The Eyes are Opened

Bunga Bersemi : "Sebuah Tanda" (Part 2)



Bunga Bersemi : "Sebuah Tanda" (Part 2)

3"Ndraaaa.. Andraaa... Ayo bangunn!!" Terdengaar lirih suara mama memanggil namaku berkali-kali, namun mata ini terasa berat untuk terbuka apalagi badan ini rasanya enggan untuk bangkit dari tidurku.     

"Ndraaa... Ayo bangunnn!! Sudah maghrib ini lho!! Itu di bawah juga ada Andrew datang!."     

Seketika saja aku terbangun dari tidurku dan langsung duduk menghadap ke mama yang berdiri di samping tempat tidurku.     

"Yang benar ma?"     

"Iya. Masa iya mama bohong sama kamu. Kamu ada janji sama Andrew hari ini? Apa emang Andrew memang mau kesini dan kamu kelupa'an?"     

"Iya. Kak Andrew emang mau main ke sini katanya. Terus kak Andrew sama siapa ma kesini?" Tanyaku memastikan.     

"Uhmm.. sendirian aja tuh. Nggak ada siapa-siapa kok tadi dia datang ke sini. Udah sana temuin dulu." Ucap mama sambil melangkah berjalan keluar kamarku.     

"Emang sudah berapa lama ma kak Andrew di sini?"     

"Udah dari tadi. Uhmm... sudah satu jam yang lalu deh seingat mama. Udah sana turun!"     

"Hah!! Yang benar ma? Kenapa mama nggak bangunin aku dari tadi sih!!" Ujarku yang langsung berlari turun dari tempat tidur dan keluar kamar menemui kak Andrew.     

Perasaan yang sangat malu saat hendak bertemu dengan kak Andrew, bercampur perasaan bersalah karena sudah membuatnya menungguku terlalu lama untuk bangun tidur. Aku yang tadinya berlari menuruni anak tangga di rumah, seketika berjalan dengan sangat pelan hingga tak terdengar suara langkah kakiku sedikitpun. Aku tak ingin merasa sangat amat malu jika ia memergokiku saat menemuinya. Aku melihat kak Andrew dari kejauhan sedang bermain ponsel untuk mengurangi rasa kejenuhannya menungguku. Tinggal beberapa langkah lagi, aku menghela napas yang cukup panjang sebelum aku menemuinya.     

"Ehem!" Dehamku untuk memberi tahu kak Andrew jika aku sudah bangun tidur.     

"Sudah bangun dari tidurnya tuan putri?" Ucappnya sambil mengejekku yang menghampirinya yang tengah duduk di ruang tengah rumahku.     

"Yaahhh.. bisa kakak lihat sendiri lah sekarang aku sudah bangun apa nggak.. Hehehe.."     

"He-he-he.. Nggak tahu apa aku sudah tungguin kamu bangun tidur itu sudah hampir satu jam lebih tahu! Rasanya tuh kaya nungguin putri tidur yang bangun dari tidurnya satu abad!"     

"Iiiihhh lebay banget sih pakkk... Namanya juga orang ketiduran. Udaahhh... jangan ngambek teruss... yuk temenin aku beli makanan di depan gimana? Sebagai ganti sudah nungguin aku sampai bangun lhooo.." Ucapku mencoba merayu kak Andrew yang sedikit bete saat itu.     

"Emang mau beli makanan apa'an?"     

"Kakak mau makan apa? Nasi bebek? Nasi goreng? Atau mie goreng?"     

"Emang ada yang enak di dekat sini?"     

"Ya ada lahh.. Yuk dah. Dari pada mukanya di tekuk terus." Ucapku sambil berjalan menuju ke pintu rumah dan diikuti oleh kek Andrew di belakangku.     

"Maaaa... mau nasi bebek goreng nggakk??" Teriakku dari pintu rumah.     

"Hah?? Nasi bebek? Ya belikan satu lah buat papamu, biar nanti papamu pulang ada makanan. Beli bungkus aja Ndra, makan di rumah aja. Jangan makan di sana."     

"Iyaa.. Daahhh kami pergi beli dulu yaaa!!"     

"Yaaa!! Hati-hati!!"     

Akhirnya kami pergi membeli nasi bebek dengan berjalan kaki sambil menikmati angin malam yang sejuk dan sepoi-sepoi saat itu.     

"Uhmm... kakak nggak di cariin Karin nih main ke sini?" Tanyaku basa basi.     

