The Eyes are Opened

Keranda Mayat



Keranda Mayat

0"Andraaaa!!! Heiiii.. Siniiii!" Teriak Karin dari seberang balkon gedung sekolah yang memanggilku untuk menghampirinya.     

"Iyaaa!! Tunggu bentaarr!!" Balasku sambil berlari mendekatinya.     

Selagi aku berlari menuju tempat Karin berdiri di depan ruangan kosong sebelah ruangan BK, aku melihat beberapa anak kelasnya dan kelas IPS lain berkerumun di sekitarnya dan beberapa terlihat membawa sebuah buku binder duduk di bangku depan lorong kelas. Seketika itu juga aku memutuskan untuk berjalan namun lebih cepat,. Yah.. aku juga merasa kelelahan setelah berlari dari lantai satu, menaiki tangga menuju lantai dua. Dari kejauhan aku melihat mereka sedang asik membahas sesuatu yang sangat menyenangkan namun terlihat serius juga dari kejauhan. Perasaanku mulai nggak nyaman di antara mereka. Yaahhh.. bukannya aku nggak kenal mereka semua, tetapi aku lebih nggak nyaman dengan circle mereka yang selalu dikelilingi anak-anak hits di sekolah.     

"Hei kok lama banget sih naik dari bawah? Ayo ini kita mau meeting perdana kita lho buat lomba madingnya!" Ujar Karin yang terus mengomeliku saat aku baru saja tiba di hadapannya.     

"Iya-iya. Ini kan juga baru nyampek. Lagian tadi abis dari lab, ya sabar napa.."     

"Ya udah masuk dulu aja yuk." Ajak Karin sambil membuka pintu yang ada di belakangnya.     

"Eh ini cuman kita aja yang ikutan meeting? Atau ada yang mau datang lagi? Terus kok pindah di sini ruangannya" Bisikku pada Karin.     

"Ada nanti pak Lukas datang kok. Ruang bacanya di pake anak kelas satu, sudah kamu duduk di sana Ndra." Ucap Karin sambil menunjukkan bangku kosong yang ada di hadapannya.     

Akupun berjalan menuju bangku yang di tunjuk oleh Karin, dimana di sebelah kananku ada Cassandra dan di sebelah kiriku ada Melinda. Dua anak IPS dengan gaya paling kontras yang pernah aku lihat selama di sekolah ini. Yap, Melinda salah satu anak yang tak terlalu suka dengan berdandan. Ia hanya berdandan apa adanya selayaknya anak SMA, namun semua yang ia pakai termasuk barang-barang branded, sedangkan Cassandra, merupakan salah anak yang menjadi bintang idola di sekolah. Bukan karena prestasi yang ia dapatkan sih, tetapi gaya dandanannya bak barbie yang selalu tampil modis dan keren. Aku melihat sekitarku siapa saja yang menjadi team lomba mading ini dan ternyata kebanyakan anak IPS yang mengikutinya. Hanya aku dan Kenzo yang ikut lomba dari kelas IPA.     

"Waahhh.. gila ya ini yang ikut team cuman anak IPS semua. Anak IPAnya cuman dua orang. Ckckckck.." Celetuk Alex yang duduk di bagian belakang ruangan sambil menaikkan kakinya di atas meja.     

"Hehehehehe.. ya biasa lah Leexxx.. anak IPA kan sibuk dan males ikutan kaya gini. Iya kalau ada lomba olimpiade gitu pasti banyak anak IPAnya. Kamu mau pindah ke IPA ta Lex? Hahahahaha." Ujar Bella yang duduk di sebelah Alex sambil memainkan rambutnya agar terlihat cantik, padahal menurutku ia nggak terlalu cantik banget. Lebih cenderung ke arah manis sih wajahnya, di tambah kulitnya yang coklat eksotik, dengan rambut hitam pekat yang bergelombang membuatnya terlihat berbeda dengan anak yang lain dan Bella merupakan salah satu anak yang juga menjadi model di majalah-majalah fashion serta acara-acara modeling lainnya sehingga hampir seluruh sekolah hingga para guru sudah mengenal Bella dan menyukai parasnya.     

