The Eyes are Opened

I Meet You



I Meet You

1Hari-hariku berubah setelah mengenalnya. Seakan banyak hal baru yang aku peroleh, seperti ada orang yang selalu menunggu setiap hari, nggak ada namanya kesepian, jenuh, sendiri, dan teringat masa lalu lagi. Kini setiap pagi ia selalu hadir dalam hariku. Ia selalu memberikan semangat setiap pagi ketika aku bangun tidur. Begitu juga aku yang selalu memberikan semangat setiap pagi untuknya sebelum bekerja. Dia yang selalu ada ketika aku sedang merasa bosan, dia yang selalu menanyakan kabar dan kondisiku dan tak pernah lupa untuk selalu mengingatkanku untuk mengutamakan sekolah dari pada bermain-main apalagi aku sudah duduk di bangku kelas dua SMA yang menunjukkan sebentar lagi aku akan lulus sekolah dan melanjutkan studiku ke perkuliahan. Yaahhh.. aku juga tahu sih, kalau dia sendiri nggak sampai lulus kuliah, dia memilih bekerja dan mencari uang dari pada terus-terusan sekolah. Apalagi dia merupakan anak paling akhir di keluarganya, sehingga ia nggak ingin untuk memberatkan beban kedua orang tuanya.     

Sesekali saat aku dan Dito sedang deep talk ketika malam hari, ia sering bertanya apakah aku akan kuliah setelah lulus SMA nanti. Pertanyaan yang sama itu beberapa kali ia tanyakan padaku, seakan ia tak mengharapkan aku untuk kuliah dan mengembangkan pendidikanku hingga ke jenjang sarjana. Entah karena ia akan merasa minder denganku jika aku nantinya kuliah sedangkan ia nggak. Atau ia takut jika aku akan bertemu cowok yang jauh lebih baik lagi darinya. Namun semua yang ia tanyakan selalu aku sangkal dan berusaha agar ia dapat percaya padaku tanpa kekhawatirannya yang berlebihan itu. Terkadang sangat menjengkelkan, jika ada orang lain yang nggak menghendaki apa yang kita sukai atau tidak mendukung apa yang ingin kita lakukan. Namun aku berusaha untuk mengerti kondisi Dito saat itu. Ia juga beberapa kali berbicara random masalah pacaran hingga ke pernikahan. Perbincangan itu juga sering membuatku shock karena aku merasa aku masih SMA dan memikirkan untuk menikah dini itu masih sangat jauh. Aku masih ingin mencapai cita-citaku setinggi mungkin, aku juga masih ingin bekerja, yaahhh... paling nggak aku dapat merasakan namanya jadi karyawan dari sebuah perusahaan nantinya setelah lulus kuliah. Ketika aku menyampaikan pendapatku tentang hal itu, ia selalu menepisnya. Ia selalu mengatakan jika kebanyakan teman-teman kerjanya yang saat ini juga lulusan sarjana, tetapi bidang kerja yang mereka lakukan sama dengan apa yang ia lakukan. Malahan jabatan yang ia terima saat ini lebih tinggi dari pada teman-teman di kantornya. Ada juga yang ia ucapkan padaku jika perempuan itu meskipun sekolah setinggi apapun, ujung-ujungnya juga menjadi ibu rumah tangga yang mengurus rumah dan anak. Saat mendengar hal tersebut sering kali aku menjadi berpikir dua kali. Iya. Dua kali. Berpikir jika statement yang ia sampaikan ini sering kali membuat perasaanku sakit, seakan ia tak menghargai pendapatku ataupun keinginanku dan yang kedua berpikir apakah benar Dito dapat menjadi yang terbaik atau bisa di bilang, apakah Dito ini merupakan takdir dan jodohku? Apakah aku harus meninggalkannya sebelum terlampau jauh hubungan kami? Selagi kami masih ada di fase pendekatan satu sama lain, belum sempat bertemu ataupun menjalin hubungan yang lebih serius. Di saat itu juga aku menjadi teringat dengan ucapan yang di sampaikan oleh kak Andrew beberapa hari yang lalu, tentang apa yang ia lihat dari hubunganku dengan Dito. Tetapi aku masih sangat takut untuk mempercayainya. Aku takut menjadi musrik dengan terlalu percaya dengan omongan orang yang memiliki kelebihan seperti itu dari pada percaya dengan rencana Tuhan dalam hidupku. Namun jika aku memikirkan untuk melepaskan Dito saat ini, akan sangat susah bagiku karena aku semakin tahu jika aku telah semakin dalam menyukainya. Yaahhh.. meskipun aku masih belum mengungkapkannya secara langsung pada Dito tentang perasaanku padanya. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengabaikan semua hal itu dan terus menjalani hari-hariku seperti biasa.     