"Karin sudah tahu kok kalau aku mau ke sini." Ucapnya dengan wajah datar.     

"Hah? Terus Karinnya gimana? Yakin tuh nggak apa?"     

"Iya. Kan Karin juga sudah tahu aku sudah temenan sama kamu sudah lama. Ngapain juga dia ngekang-ngekang aku nggak boleh main sama siapa, kan yang penting nggak main hati. Weeekk!" Jawabnya sambil mengejekku.     

"Ngeselin ya emang jawabanmu kak. Udahlah yukk jalan lebih cepat. Tuh Warung nasi bebeknya sudah di depan sana tuh!" Ujarku sambil berjalan mendahului kak Andrew.     

Sesampainya di warung nasi bebek, aku langsung saja memesan untuk di bungku kepada mamangnya yang berjualan.     

"Mang, bungkus nasi bebeknya tiga ya! Sambalnya pedas semua ya mang!"     

"Iya siap non!" Jawab penjual nasi bebeknya yang langsung mengambil tiga potong bebek yang terdapat di etalase kaca di depanku.     

Saat kami sedang menunggu nasi bebek yang aku pesan selesai, kami tak ada membahas apapun. Kak Andrew hanya terdiam seakan mencari moment dan waktu yang tepat untuk membicarakan apa yang ingin ia sampaikan tentang Dito padaku. Kami hanya duduk di bangku yang tersedia di warung itu sambil sesekali memandangi ponsel masing-masing hingga tak terasa pesanan yang aku beli akhirnya selesai.     

"Non ini nasi bebeknya sudah selesai." Ucap si mamang penjual nasi bebek.     

"Oh iya pak, berapa pak totalnya?" Tanyaku sambil mengambil uang di dalam dompet.     

"Ini pak uangnya. Kembaliannya ambil aja." Ucap kak Andrew yang tiba-tiba memberikan uang satu lembar seratus ribu ke mamang penjual nasi bebek. Aku yang mendengar dan mengetahui hal itu pun seketika terkejut dan langsung menyela kak Andrew.     

"Lho nggak mang! Ini aja!" Ujarku sambil memberikan uang dua lembar lima puluh ribuan yang berjumlah sama yakni seratus ribu.     

"Nggak mang. Sudah ambil saja uang saya. Yuk Ndra." Ucap kak Andrew langsung menggandengku keluar dari warung tersebut. Sambil mengikuti langkahnya keluar dari warung nasi bebek, menyebrangi jalanan yang terbilang sangat sepi dan hanya beberapa sepeda motor ataupun mobil yang melintas, aku terus menggenggam uang dua lembar lima puluh ribuan itu di tangan kananku dan tak hentinya menatap punggung kak Andrew yang terus berjalan lebih cepat dariku. Sampai akhirnya kami tiba di seberang jalan dan di dekat gerbang perumahanku, ia mulai melepaskan gengamannya dan saat itu juga ia berhenti di depanku.     

"Kak! Kan aku yang mau traktir kaka nasi bebek? Kenapa kakak yang bayarin sih? Nanti kalau mamaku tahu gimana? Kan nggak enak?" Celotehku sambil tetap mengotot untuk mengganti uang yang telah ia bayarkan tadi. Namun kak Andrew tetap berdiam sambil melihat ke arahku. Tanpa berbicara sedikitpun, ia hanya mengelus kepalaku dengan lembut dan tersenyum manis kepadaku.     

"Sudah nggak apa. Kapan lagi aku bisa traktir kamu. Sudah uangnya kamu simpan aja dulu, next aja kamu ganti waktu aku ulang tahun aja gimana?" Ucapnya dengan lembut.     

Aku terdiam sejenak mendengar apa yang ia ucapkan dan seketika saat itu juga aku langsung memasukkan uang yang sedari tadi aku pegang ke dalam saku celana panjangku. Di saat yang bersamaan aku mendengar kak Andrew menghela nafas yang panjang dan memulai membuka pembicaraan di antara kami yang dari tadi tertunda.     

"Ndra, aku minta maaf ya kalau aku tadi tiba-tiba aja langsung menggandeng tanganmu dan begitu saja mengajakmu keluar dari warung tadi. Aku cuman penasaran dengan hubunganmu bersama Dito nantinya bagaimana, dan aku juga ingin memastikan apa yang aku lihat kemarin. Maaf bener-bener aku minta maaf Ndra nggak minta ijin dulu sama kamu." Ucapnya yang seketika berubah dengan ekspresi yang terlihat sangat menyesali apa yang telah ia lakukan.     

