The Eyes are Opened

Kisah Kasih yang Berujung Maut (Part 05)



Kisah Kasih yang Berujung Maut (Part 05)

0"Sha! Itu tadi apa yang kamu terima dari Siska saat ia hendak meninggalkan kelas?" Tanya Jeny yang berbisik pada Marsha.     

"Oh ini aku juga belum buka sih. Coba kita baca bareng yuk." Ucap Marsha sambil membuak kertas yang ia terima.     

"Maaf teman-teman aku tak dapat bercerita langsung tentang apa yang telah terjadi padaku belakangan ini, namun aku harap kalian dapat mengerti kondisiku setelah membaca buku diary yang aku taruh di dalam kolong mejaku. Tolong simpan buku ini sebagai kenang-kenangan dariku sebagai sahabat kalian dan jangan sampai kedua orang tuaku tahu apalagi papa. Ia akan marah besar padaku jika tahu semuanya." Gumam Marsha setelah membaca surat itu. Mereka langsung mencari buku diary yang di maksud Siska dan akhirnya mereka menemukan dua buku diary yang terdapat gembok di luarnya.     

"Guyss.. ini di gembok." Ucap Jeny yang telah menemukan dua buku diary tersebut.     

"Coba cari kuncinya di dalam laci. Pasti di taruh di dalam sana sama Siska. Nggak mungkin dia memberi tahu jika tak meninggalkan kuncinya." Ucap Cantika.     

Jeny membongkar seluruh laci Siska yang banyak sekali tumpukan kertas di dalamnya. Marsha yang melihatnya langsung membongkar satu persatu kumpulan kertas yang di bulat-bulatkan seperti bola berharap menemukan sebuah kunci kecil di dalamnya. Benar saja, mereka bertiga akhirnya menemukan kunci dari buku diary itu dari salah satu gulungan bola kertas.     

"Ketemu!!" Teriak Marsha sambil menunjukkan dua buah kunci yang di gantung dengan sebuah boneka kepala kelinci.     

"Yuk coba di buka isinya Sha." Ucap Cantika yang terlihat tak sabaran untuk segera membukanya. Namun sayang, ketika mereka hendak membukanya bel istirahat berbunyi sehingga mereka bertiga memutuskan untuk membaca bersama buku diary itu di rumah Marsha yang tak jauh dari sekolah.     

Di sisi lain, Siska yang tadi di bawa pulang paksa oleh papanya hanya terdiam di dalam mobil dan terus memandangi jalanan yang ramai akan kendaraan lalu lalang di siang hari yang sangat terik saat itu. Papanya hanya melihatnya dari kaca spion tengah dan tak mengucapkan sepatah kata apapun hingga akhirnya ketika tiba di depan restaurant kesukaannya dan papanya menghentikan mobilnya di depan resto tersebut.     

"Kamu tunggu di sini sebentar. Papa mau beli masakan kesukaanmu dan makanan lainnya buat makan siang di rumah. Mengerti Siska?" Ucap papanya yang hendak turun dari mobil.     

"Hm." Ucapnya singkat sambil melirik ke arah papanya yang telah keluar dari mobil. Melihat langkah demi langkah kaki papanya yang memasuki restaurant favoritnya berlalu saat ia tak sengaja melihat mantan pacarnya Anton berjalan berdua dengan Bunga memasuki restaurant tersebut. Ia sangat terkejut dan juga takut melihat wajahnya. Terlihat perasaan traua yang begitu besar ia alami hingga sangat susah untuk di sembuhkan. Ia bersembunyi di balik pintu mobil dengan meringkukkan badannya agar tak terlihat mantannya yang berjalan dari arah depan mobil yang ia tumpangi dengan sesekali mengintip dari kaca depan apakah mantannya telah masuk ke dalam atau belum. Siska tak menyadari jika ia terus meringkukkan tubuhnya hingga papanya masuk ke dalam mobil.     

"Kamu kenapa seperti itu?" Tanya papanya saat memasuki mobil.     

"Ah, nggak apa pa." Ucapnya yang langsung terbangun dan duduk dengan benar lagi sambil merapikan rambutnya.     

"Ya sudah. Ayo kita pulang." Ucapnya sambil menyalakan mesin mobil dan langsung berlalu begitu saja.     