"Heh sudah jangan bicara aja kalian! Di sini juga ada anak IPA yang ikut kok. Lagian kalian sudah siapin apa buat lomba kali ini? Ada usulan apa buat desain madingnya?" Ujar Karin dengan tegas pada Alex dan Bella. Namun kedua anak tersebut hanya terdiam membisu tak dapat menjawab ucapan Karin.     

"Udah ya, nggak ada yang celotehan lagi di sini. Nah, siang ini aku mau jelasin kenapa kalian semua kumpul di sini. Seperti apa yang sudah kita bahas dan kalian tahu lewat grup chat, kita di sini akan mengikuti lomba mading, dan mading yang dibuat boleh dua dimensi sampai tiga dimensi. Nah, tujuan meeting ini kita akan bahas mau mading seperti apa yang akan kita bawa, dan konsepnya bagaimana, serta konsepnya yang diangkat adalah futuristik dengan tema global warming serta dampaknya. Jadi, ada yang bisa kasih ide?"     

"Siang anak-anak." Sapa seorang pria yang parasnya masih terlihat sangat muda, sekitar di umur 20 tahun-an dengan mengenakan pakaian batik merah sebagai seragam guru hari itu baru saja memasuki ruangan meeting kami, Yap beliau adalah guru bahasa Indonesia kami yang bernama Pak Lukas dan memang beliau merupaka guru paling muda di antara guru-guru yang lainnya.     

"Siang pak." Jawab kami serempak.     

"Jadi gimana Rin? Sudah dapat idenya?" Tanya pak Lukas pada Karin yang masih berdiri di tengah-tengah ruangan.     

"Iya ini lagi bahas pak."     

"Oke, kalau gitu saya akan mendengarkan apa saja ide-ide dari kalian untuk lomba ini. Silahkan berdiskusi." Ucap pak Lukas sambil mengambil kursi dan duduk di sebelah kiri ruangan dekat pintu masuk.     

"Andra, kamu ada ide nggak?" Tanya Karin.     

"Uhmmm.. kan ini temanya futuristik, tentang global warming, bagaimana kalau kita buat madingnya tiga dimensi aja. Lalu desainnya kaya banyak gedung-gedung tingkat gitu sama pabrik-pabrik sebagai efek dari global warming itu sendiri."     

"Uhmm.. itu bagus sih idenya Dyandra. Kalau yang lain ada masukan?" Tanya Karin sekali lagi.     

Beberapa anak saling memberikan idenya masing-masing, ada yang menambahkan dari ide yang sebelumnya, ada juga yang memang memberikan ide baru untuk lomba ini. Hingga akhirnya ada salah satu anak yang memberikan idenya dengan cara mengembangkan ide-ide yang ada.     

"Ehem! Rin, aku mau kasih ide. Gimana kalau mading ini kita buat desainnya tiga dimensi, nah konsepnya itu pake kuburan, lalu dalam kuburan itu sendiri baru deh ceritain tentang pemanasan global. Gimana?" Ujar salah satu anak laki-laki yang memiliki badan yang kurus tinggi dengan gaya tubuh yang sedikit gemulai spontan mengungkapkan pendapatnya sambil berdiri di tengah-tengah meeting. Anak itu bernama Alvaro salah satu teman sekelas Karin.     

"Hah? Kamu nggak salah Al? Kok pake kuburan segala sih? Kan konsepnya futuristik?" Celetuk Cassandra, cewek yang bergaya modis di sekolah dengan rambut yang selalu di curly.     

"Iya. Jadi gini maksudku, di sini aku mau menceritakan gambaran model madingnya nanti, kan konsepnya futuristik yang berarti mengarah atau menuju ke masa depan, nah masa depan itu sendiri adalah kuburan itu, dan dalam kuburan itu ada yang mengakibatkannya yaitu pemanasan global dari banyaknya bangunan tinggi yang di bangun, pabrik-pabrik semakin banyak dan banyaknya pohon-pohon yang ditebang membuat banyak makhluk hidup di bumi baik itu manusia dan hewan atau tumbuhan mati. Gimana?"     