[Drrttt-drrrtt]     

"Siapa yang kirim pesan ya?" Gumamku saat mengenakan seragam sekolah sebelum berangkat dan langsung meraih ponsel yang sedang aku charge di dekat tempat tidur.     

05.30 AM ["Pagi cantiikkk.. Pasti lagi siap-siap mau ke sekolah ya? Semangat ya buat hari ini! Ow ya, uhmm... minggu depan kamu ada waktu nggak?"]     

Pagi itu seperti biasa Dito selalu mengirimiki pesan singkat untuk menyemangatiku setiap hari sebelum berangkat ke sekolah. Senang sih ada yang selalu nyemangatin kaya gini dan inilah salah satu mood boosterku ketika aku sedang bad mood. Tapi ada pesannya yang agak membuatku berpikir keras pagi ini. Tiba-tiba saja ia menanyakan waktu kosongku seakan-akan hendak mengajakku untuk bertemu, sedangkan aku tahu sendiri Dito nggak satu kota denganku. Hal itu membuatku bertanya-tanya apakah ini benar-benar sebuah ajakan untuk ketemuan atau hanya khayalanku saja, atau Dito sedang bercanda denganku pagi ini.     

"Haaaahhh... apa dia lagi bercanda ya? Kok tiba-tiba banget dia ngomong kaya gini?" Gumamku.     

05.40 AM ["Hallo pagi juga Dit.. :) Iya ini juga masih siap-siap dan nunggu jemputan datang. Semangat juga ya kerjanya. Uhmm... Minggu depan? Emang mau ngapain ya Dit?"]     

"Andraaaa!! Ayo cepat sarapan!! Sudah siang ini!! Ngapain kamu di kamar terus?!" Teriak mama dari ruang makan. Mendengar mama sudah memanggilku dan juga waktu di jam dinding sudah menunjukkan pukul 05.45 WIB, aku langsung berlari keluar kamar tanpa memperhatikan kondisi kamar yang masih berantakan menghampiri mama yang sudah menyiapkan sarapan pagi untukku.     

[Drap-drap-drap-drap-drap]     

Suara langkah kakiku saat menuruni anak tangga terdengar sangat kencang hingga aku tak dapat mengendalikannya.     

"Andraaa!!!! Sudah mama kasih tahu berkali-kali nggak boleh berlari di tangga seperti itu!!!" Teriak mama sekali lagi padaku hingga membuatku langsung menghentikan langkahku dan berjalan lebih pelan.     

"Iya ma.. maaf.." Ucapku dengan lirih.     

"Kamu itu ya! Ngapain aja sih dari tadi kok nggak turun-turun? Tidur lagi?"     

"Nggak kok. Andra nggak tidur lagi. Tadi masih siap-siap ma..." Ucapku beralesan sambil mengambil nasi goreng dengan telur mata sapi yang sudah tersedia di atas meja makan.     

"Pagi-pagi sudah buat mama teriak-teriak aja sih kamu. Inget kamu tuh sudah gede! Bukan anak SD lagi yang tiap hari harus di tuntun kalau mau ngapa-ngapain. Bentar lagi juga sudah mau kuliah kan??"     

"Iyaaa maaaa.. ma'aaafff.."     

"Sudah makan dulu sana cepet sebelum Pak Daud datang jemput kamu."     

"Kenapa sih pagi-pagi sudah ribut banget?" Terdengar suara papa yang baru saja keluar dari kamar mendekati meja makan. Sontak saja aku terkejut melihat papa yang masih di rumah apalagi masih menggunakan baju tidurnya.     

"Lho papa kok masih di rumah?" Tanyaku keheranan.     

"Kenapa emangnya kalau papa di rumah? Nggak suka? Ma, mana piringku?"     

"Ya kan bukannya papa harusnya sudah berangkat kerja?"     