"Iya nggak apa kok kak. It's okay. Jadi gimana? Apa yang kakak lihat dengan hubunganku dengan Dito? Sambil jalan yuk kak." Ucapku sambil berjalan dengan pelan diikuti oleh kak Andrew.     

"Uhmm... dari apa yang aku lihat, uhmmm.. Dito itu bukan jodohmu. Yaahhh.. tapi kamu pasti akan menyangkalnya kok. Nggak apa, dan kalian tetap akan berpacaran beberapa tahun."     

"Hah? Masa sih kak? Yaahhh.. aku sih emang pernah mimpi'in seseorang yang ngakunya dia itu jodohku, tapi aku nggak bisa lihat wajahnya. Hanya postur tubuhnya aja yang aku ingat samapi sekarang. Tapi kalau kakak sudah bilang kaya gitu ya nggak akan deh aku pacaran sama Dito."     

"Hmph."     

"Kenapa kak? Apa ada yang salah?"     

"Nggak, cuman agak nggak percaya aja sama omonganmu barusan."     

"Emang kenapa?"     

"Uhmmm... ya terserah kamu sih Ndra, semua yang aku bilang tadi itu kembali lagi ke kamu, soalnya apa yang aku lihat itu kamu tetap menjalin hubungan dengan Dito nantinya dan selama menjalin hubungan dengannya, kamu seperti lebih sering bersedih gitu, aku kurang tahu penyebabnya apa, aku nggak bisa lihat sampai sana, ya semoga aja si Dito nggak nyeleweng selama kamu berpacaran dengannya."     

"Iya kak. Makasi ya sudah kasih tahu Andra hal ini. Udah yuk masuk terus makan."Ajakku saat membukakan pintu rumah.     

"Nggak deh Ndra, aku langsung pulang aja deh. Nggak enak sama papamu ntar." Jawab kak Andrew yang berdiri di depan pintu rumah dan enggan untuk ikut denganku.     

"Ngapain pake acara nggak enakan sih kak? Nggak apa kok. Kalau kakak nggak enak makan satu meja sama papa, bisa kok makan di ruang tamu, aku temenin."     

"Uhmm.. ya sudah deh kalau kamu maksa.. Aku makan di sini ya.. tapi beneran temani.." Ucapnya yang langsung duduk di ruang tamu. Aku hanya tersenyum dan mengangguk mendengar ucapan dari kak Andre dan langsung menuju dapur untuk mengambil piring dan air minum.     

"Lho Ndra, mau di bawa kemana itu piringnya? Nggak makan di meja makan aja?" Tanya papa yang sudah menyantap nasi bebek yang ku beli tadi.     

"Mau makan di ruang tamu pa. Kak Andrew sungkan makan satu meja sama papa." Jawabku dengan polos. Mendengar apa yang aku sampaikan kepada papa, seketika itu juga papa berhenti makan dan langsung bangkit dari tempat duduknya lalu dengan langkah gontai menghampiri kak Andrew.     

Melihat papa yang berjalan seperti itu ke arah kak Andrew, akupun dengan cepat menaruh piring dan gelas di atas meja makan dan langsung mengejar papa yang sudah tiba dihadapan kak Andrew. Ketika aku sudah tiba di dekat papa, saat itu juga kak Andrew langsung beranjak dari tempat duduknya dan mengikuti papa yang berjalan kembali ke ruang makan di belakangnya.     

"(Papa ngomong apa sama kak Andrew sampai kak Andrew akhirnya mau makan sama - sama di meja makan?)" Gumamku dalam hati sambil memperhatikan kedua orang tersebut yang berjalan mendahuluiku sambil mengikuti mereka.     

Mereka berdua langsung saja duduk di meja makan dengan berhadapan satu sama lain dan dengan wajah terlihat tak ada apapun sebelumnya. Papa dan kak Andrew juga banyak mengobrol tentang dunia sepak bola yang sama - sama mereka sukai hingga tak sadar sampai kami bertiga selesai makanpun, papa dan kak Andrew masih menikmati malam mereka dengan nonton sepak bola bersama. Aku yang berada di tengah-tengah merekapun langsung enggan untuk ikut apa yang ada di dalam perbincangan mereka dan memutuskan untuk pergi ke kamarku.     