"Wahhh.. boleh-boleh tuh Al, pasti keren banget tuh. Apalagi kan di kalangan kita ini kematian adalah akhir dari pemanasan global belakangan ini." Imbuh Andhika, seorang anak dengan tubuh yang kekar namun sering kali di ejek teman-temannya pengecut. Yahh.. karena memang Andhika merupakan anak laki-laki yang penakut terhadap segala hal. Seperti serangga, ketinggian dan juga makhluk halus. Hal tersebut juga ia sering menjadi bahan bullian dari teman-temannya di kelas, namun meskipun begitu Andhika merupakan anak yang baik dan taat akan agamanya. Meskipun ia bukan dari     

"Oke, yang lainnya gimana?" Tanya Karin sebagai kesimpulan terakhir, namun tak ada yang berani memberikan masukan lain lagi. hingga akhirnya Karin yang sebagai leader lomba ini memilih untuk melakukan voting konsep mading yang akan di buat dan hasil terbanyak dari voting yang dilakukan, banyak yang memilih konsep yang dibawa oleh Alvaro, hingga akhirnya kami semua memutuskan mulai hari ini membuat gambaran konsep ide Alvaro dalam dua dimensi terlebih dahulu.     

"Eh, San, lu yakin nggak sih kita ikutan lomba ginian bisa menang? Apalagi lomba ini kan se-Jawa Timur? Pasti banyak sekolah lain dengan ide yang lebih bagus." Ucap Bella saat keluar ruangan meeting.     

"Yaa.. aku nggak tahu ya Bel.. lagian konsepnya si Al itu masuk akal tapi kok agak mistis gitu sih? Masa iya bawa-bawa kuburan untuk konsep masa depannya? Kenapa nggak yang lain aja gituu.. Tapi yaaa.. aku ngikut aja deh. Lumayan ikut ginian nggak ikut kelas seharian. Hehehehehe.."     

"Hehehehe.. Iya sih. Aku juga mau ikut ginian biar nggak ikut kelas alias tugas lomba ini bisa di manfaatin buat alasan kalau lagi males kelas. Hahahaha.."     

"Dasar lu Bel, meskipun kelas aja lu males, apalagi kalau ada kaya ginian. Hahahaha bisa-bisa lu malah pindah tempat tidur lagi. Hahahahaha.."     

"Nahhh.. itu. Tadi aku juga sempat mikir buat bawa bantal kesayanganku dan aku taruh di sekolahan buat aku tidur waktu bikin mading nanti ko. Hahahahaha.."     

"Gila lu Bel. Hahahaha.."     

"Terus kita ikut cuman kebagian tugas beli-beli peralatan dan bahan aja nih??" Ujar Bella sambil terus berjalan di sanding Cassandra menuju koperasi sekolah.     

"Ya nggak lahhh.. Kita juga kebagian beli konsumsi anak-anak kok."     

"Hah? Beli dari mana uang konsumsinya?"     

"Nih! Anak-anak tadi nitipin beli makan sama minuman. Ini aku bawa catatannya." Ujar Cassandra sambil menunjukkan uang dan catatan tersebut kepada Bella.     

"Owww... kalau mereka kasih uang sih ya nggak masalah.. Aku kira tadi kita yang suruh nombokin. Hahahaha.."     

"Ya udah yuk beli ke koperasi aja dulu ya Bel.. Nanti kita baru ke kantin." Ujar Cassandra sambil jalan lebih cepat.     

"Eehh.. tungguin Saann.." Teriak Bella sambil mengejar Cassandra yang berada di depannya.     

"Uhm.. Rin, aku balik kelas dulu ya.. Soalnya bentar lagi kelas Mat. Nanti abis kelas atu nggak pas istirahat aku ke sini buat bantuin ngedesainnya deh.." Ucapku pada Karin yang sedang mempersiapkan materi mading.     