"Hari ini papa ambil cuti beberapa hari. Papa capek. Ow ya, tadi kalian membicarakan masalah kuliah? Emangnya kamu mau kuliah Ndra?"     

"Ya iya lah paa... Masa aku nggak kuliah?! Kak Dita aja kuliah kok. Aku kan juga pengen kuliah juga." Ucapku sambil memebereskan sarapan pagiku ke tempat cuci piring.     

"Iya tapi ngapain kamu juga ikutan kuliah? Lagian papa nggak yakin bisa biayain kamu kuliah sampai selesai. Apa kamu nggak mau di sini saja? Nemenin papa sama mama?"     

"Hah? Nggak pa! Andra juga pengen kuliah dan nambah wawasan Andra kaya kak Dita. Masa iya Andra cuman lulusan SMA yang nggak tahu apa-apa tentang dunia luar sana? Kalau papa nggak bisa dana'in Andra kuliah nggak apa, Andra bisa cari tambahan sendiri mulai sekarang. Andra berangkat."     

[Braakkk!!]     

Mendengar ucapan papa barusan membuatku kesal dan kecewa. Kenapa papa hanya memperhatikan kak Dita saja, sedangkan aku nggak, seperti ada pilih kasih di antara kami.     

"Kalau di ingat-ingat kaya siapa ya yang nggak suka aku kuliah? Uhmm... Oh iya! Kaya Dito." Gumamku lirih.     

Pagi ini mood ku benar-benar nggak karuan. Aku nggak tahu harus melangkah kemana untuk masa depanku. Tapi aku nggak mau sampai di sini saja, aku juga ingin merasakan namanya dunia perkuliahan, punya banyak teman baru, pengalaman yang baru, lingkungan yang baru dan berbagai hal yang lainnya. Aku nggak akan berhenti samapai di sini aja! Akan aku pastikan untuk bicara lagi sama papa masalah kuliah nanti sepulang sekolah.     

Seperti biasa, setiap pagi aku datang ke sekolah, suasana gerbang sekolah masih terlihat sepi dan hanya beberapa anak saja yang baru datang. Apalagi anak SMA yang selalu datang beberapa menit sebelum bel sekolah. Aku berjalan dengan sangat pelan menyusuri halaman sekolah yang sangat luas. Jika jalan santai saja dari gerbang sekolah menuju ke kelasku membutuhkan waktu paling nggak 5 menit bahkan bisa lebih. Sepanjang jalan aku menuju ke kelas aku melihat matahari yang bersinar begitu terangnya dengan langit yang biru cerah, ditambah suara burung-burung gereja kecil yang berterbangan kian kemari di sekitar sekolah membuatku menghentikan langkahku sejenak. Aku memandangi langit sambil memanjatkan doa dalam hatiku. Aku berdoa meminta kepada Tuhan untuk masa depanku agar mendapatkan jalan yang terbaik. Aku menghela nafas yang sangat dalam dan panjang lalu melanjutkan kembali berjalan menuju ke kelas.     

Di saat aku sedang menaiki anak tangga dekat kantin menuju ke kelas, tiba-tiba ada suara seoranga nak perempuan memanggilku dari belakang.     

"Andraaaa!!! Ndra Andraaa!! Tungggu!!!"     

Karin. Iya. Karin yang memanggilku dari kejauhan sambil berlari mendekatiku. Melihatnya berlari dengan susah payah, aku langsung menghentikan langkahku dan menunggunya di tengah-tengah anak tangga.     

"Huft-huft-huft."     

"Ambil nafas dulu... Kamu bawa minum nggak? Minum dulu kalau bawa. Kalau nggak bawa nih minum." Ucapku sambil menyodorkan botol minumku kepada Karin.     

"Iyah. Makasih yahh.. [gluk-gluk-gluk] Aaaahhh... segarnyaaaa... Yahhh.. tinggal setengah Ndra.. Maaf yaa..." Ujarnya yang terlihat menyesal karena air minumku sudah sabis setengah olehnya.     

"Udah nggak usah di pikirin cuman air minum aja kok. Nanti kan bisa beli di kantin. Udah yuk naik."     

"Eh, tumben kamu datang jam segini Ndra? Biasanya datang pagi dan sudah di kelas jam segini."     