"Ow ya,tadi kan Dito ngirim pesan tapi belum aku jawab.. Uhmmm coba aku hubungi aja ah." Gumamku lirih sambil menaiki anak tangga.     

Aku cepat-cepat masuk ke kamar tanpa memperdulikan kak Andrew yang sedang asik dengan papa malam itu dan langsung mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja belajar. Baru saja aku hendak mengambil ponselku, terdengar suara dering pesan masuk. Benar saja terlihat di layar ponselku sudah terdapat beberapa pesan menumpuk yang belum terbaca dan ada dua kali panggilan masuk pukul tujuh malam tadi. Tanpa pikir panjang aku langsung membuka semua isi pesan yang masuk dari Dito dan membacanya.     

"Waahhh ternyata dari tadi Dito nyariin akuuu... iihhh.. tapi kok aku kesenengan gini sih?! Dia kan juga belum jadi pacarku?" Omelku sambil rebahan di atas tempat tidur dan membalas satu persatu pesan Dito.     

Entah kenapa malam itu aku merasa sangat senang sekali saat Dito mencariku hingga ia menghubungiku dua kali. Perasaan deg-degan, senang, malu seakan ingin meledak dari jantungku. Namun aku mencoba untuk menahannya agar tidak terlalu berlebihan. Aku nggak mau seperti orang kege'eran, entah kenapa aku merasa nggak percaya diri untuk menyukai seseorang saat itu. Saat itupun akujuga menjadi gelisah dan bimbang, apakah aku harus menguhubunginya lewat pesan atau langsung menghubunginya langsung telepon. Berkali-kali aku memikirkannya hingga aku tak menemukan jawaban yang terbaik. Aku hanya terdiam di kamarku dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar di otakku.     

"Haaahhhh... aku telepon apa nggak ya? Kalau aku telepon langsung, nanti dia lagi sibuk atau sedang keluar dengan temannya kan nggak enak jugaa.. tapiii... kalau aku menghubunginya lewat pesan juga nggak enak. Sudah seharian ini aku nggak membalas pesannya. Hmmmpphhh!!"     

"Udah lah, nekat aja aku telepon Dito duluan. Kalau dia sibuk ya sudah, toh emang salahku nggak balas pesannya dari tadi pagi. Tapiii... emang nggak apa ya kalau ceweknya yang hubungi duluan?? Kan gengsi jugaaa.. Aarrgghhh!!! Bikin galau aja sih!"     

Aku mulai menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan sambil memperhatikan layar ponselku.     

"Oke, lebih baik aku telepon aja, uhmm... paling nggak aku bisa minta maaf secara langsung kalau aku nggak bisa balas pesannya. Yap. aku pencet tombol teleponnya." Ucapku sambil memencet tombol telepon di layar ponsel.     

[Trrrrrrr...Trrrrrr...Trrrrrrrr....Trrrrrrrr.....]     

["Haloo???"]     

Terdengar suara Dito dari balik telepon yang sudah ia terima. Perasaan dag-dig-dug membuatku seketika menjadi gugup untuk berbicara padanya.     

["Halooo??? Dyandra???"]     

["Halooo??? Apa kamu salah pencet ya?"] Ujarnya sampai berkali-kali menanyakan keberadaanku namun aku masih terdiam membisu.     

[Ndraaa??? Aku mati'in ya.."]     

"Ehem! Yaaa.. haaalllooo.."     

["Aahhh... Akhirnya muncul juga suara anak ini. Dari tadi di tungguin, di hallo-hallo tapi nggak ada suaranya sama sekali. Hahahaha.."]     

"Iya tadi lagi siapin mental dulu buat jawab panggilanmu. Hehehehe.."     

["Kenapaaa?? Hahahahahaha... Segugup itu ya kamu telepon aku duluan? Apa karena biasanya aku yang telepon kamu duluan ya? Hahahahaha.. Padahal sudah di tungguin dari pagi balasan pesanmu, sampai aku misscall kamu berkali-kali tapi nggak kamu angkat."]     

"Hehehehe.. Ya begitulahhh.. Uhmmm.. By the way, ini kamu lagi sibuk nggak? Apa aku ngeganggu kamu nih tiba-tiba aku telepon gini?"     

["Nggak kok. Nggak ganggu. Malah aku dari tadi itu tungguin kamutelepon atau paling nggak balas pesanku tadi pagi. Hehehe.."]     

