegas dengan mamanya ke pos jaga perumahan Sejati malam itu.     

Tak lama pak Parto menutup teleponnya, rekan kerjanya yang bernama Pardi dengan seorang laki-laki paruh baya dan mengenakan kemeja batik menghampiri pos jaga. Pak Parto yang melihatnyapun langsung berdiri menghampiri pria tersebut di depan pintu pos.     

"Malam pak RT!" Ucap pak Parto sambil memberi hormat yang ternyata seorang RT di komplek ini.     

"Malam pak Parto! Ini saya ke sini dengar dari Pardi yang tadi beli nasi bungkus di mbok Yah, kalau ada seorang siswi tersesat ya?"     

"Iya pak. Ini anaknya. Tapi dia nggak tersesat seutuhnya pak. Begini ceritanya.."     

Pak Parto menceritakan apa yang aku alami dari siang hingga tengah malam sampai aku di temukan oleh pak Parto. Mendengar hal tersebut pak RT meminta Pardi dan pak Parto untuk membungkam masalah ini agar tidak terdengar oleh warga sekitar dan beliau ingin membicarakan langsung pada pak Wijoyo terkait masalah ini. Lalu tak lama kemudian sambil menunggu kedua orang tua Siska datang menjemput, pak RT memutuskan mengajak Siska untuk ke rumah pak RT agar lebih aman dan tidak kedinginan bersama dengan pak Parto yang terus menemani sebagai orang yang telah menemukannya, serta makan nasi bungkus yang telah di belikan di sana.     

Selang beberapa jam kemudian, Pardi yang tadinya sedang berjaga di pos jaga sendirian datang ke rumah pak RT bersama kedua orang tua Siska. Mereka langsung menemui Siska yang telah di berikan pakaian baru oleh pak RT. Siska yang hanya terdiam sambil menangis ketakutan langsung memeluk mamanya dan mereka menangis bersama. Pak RT pun menjelaskan kondisi Siska saat itu dan membuat papanya menjadi sangat kesal setelah tahu jika Siska memiliki pacar tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Papanya manjadi sangat marah besar di rumah pak RT dan malah menampar Siska dengan keras di hadapan banyak orang malam itu. Siska yang tadinya senang kedua orang tuanya menjemputnya tak menyangka akan di perlakukan seperti ini oleh papanya yang seharusnya melindunginya saat itu. Semakin sakit hati yang ia rasakan malam itu membuatnya semakin terluka. Ia mengigil ketakutan dan terus menangis dan berteriak meminta ampun kepada papanya. Namun hal tersebut tidaklah meluluhkan hati papanya malam itu. Tanpa basa basi lagi, papanya mengajak mamanya untuk pulang dengan menarik lengan Siska untuk memasuki mobil yang mereka bawa. Tanpa mengucapkan terima kasih papanya langsung pergi meninggalkan rumah pak RT malam itu dengan kondisi hati yang memanas.     

"Siskaaa.. Siskaa.. kamu ini papa sekolahin kamu tinggi-tinggi, di sekolah yang mahal, malah kamu kaya gini! Bikin papa malu saja! Apalagi tadi sampai orang laintahu kondisimu memalukan! Mau di atruh di mana muka papa ini hah!! Gimana kalau ada rekan bisnis papa yang sampai mendengar hal ini?!! Gimana?! Kamu ini nggak tahu di untung!! Sudah! Mulai hari ini jangan ada namanya pacaran lah atau teman cowok ya! Kamu juga papa larang untuk keluar rumah! Biar itu keluar sama teman-teman cewekmu lah atau siapapun itu, papa nggak mau tahu kamu pokoknya nggak boleh keluar rumah sampai kamu sadar atas apa yang telah kamu lakukan ini!! Kamu hanya boleh ke sekolah saja! Kalau bisa nanti kita panggilkan guru buat home schooling!" Teriak papa Siska sambil menyetir mobil.     

"Paaaa... jangan paaa... Siska nggak mau home Schooling! Biarkan Siska sekolah seperti biasa.. Siska mohon paaa.." Ucap Siska yang masih terus menangis di dalam mobil memnita mohon pada papanya.     

"Nggak! Papa bilang kamu akan home schooling ya home schooling! Sapa suruh pake acara pacaran segala sampai kejadian kaya gini!"     

"Sudah lah pa.. Kasihan Siska.. Lagipula dia sebentar lagi juga ujian kenaikan kelas lho.. Masa iya mau berhenti tengah jalan? Nanti susah urusnya.. Gini aja, Siska tetap di ijinkan sekolah tapi setiap berangkat sekolah mama yang antar, dan tiap pulangnya kamu yang jemput. Gimana pa? Kan enak? Kamu masih bisa awasi Siska setiap hari." Ucap mama.     