"Oke deh. Kamu kelas aja dulu. Zo! Kenzo! Kamu nggak kelas dulu ta?"     

"Iya Rin. Aku ikut kelas dulu ya. Soalnya ada presentasi Bio." Jawab Kenzo si anak paling alim namun banyak imajinasi di otanya.     

"Oke deh. Nanti kalian kalau ada waktu luang di jam pelajaran bantuin ya."     

"Okeee.." Jawabku bersamaan dengan Kenzo sambil meninggalkan ruangan mading.     

Hari itu aku nggak kepikiran apapun tentang lomba mading ini, apalagi desain yang akan di buat untuk lomba akan seperti apa. Belum lagi konsep desainnya yang agak nyeleneh buatku mikirinnya aja jadi malas ikut campur di dalamnya. Akhirnya aku memutuskan untuk lebih fokus ke pelajaran sekolahku terlebih dahulu selama hari itu, dan hanya membantu mendesain saat jam istirahat ataupun sepulang sekolah. Beda banget sama anak-anak kelas IPS yang makin senang kalau bolos kelas dengan alasan lomba mading yang jelas-jelas lomba ini nggak dapat sponsor dari kepala sekolahnya sendiri. Aku berjalan ke arah ruang kelasku yang ada di tengah-tengah lorong sekolah dan melihat teman-temanku yang sudah mengikuti pelajaran. Suasana kelas saat itu terlihat sangat sunyi, dan hampir tak ada yang berani untuk mengobrol satu sama lain. Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kelas dan masuk ke dalamnya.     

[Tok-tok-tok]     

"Permisi bu.." Ucapku sambil sedikit menundukkan badan sebelum masuk ke dalam kelas.     

"Kamu dari mana mbak?" Tanya bu Lani yang saat itu sedang menerangkan materi di depan kelas.     

"Saya dari dekor buat lomba mading bu."     

"Lomba mading?! Sejak kapan sekolah kita ada lomba mading? Sudah duduk sana dan buka materi yang sedang saya tulis di papan." Ucapnya dengan tegas dan langsung membalikkan badannya kembali ke arah papan tulis.     

Bu Lani memang terkenal guru matematika yang sangat tegas dan disiplin. Namun beliau sangat menghargai setiap muridnya dalam mengerjakan soal dengan caranya masing-masing jika memang jawabannya benar. Biasanya beliau sangat tidak suka ada interupsi dari siswanya selama ia mengajar atau sedang menerangkan di depan kelas, tetapi hari ini aku beruntung. Beliau tak memarahiku atau aku mendapatkan hukuman untuk mengerjakan soal yang beliau buat di depan kelas. Aku yang mendengar ucapan beliau dengan tenang namun cepat langsung berjalan ke arah bangkuku dan segera untuk mengikuti materi yang beliau bawakan hari itu sebelum kesabaran beliau habis. Yaahhh.. maklum beliau merupakan salah satu guru yang belum menikah di usianya yang sudah tak lagi muda, sehingga tak jarang beliau ikut mengatur setiap perilaku muridnya, baik itu cewek maupun cowok. Dan sering kali anak-anak yang lain memanggilnya dengan sebutan "Mak Lampir". Terdengar sangat jahat sih.. Namun kebanyakan anak yang pernah mendapatkan ceramahannya dan ocehan beliau tak menyukainya, karena beliau terkadang menjadi seorang yang sangat cerwet akan segala sesuatu, dan juga sering kali beliau menjadi seseorang yang terlihat sangat galak di mata anak-anak sekolahku. Oleh karena itu beberapa anak di sekolahku menyebut Beliau "Mak Lampir".     

Tak butuh waktu yang lama selama Bu Lani mengajar, hanya satu jam pelajaran saja beliau gunakan untuk menjelaskan materi yang ada di buku, sisanya beliau gunakan untuk melakukan kuis tanya jawab ataupun mengerjakan soal-soal yang sudah di siapkan. Namun hari ini beliau tak memberikan itu semua, namun memilih untuk siswanya belajar mandiri mengerjakan soal yang ada di buku paket ataupun berdiskusi tentang materi yang belum paham. Di sela-sela kami sedang belajar mandiri, bu Lani bangkit dari tempat duduknya dan menghampiriku yang sedang berdiskusi tentang materi hari ini saat bersama Sharon dan Caleb.     