"Aku sudah datang dari tadi kok. Cuman jalanku aja dari gerbang aku lama-lamain. Abisnya pemandangan pagi ini bagus banget. Ow ya Rin, kamu nanti abis lulus SMA mau lanjut kuliah atau nggak?"     

"Uhmm... Nggak tahu juga sih.. Rasanya aku mau langsung cari kerja aja deh. Biar nggak jadi beban mami aku. Kalau kamu Ndra?"     

"Nggak tahu juga. Pengennya sih bisa kuliah. Ow ya aku lagi deket sama cowok Rin. Hehehehe.."     

"Hah? Seriusan? Siapa?? Kenal dari mana?"     

"Ya nanti deh aku ceritain pas istirahat. Aku masuk kelas dulu yaaa.. Byeee.." Ucapku mengakiri perbincanganku dengan Karin pagi itu dan membuat Karin menjadi sangat penasaran dengan ceritaku yang mendadak.     

"Iiihhh beneran lho Ndra nanti ceritain! Ow ya nanti ada pertemuan ya di ruang baca sepulang sekolah!"     

"Okeee"     

[Drrrtt-drrrtt] Suara pesan singkat baru saja masuk dan langsung ku baca.     

08.00 AM ["Hai non.. sudah di sekolah? Uhmmm.. rencananya minggu depan aku mau ketemuan sama kamu. Boleh nggak?"]     

Membaca pesan darinya yang baru saja masuk tersebut membuatku terdiam beberapa saat, namun ada perasaan senang juga yang timbul dalam hatiku mengetahui akhirnya aku bertemu dengannya untuk pertama kali. Pikiranku langsung berlarian kemana-mana, memikirkan bagaimana sosoknya, mau pakai baju apa nanti saat bertemu dengannya, mau bertemu di tempat yang seperti apa, dan yang paling aku pikirkan bagaimana perasaanku saat melihatnya secara langsung nantinya. Rasanya tak sabar ingin bertemu dengannya, tetapi aku juga ada perasaan malu, bagaimana jika ia tak menyukaiku pada first impressionnya nanti. Semua pikiran ini bergejolak begitu saja di dalam benak dan otakku, membuatku tak dapat fokus memperhatikan pelajaran hari ini yang telah berlangsung beberapa menit setelah bel masuk berbunyi.     

"Hey Ndra!!" Teriak Raka dari sebelah kiriku. Aku tersentak kaget saat Raka memanggilku, tanpa sadar aku melamun hingga tak memperhatikan pelajaran yang tengah berlangsung.     

"Thank you Ka." Ucapku setelah di ingatkan. Namun bukan karena hal itu saja sampai Raka menyadarkanku, namun ada 'makhluk' lain yang sedang mendekatiku saat aku sedang melamun.     

"Kenapa Ka? Kamu kok lihatin aku kaya gitu tadi?" Bisikku pelan.     

"Hah? Nggak apa kok Ndra. Udah sana dengerin dulu aja kelasnya."     

"Apa'an sih? Kok Raka aneh, kaya abis lihat sesuatu aja." Gumamku sambil memberi tanda pada materi yang sedang di bahas hari itu.     

"Hooaaammm... ngantuk banget sih hari ini.. Bosen juga." Gumamku dalam hati sambil terus memperhatikan Pak Frans yang sedang menjelaskan panjang lebar di papan tulis.     

Selama pelajaran berlangsung saat itu benar-benar aku nggak bisa fokus satu detikpun untuk mendengarkan pelajaran hari ini. Pikiranku terasa kemana-mana sejak pagi tadi hingga akhirnya aku memutuskan untuk ke toilet agar menghilangkan rasa jenuhku di kelas. Menyusuri koridor kelas yang sangat sepi menuju toilet, hanya aku seorang yang tengah berjalan sendirian di tengah-tengah jam pelajaran. Memandang ke arah langit yang berwarna biru cerah di hiasi dengan awan-awan putih yang bergumpal di mana membuat mataku lebih segar dari pada sebelumnya. Angin sepoi berhembus lembut di atara celah-celah rambutku yang tergerai, terasa sejuk dan segar. Aku terus berjalan hingga akhirnya tiba di depan toilet dan langsung saja aku masuk dan berjalan menuju ke arah wastafel. Aku membasahi seluruh tanganku dengan air yang mengalir, terasa dingin di kulitku dan sangat segar hingga akhirnya rasa kantukku saat itu menghilang. Selesai mencuci tangan, aku merogoh saku rokku dan mencoba membalas pesan dari Dito sebelum aku keluapa'an lagi.     