Siska masih terdiam di dalam mobil tanpa mengatakan apapun di depan papanya seakan ia dan papanya menjadi orang asing di dalam mobil tersebut. Ia ingat jika ia memilliki walkman di dalam tasnya, tanpa pikir panjang ia langsung mengambil walkman dan memutar lagu kesukaannya. Sepanjang perjalanan hingga tiba di rumah Siska hanya mendengarkan lagu menggunakan walkman tanpa memberikan satu ekspresi apapun selama mendengarkannya meskipun lagu yang sedang ia putar merupakan lagu yang menyenangkan. Sesampainya di rumah, Siska langsung turun dari mobilnya. Ia meninggalkan papanya yang masih memarkirkan mobil di dalam garasi dan langsung menaiki tangga rumahnya yang sangat besar yang berada di tengah-tengah rumahnya, lalu dengan langkah yang sangat pelan ia berjalan menuju ke kamarnya. Ia hanya terdiam di dalam kamarnya dan sambil rebahan di atas tempat tidurnya serta masih menggunakan pakaian sekolahnya.     

Siska terus berdiam diri di dalam kamar beberapa saat sebelum mama papanya memanggil untuk makan siang bersama. Di saat ia sedang berdiam diri di dalam kamar, ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Ia tak tahu lagi mau bagaimana lagi menghadapi hari depan apalagi masa depannya. Rasanya sangat gelap kehidupannya saat ini. Di jauhi serta menjadi bahan gosip teman sekolahnya yang sebenarnya nggak tahu apa masalah yang ia hadapi, belum lagi perbedaan sikap yang ia terima dari kedua orang tuanya yang sangat membanding-bandingkan dirinya dengan adik-adiknya. Belum lagi omongan yang ia terima dari keluarga besar papanya yang sangat menyanjung tinggi harga diri membuat Siska belakangan ini merasa tertekan dan merasa nggak berguna lagi untuk hidup. Ia hanya berbaring sambil melihat ke arah langit-langit kamarnya yang sangat besar dan tinggi, sesekali melihat ke arah jendela dan kusen-kusen yang terdapat di dalam kamar, lalu langsung bangkit dari tidurnya dan mencari kain-kain yang sangat panjang dan kuat ataupun tali yang ada di dalam kamarnya. Namun ia tak menemukan satu helaipun di dalam kamar dan di dalam lemarinya.     

"Rasanya mama sudah tahu apa yang akan aku lakukan jika aku mengalami depresi ini. Semua sprei dan ikat pinggang ataupun tali pengikat gorden sudah di simpan mama. Entah di mana ia menyimpannya." Ucap Siska dengan ekspresi dingin sambil terus memandangi lemari yang telah ia bongkar semua isinya. Tak lama kemudian Denish, adiknya yang paling kecil berlari menaiki tangga dan terus berlari di dalam lorong yang menuju ke kamarnya.     

"Kaakkkk!! Kakkkk Siskaaa!!!" Teriak Denish yang berlarian di sepanjang lorong menuju kamarnya terdengar sampai ke dalam kamarnya. Ia langsung memasukkan semua baju dan kain yang baru saja ia bongkar ke dalam lemari sebelum adiknya melihat apa yang telah ia lakukan dan melaporkannya ke kedua orang tuanya.     

"Kakkkkk Siskaaa!!! Ayo makan!!!" Teriak Denish sekali lagi saat di depan pintu kamar Siska.     

[Tok-tok-tok!]     

"Kakkk.. Ayo makann!!" Ucap Denish dengan lembut saat membuka pintu kamarku.     

"Iya. Bentar lagi kakak akan turun. Kamu turun duluan aja nggak apa." Ucap Siska dengan nada dingin. Ia tak seperti biasanya bersikap dingin dengan adiknya. Seakan ia sudah mati rasa akan rasa sayang pada adiknya. Semua ini karena orang tuanya yang selalu menyulut api dalam hatinya tentang kebencian terhadap adik-adiknya. Padahal Siska sangat sayang pada kedua adiknya, namun ia selalu di perlakukan berbeda dengan yang lainnya. Sehingga rasa benci dan kesal setiap melihat adiknya sangat besar apalagi mengingat setiap ucapan kedua orang tuanya yang selalu memperhatikan kedua adiknya daripada dirinya.     