"Uhmm.. tapi rasanya kamu lagi di luar ya?"     

["Iya. Ini aku lagi di luar sama temen-temen aku. Lagi di cafe. Yaahhh.. Biasalaaahhh anak kota kalau mau cari angin ya gini, ke cafe, ngopi sambil ngobrol hal random gitu. Hehehehe.. Kamu lagi ngapain nih? Dari tadi belajar terus? Apa sudah mau tidur?"]     

"Iya tadi ada temenku datang main. Hehehe.. Apa nggak masalah kamu teleponan sama aku? Kan kamu lagi sama teman-temanmu? Apa nanti aja kita teleponan lagi? Atau besok?"     

["Uhmm... boleh tuh nanti lagi aku temepon balik ke kamu aja ya.. Bentar. Mungkin liam belas menitan aku telepon balik. Oke. Bye Ndraaa.."] Ucapnya di akhir telepon dan langsung aku matikan.     

Seketika jantungku berdetak lebih cepat dari pada biasanya hingga aku tak dapat mengendalikan ritme jantungku yang rasanya ingin lepas dari tempatnya. Wajahku seketika terasa lebih hangat dari pada biasanya. Aku berlari dari tempat tidurku menuju meja rias yang ada di ujung kamarku, aku melihat pipiku memerah seakan aku terkena demam tinggi. Pupilku terlihat membesar dan seluruh tanganku menjadi bergetar. Entah perasaan apa yang aku alami saat ini. Berbeda sekali dengan apa yang aku rasakan saat bersama kak Azka.     

"Apa ini yang dinamakan dengan jatuh cinta? Tapi aku baru saja kenal Dito, kenal juga belum ada satu bulan, masa iya aku muali suka sama Dito sih? Apalagi yang di bilang kak Andrew tadi. Haaaaahhhh.. udah lah di jalani aja dulu. Jangan terlalu ngebet buat jadian. Lagi pula iya kalau Dito juga suka sama aku, kalau dianya cuman mau kenalan aja gimana? Masa iya cinta bertepuk sebelah tangan?? Aarrggghhhh.. udah-udahhh..." Gumamku malam itu sambil menunggu telepon dari Dito masuk.     

[Drrrttt-drrrrttt-drrrt-drrrttt]     

Benar saja, baru saja aku kembali ke tempat tidurku, Dito langsung menghubungiku lagi. Aku melihat jam yang ada di layar ponselku sebelum mengangkat teleponnya.     

"Lha katanya lima belas menit dia telepon lagi? Lah ini baru sepuluh menit sudah telepon?? Uhmm.. aku angkat dulu aja deh."     

"Ya hallooo.." Ucapku setelah mengangkat telepon Dito.     

["Oiii.. Sudah tidurr?"]     

"Belum kok. Kan tadi di suruh tungguin kamu telepon, masa iya aku tinggal tidur? Hehehehe.."     

["Ya mungkin aja kan? Apalagi ini sudah jam sepuluh lho! Kan waktunya anak kecil tidur malam. Hahahaha!"]     

"Heh! Ngeselin deh! Gini-gini sudah SMA tahu! Malah di katain anak kecil."     

["Hahahahaha.. Ngambeekkk... Hahahahaha... jangan ngambek lahh.. kan cuman bercanda. Lagian emang sih suaramu itu imut banget kaya anak kecil. Hahahaha.. Aku waktu pertama kali dengar suaramu aja sempat kaget kok, apa benar ini anak SMA? Suaranya itu lho imut bangeeettt.. Sampai-sampai tiap hari itu penasaran wujudmu itu beneran kaya anak kecil atau nggak. Hahahaha."]     

"Hah? Masa sih? Perasaan aku bicara juga biasa aja, nggak aku buat-buat kok."     

["Iya. Suer deh suaramu itu imut banget. Hehehehehe.. Jadi terngiang-ngiang gitu di otakku. Hehehehe"]     

"Halah ngegombal! Hahahahahaha.. Eh by the way kok kamu cepat banget ini telepon aku? Katanya mau pulang dulu?"     

["Hehehehe... Iya aku tadi ngebut di jalan biar bisa cepat telepon kamu. Hehehehehe.. Ow ya yang tadi datang ke rumahmu itu temen apa temen?? Hayooo.. Atau jangan-jangan kamu sudah punya cowok lagi?"]     