09.25 AM ["Hai Dit.. Kamu serius mau ketemuan sama aku? Boleh aja kok kalau mau ketemuan. Kapan rencananya nanti aku carikan tempat yang nayamn buat ketemu. :)"]     

[Drrrrttt-drrrrrttt]     

09.26 AM ["Lhooo kok bisa balas pesanku jam segini? Bukannya jam segini masih pelajaran ya?"]     

09.26 AM ["Seriusan kamu mau ketemuan sama aku? Kamu nggak takut kan mau ketemu aku? :D Uhmm... Rencananya sih aku mau ajak kamu ketemuan hari sabtu minggu depan sih.. Gimana kamu sabtu minggu depan ada acara nggak? Kalau sabtu pagi gimana? Di kotamu sana ada tempat nongkrong atau tempat makan yang nyaman nggak? Atau kamu mau ketemuan di ibu kota aja? Hehehehe.."]     

09.27 AM ["Iya emang sekarang masih jam pelajaran, tapi aku lagi ke toilet jadi sekalian aku balas pesanmu tadi pagi. Uhmm... kalau sabtu pagi minggu depan aku nggak ada acara kok. Tapi kalau pagi-pagi masih belum ada tempat yang buka. Gimana kalau agak sorean aja? Atau kalau kamu mau pagi ya di atas jam 10 pagi sih.. Soalnya di kotaku tempat makan baru buka jam 9an. Kalau kaya cafe kebanyakan bukanya malam."]     

09.28 AM ["Boleh tuh jam 10 atau jam 11 aja ya sekalian makan siang gimana? Tempatnya kamu atur aja ya... nanti kasih tahu aku dimana. Nanti juga aku kasih tahu kamu kalau aku sudah tiba di kotamu. Ya sudah kamu belajar dulu ya.. Aku mau meeting sama atasanku. Byee Dyandraa... See you next week.. can't wait to meet you :D"]     

Membaca pesan terakhirnya membuat jantungku berdegup dengan kencang. Terasa darah di seluruh tubuhku mengalir begitu deras hingga tubuhku terasa lebih hangat dari biasanya. Apakah ini yang di namakan jatuh cinta?     

"Andraaaa!!" Teriak Karin yang menghampiriku saat aku hendak kembali ke kelas.     

"Kamu abis dari mana Rin?" Tanyaku yang melihat Karin berjalan dari arah tangga utama.     

"Aku abis dari ruang guru, Pak Lukas memanggilku. Eh, wajahmu kenapa Ndra? Kok merah? Kamu demam? Atau kenapa?" Tanya Karin sambil terus-terusan yang memegang dahiku.     

"Hah? Masa sih wajahku sampe merah? Aku nggak kenapa-napa kok."     

"Yakin?"     

"Iya. Aku nggak kenapa-napa. Ow ya, kamu tadi di panggil Pak Lukas ngapain emang?"     

"Ow iya, tadi Pak Lukas cuamn tanya aja progres untuk lombanya gimana? Design madingnya mau di buat seperti apa. Soalnya Pak Lukas nanti mau ikut meeting juga buat ngedampingin. Terus tadi di kasih tahu kalau sebenarnya pihak sekolah nggak kasih ijin ke kita buat ikutan lomba ini, yaahhh.. karena kita ini yang mau ikutan lomba kebanyakan anak kelas dua, kepsek minta kita buat fokus belajar buat persiapan ujian kenaikan. Kemungkinan besar juga kita nggak dapat sumbangan dari sekolah buat biaya lomba mading ini." Ucap Karin dengan nada lesu.     

"Hah? Yang bener Rin? Lha terus gimana dong? Mau di batalin aja?"     

"Yaaaa... nggak bisa Ndra.. Kita sudah daftar ke panitia lombanya, dan salah satu persyaratan ikut lomba ini itu kalau sudah daftar nggak bisa keluar atau batal secara sepihak. Kalau nggak malah kita yang kena denda. Ow ya aku juga belum kasih tahu kamu kalau kita ikutan lomba ini ada biaya pendaftarannya lho!"     

"Emang berapa biaya pendaftarannya? Terus dendanya kenapa berapa?"     