"Ya sudah kalau gitu. Dengar itu Siska apa yang mamamu bilang! Jangan macam-macam selama kami memberikan ultimatum kepadamu seperti ini ngerti! Pulang sekolah langsung pulang! Nggak usah pakai acara main sebentar sama temenlah atau apalah! Dan jangan ngebantah!! Kamu itu tadi sudah ngebantah jadi sekarang cukup dengarkan ucapan mama dan papa Siska!!"     

"Iya pa.."     

Hari berganti, Siska yang awalnya enggan untuk ke sekolah, mau nggak mau ia harus tetap bersekolah. Rasa malu dan risih apa yang telah terjadi padanya membuat suatu trauma tersendiri di benaknya. Setiap ada teman cowoknya yang mendekatinya, ia langsung menhindar dan berlari jauh hingga beberapa temannya merasa aneh dengan sikapnya saat ini. Ketiga sahabatnya puntak tahu apa yang di alami Siska. Ia tak memberi tahukan apapun kepada sahabatnya meskipun beberapa kali mereka mencoba berbicara kepada Siska tentang kondisinya. Setiap pulang sekolahpun sangat susah untuk di ajak bicara, karena setiap dengar lonceng sekolah berbunyi, ia langsung beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan sekolah dengan cepat. Ketiga sahabatnya menjadi bingung dan akhirnya memutuskan untuk bermain ke rumahnya. Namun apa daya ketika ketiga temannya datang, mereka di tolak mentah-mentah oleh papa Siska yang membuka pintu saat itu.     

Tak terasa hal yang di lakukan Siska telah berjalan selama tiga bulan berturut-turut dan ia menjadi anak yang pendiam tanpa memiliki teman lagi. Ia hendak meminta tolong pada ketiga temannya tapi ia tak memiliki keberanian lagi untuk berucap ke pada ketiga temannya. Hari ujianpun tiba, semakin ketat aturan yang di buat oleh papanya agar ia tak dapat keluar rumah. Ia belajar sepanjang hari dari pagi hingga malam tanpa henti sehingga membuat psikologisnya semakin terguncang dan ia semakin menderita. Namun kedua orang tuanya tidak dapat berbuat apapun selain mengawasinya ketika di rumah dan sesekali memberikannya sebuah obat anti depresan yang di dapat dari seorang dokter pribadi kedua orang tuanya. Hari hari semakin terasa sangat kelam dan suram. Tak ada lagi tawa dan teriakan bahagia di dalam rumah maupun di sekolah. Kedua adiknyapun tak ada yang berani mendekatinya selama ia mendapatkan hukuman itu dari papanya. Di sekolahnya ia hanya terdiam di bangkunya tak berani keluar untuk sekedar bermain bersama dengan temannya. Siska semakin hari terlihat sangat kurus hingga terlihat sangat pucat. kantung matanya terlihat sangat gelap seakan ia kurang tidur dan istirahat yang cukup. Bibirnya terlihat pecah-pecah dan sesekali berdarah. Kondisinya semakin memprihatinkan, dan teman-temannya memberanikan diri untuk mendekatinya dan berbicara dengannya.     

"Sis.. are you oke?" Tanya Marsha memberanikan diri untuk berbicara dengan Siska yang menelungkupkan kepalanya di atas meja.     

Mendengar suara sahabatnya lagi, Siska langsung terbangun dan melihat ketiga sahabatnya telah duduk di depannya dan mengelilinginya. Sontak mata Siska berlinang air mata dan tak dapat di bendung lagi. Ia menangis dengan keras sehingga membuat perhatian satu kelas saat itu. Mereka berempat saling berpelukan dan terus menenangkan Siska. Namun usaha ketiga temannya itu dihentikan oleh papanya yang tiba-tiba saja masuk ke dalam sekolahan dan menemui Siska yang tengah menangis saat jam istirahat berlangsung. Semua anak di kelas langsung memandangi mereka dengan tatapan tercengang.     

"Siska! Ayo kita pulang saja!" Ucap papanya dengan tegas saat memasuki kelas.     

Mendengar ucapan dari papanya, ia langsung berhenti menangis dan dengan tatapan kosong langsung membereskan semua buku dan alat tulisnya ke dalam tas dan dengan segera mengikuti langkah papanya yang telah keluar kelas terlebih dahulu. Sebelum ia keluar kelas dan meninggalkan ketiga temannya, Siska memberikan sebuah surat rahasia yang memberitahukan isi hatinya selama ini di dalam sebuah buku diary yang tersimpan di dalam laci mejanya.     

Mereka bertiga yang telah membaca surat itu langsung saja mengambil buku diary di dalam laci dan membacanya di rumah Marsha sore harinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.