Dengan tatapan dingin yang terus memperhatikan Denish yang masih berdiri di depan pintunya, ia segera merapikan bantal dan gulingnya yang berjatuhan di lantai ke atas tempat tidur dan berjalan mendekati Denish.     

"Yuk turun." Ucapnya sambil mengajak Denish keluar dari kamarnya dan turun menuju ruang makan yang ada di lantai satu.     

Ia terus merangkul adiknya sambil berjalan menyusuri lorong di kamarnya dan menuruni tiap anak tangga di rumahnya tanpa memperhatikan Denish sedikitpun.     

"Kak, apa kakak sangat benci Denish?" Ucap Denish tiba-tiba saat mereka sedang berjalan di tengah anak tangga. Hal itu membuat Siska terdiam dan berhenti berjalan. Ia terdiam sambil melihat ke arah mata Denish yang masih sangat polos dan terlihat lugu. Ia terdiam cukup lama hingga Denish mengangkat salah satu alisnya seakan menunggu jawaban dari kakaknya. Lalu Siska menundukkan badannya hingga sejajar dengan Denish dan memegang kedua pundaknya.     

"Denish sayang.. Kakak itu nggak benci sama kamu. Kakak sangat sayang sama kamu. Begitu juga sama Merlia. Kakak juga sangat sayang sama dia. Nanti jika suatu saat kakak nggak bisa nemenin Denish di sini, kamu jaga kak Merlia ya.. Kalian harus akur, jangan berantem terus. Ngerti ya dek.." Ucap Siska sambil menatap dalam mata adiknya yang ada di depannya.     

"Emang kakak mau kemana?" Tanya Denish polos.     

"Uhmm.. kakak mau pergi jauh dan nggak bisa kembali ke rumah ini lagi. Tapi kamu jangan cerita apapun sama mami papi dulu ya.. Ini rahasia kita berdua oke? Tahu kan kalau rahasia berarti nggak boleh apa?"     

"Nggak boleh kasih tahu siapapun. Kak Merlia juga nggak boleh tahu?" Tanyanya lagi.     

"He'em." Ucapku sambil menganggukkan kepala dan tersenyum melihat Denish yang mengerti akan ucapannya saat itu. Lalu ia berdiri kembali dan melanjutkan jalannya menuju ruang makan sambil menggandeng tangan Denish dengan erat. Denish tak mengetahui jika malam itu merupakan malam terakhir buatnya bertemu dengan Siska sebelum keesokan harinya ia memutuskan bunuh diri di sekolah.     

Siska dan keluarganya akhirnya makan siang bersama seperti biasa, seakan tak ada yang terjadi di tengah mereka baik Siska maupun dengan kedua orang tuanya. Kedua adiknya makan dengan sangat lahap hingga hampir menghabiskan seluruh makanan yang ada di atas meja. Sedangkan Siska baru saja mengambil lauk dan sayuran beberapa untuk ia makan. Melihat hal tersebut membuatnya semakin enggan untuk melanjutkan makan lagi. Ia hanya menghabiskan makanan yang ada di piringnya dan dengan cepat ia langsung meninggalkan meja makan tersebut.     

"Aku sudah selesai makan. Aku mau balik ke kamar dan belajar." Ucapnya dengan dingin dan tanpa melihat ke setiap wajah yang ada di meja makan itu. Ia mendorong kursinya dan langsung bangkit dan berjalan menjauh meja makan itu. Ia berjalan dengan santai seakan ia tak memiliki tenaga meskipun baru saja ia selesai makan. Ia menaiki setiap anak tangga menuju kamarnya dengan sangat perlahan sambil memikirkan rencana bunuh dirinya besok. Ia juga menyiapkan sebuah surat untuk orang tua dan kedua adiknya sebelum ia benar-benar meninggal dan memastikan sahabatnya untuk dapat terus bersama meskipun tanpa ada dia sisi mereka. Sejak siang itu hingga sore hari Siska tak keluar kamar sama sekali, hingga makan malam pun ia tak keluar kamar. Hingga pembantunya mengirimkan makan malam untuknya di depan pintu dan ia mengambil makanan yang di antarkan setelah pembantunya berjalan jauh dari pintu kamarnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.