"Pendaftarannya per anak cukup bayar lima puluh ribu Ndra. Terus dendanya kalau nggak salah bayar lima ratus ribu per team. Makanya itu Ndra kita nggak bisa batalin lomba ini.. Ow ya, paling lambat besok ya tolong kamu bayarnya. Yang lainnya sudah pada bayar dari kemarin."     

"Lha kok? Kenapa aku baru tahunya sekarang Rin? Kenapa nggak dari kemarin-kemarin kamu kasih tahu aku kalau ada biaya pendaftarannya? Atau waktu kamu cerita aku ikut lomba ini? Kenapa cuman aku yang baru tahu info penting kaya gini sih?!"     

"Yaaa.. kan kamu beda kelas sendiri sama aku dan yang lainnya... Lagian waktu aku cerita kamu itu aku kira kita bakalan dapat sumbangan dari sekolah buat ikutan lomba ginian, kan Pak Lukas yang rekomendasikan, makanya aku nggak cerita. Aku juga baru tahu beberapa hari yang lalu kalau kita nggak dapat sumbangan dari sekolah."     

"Terus?? Waktu kamu ikutan lomba ini siapa yang bayar pendafatarannya coba?!"     

"Pak Lukas yang bayarin dulu uang pendaftarannya dan emang harus ada guru pendamping selama perlombaan ini berlangsung, paling nggak minimal ada satu guru yang mendampingi, lalu ada satu guru untuk melakukan penilaian secara random pada hasil karya dari team lain. Yaahhh.. dua guru lah minimal yang ikut."     

Mendengar apa yang baru saja Karin sampaikan padaku siang itu membuatku sedikit kecewa padanya. Entah apa yang ia pikirkan, tetapi di sini aku bisa melihat jika Karin seakan tak menganggapku penting. Ia meremehkanku dalam segala hal. Ingin rasanya marah padanya saat itu juga, namun tetap saja aku nggak bisa marah pada orang yang aku anggap sahabatku. Aku hanya menghela nafas panjang di hadapannya dan memutuskan untuk mengakhiri percakapan ini dan cepat kembali ke kelas.     

"Hmmmppphhh... ya sudah lah Rin, besok aku kasih uangnya. Lalu nanti jadi meeting sepulang sekolah kan? Dimana?" Tanyaku untuk memastikan.     

"Iya jadi. Nanti tetap kok meetingnya di ruang baca ya Ndra. Nanti aku masukin kamu ke dalam grup lomba."     

"Ya sudah. Aku balik ke kelas dulu ya Rin. Bye.." Ucapku sambil melangkah berjalan menjauh darinya.     

Tanpa aku sadari aku perlahan meulai menaruh rasa benci pada Karin, benci terhadap sikapnya yang selalu seenaknya, keegoisannya dan banyak hal lainnya. Aku juga menjadi sering merasa iri terhadapanya dengan prestasi yang ia capai, teman-teman yang banyak yang selalu mengelilinginya dari dulu hingga sekarang. Pacar yang selalu support, dan orang tua yang selalu menerima apa adanya dirinya dan mendukung penuh apapun pilihannya jika itu yang terbaik untuk dilakukan. Serta orang tua yang selalu memberikan kebebasan padanya dalam banyak hal.     

"Haahhh.. sudahlahhh.. aku juga punya kehidupanku sendiri. Mungkin belum saatnya aku seperti Karin." Gumamku sambil terus melangkah menuju ke kelas.     

[Ting!]     

Terdengar ada suara notifikasi dari sosial mediaku berbunyi.     

"Ada notif apa nih? Hah? Dito kirim gambar dari pesan sosmed?" Gumamku sambil cepat-cepat membuka pesan apa yang ia kirimkan.     

09.31 AM ["Hai non.. Ow ya aku mau tanya, kamu suka yang ini atau yang ini? Aku mau belikan buat kamu sebagai hadiah perkenalan kita nanti. :D"]     

Melihat gambar yang dikirim Dito siang itu, membuatku terkejut hingga tak dapat berkata apa-apa. Untuk memilihnya saja aku nggak tahu harus pilih yang mana, dan lagi pula aku merasa tak enak hati jika aku memilihnya sesuai kehendakku. Sampai akhirnya aku memutuskan biar Dito yang memilihnya sendiri yang terbaik untukku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.