"Hah? Cowok dari mana? Aku emang nggak punya cowok kok. Kenalan aja baru juga kenal kamu. Hahahaha.. Kamu mungkin yang sudah punya cewek di sana."     

"Hahahahaha.. Sama aku juga nggak punya pacar nih. Aku sudah putus sama pacarku juga sudah lama banget. Sudah hampir tiga tahun kalau nggak salah inget. Hehehe.."]     

"Halaahhh.. nggak percaya deh aku. Kan biasanya cowok itu cepat banget buat punya ganti yang lain setelah putus, paling nggak gebetan gitu? Masa iya selama tiga tahun ini nggak punya gebetan?"     

["Uhmm... kalau gebetan sih adaaaa... baru juga kenalan."]     

Seketika Dito terdiam sesaat, hal ini membuatku semakin berpikir apakah benar ada cewek lain yang lagi dekat dengannya selain aku? Hal ini membuatku minder dan nggak percaya diri untuk mendekatinya lebih dalam.     

"Ohhh..." Jawabku singkat. Aku tak ingin berekspektasi terlalu tinggi dengan ucapannya, apalagi yaaahhh.. aku juga baru kenal dengan dia. Belumpernah bertemu sama sekali, hanya lewat pesan singkat dan telepon seperti ini setiap malam untuk saling berkenalan dan berkomunikasi.     

["Kenapa jawabanmu cuman oh? Kamu nggak mau tanya-tanya siapa ceweknya? Atau kaya gimana ceweknya?"] Tanyanya dengan nada usil padaku.     

"Nggak ah. Ngapain juga kepo dengan urusan pribadi orang. Aku nggak terlalu suka untuk ngepoin hal kaya gitu, apalagi nggak ada hubungannya denganku. Hehehehe.. Uhmm... kamu sekarang lagi ngapain nih Dit?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan kita saat itu.     

["Beneraaannn niiihhh nggak mau tahu siapa orang yangs edang aku deketin? Kamu nggak cemburu aku deket sama cewek lain?"]     

"Iya. Ngapain cemburu sama kamu weekk.. Lagian kan kita masih temenenan, masa iya aku cemburu-cemburu? Kan jadinya aneh.. Hahahahaha.."     

["Padahal aku seneng banget kalau kamu cemburu sama aku. Jadi aku tahu kalau kamu suka sama aku. Yaaahhh.. meskipun aku tahu sih, kita baru kenal beberapa minggu, tapi nggak tahu aja, aku kok pengen kamu cemburuin sih. Hahahaha..."]     

"Hahahahaha.. Kamu ini ada-ada aja sih! Ngegombaaalll teruuussss... Makin malam makin liar ya gombalannyaaa.."     

["Aku beneran nggak ngegoblain kamu kok. Yaaa.. asal kamu tahu aja, aku cuman deketin cewek itu ya cuman kamu doang. Di sini apa lagi teman-temanku itu kebanyakan sudah punya pasangan masing-masing. Ada yang sudah merit malah. Aku tuh paling muda nggak di kantor, nggak di teman-teman mainku. Hahahahaha.. Makanya cari ceweknya di sini susah banget. Eh tahunya dapat kenalannya juga jauuhhh.. Sedih aku tuh... hiks-hiks.."]     

"Masa siiiihhh?? Hahahahahaha.."     

Malam itu aku habiskan dengan bercerita banyak hal random dengan Dito, bercanda hingga tertawa terbahak-bahak. Malam semakin larutpun aku tak menyadarinya. Suara desiran angin dan hujan yang perlahan mengguyur di depan rumahku pun sampai tak terdengar. Terlalu asik aku menikmati malam itu. Jam dinding pun terus berputar hingga aku tak menyadari jika waktu sudah menunjukkan tengah malam. Beberapa kali aku menguap karena sudah merasa lelah dan mengantuk, namun Dito masih on fire di balik telepon sana. Ia terus bercerita banyak hal yang ia ketahui hingga tak terasa aku mulai membaringkan kepalaku di atas bantal sambil memeluk boneka kesayanganku. Mataku mulai terasa sangat berat untuk terus terjaga, hanya seucap kata Hmm, He'em yang sering aku jawab jika ia sedang bercerita. Sampai akhirnya malam itu aku tertidur sambil mendengar cerita-ceritanya dan telepon kami akhiri tanpa aku sadari ketika aku sudah terlelap jauh hingga ke alam mimpi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.