"Dyandra, bisa ibu tanya sesuatu?" Ucapnya yang tak terdengar keras tapi hampir semua anak di sekitar bangkuku mendengar suara beliau.     

"Ya?" Jawabku singkat sambil menatap wajahnya.     

"Itu lomba yang kamu bilang tadi apakah lomba yang di adakan se-Jawa Timur?"     

"Iya bu."     

"Itu bukannya lomba yang nggak di acc sama Pak Bambang ya?"     

"Ya??"     

"Kamu itu saya ajak ngomong kok ya ya ya ya aja dari tadi?! Ngapain juga kamu ikut kegiatan kaya gitu? Nggak penting!. Harusnya kamu pentingin studimu! Lihat tuh nilai-nilaimu apa sudah bagus semua sampai-sampai kamu ikutan kaya begitu?! Bikin saya kesal aja deh lama-lama. Di ajak ngobrol enak-enak kok ha-he-ho. Udah sana belajar lagi." Tukas Bu Lina yang langsung kembali ke tempat duduknya sambil bergumam sendiri sepanjang beliau jalan.     

Dari kejadian itu seluruh anak di kelasku mendengarnya dan ucapan bu Lina membuatku malu dan membuatku menjadi terdiam selama pelajaran bahkan hampir satu hari ini aku teridam setelah mendengar ucapan bu Lina. Terdengar beberapa anak juga membicarakan apa yang telah bu Lina lakukan kepadaku, dan mereka berkata jika ucapan bu Lina sebagai guru sangat tak pantas di dengar. Aku hanya diam dan tak menanggapi apapun hingga pulang sekolah tiba.     

"Ndra!" Teriak kak Andrew yang hendak menghampiri Karin yang masih membuat mading di ruang kosong.     

"Eh, kak Andrew. Mau nemui Karin?" Ucapku dengan wajah lesu dan tak bersemangat.     

"He'em. Kamu mau sana kan?"     

"Iya kak."     

"Kenapa? Kok dari tadi cemberut? Ada masalah?"     

"Nggak kok. Hehehehe.. Ah, itu Karin. Aku duluan ya kak.." Ucapku sambil berjalan mendahului kak Andrew yang berada di belakangku.     

Aku terus berjalan menuju ruangan kosong dan mengabaikan beberapa anak yang sedang membuat kerangka mading di lorong kelas. Melihat bahan artikel yang akan di tempel belum selesai dikerjakan, tanpa banyak bicara aku langsung mengerjakan bagian artikel tersebut dan menghiasnya sesuai desain yang telah di buat. Beberapa anak di sana memperhatikan sikapku yang tiba-tiba menjadi diam tak bersuara saat bekerja, beberapa anak lainnya tak peduli denganku dan asik mengerjakan tugasnya masing-masing.     

"Itu kenapa Andra kok gitu?" Bisik kak Andrew pada Karin.     

"Entah. Aku juga nggak tahu, baru ketemu dia juga ini. Tadi pagi masih baik-baik aja kok tuh anak."     

"Nggak ada masalah kan di sini sama dia?"     

"Hah? Nggak kok. Orang dia cuman kerja pagi tadi pas istirahat aja sama barusan ini. Tapi tadi pas istirahat ke-tiga dia nggak ke sini sih buat bantuin. Udah biarin. nanti juga baik-baik sendiri tuh anak." Ujar Karin yang masih sibuk membuat kerangka badan mading.     

"Uhmm.. yang ikut cuman segini aja beb?" Tanya kak Andrew sambil melihat ke sekelilingnya.     

"Nggak, sebagian sudah pulang. Sebagian lagi masih keluar, nggak tahu mau ngambil apa gitu. Mungkin bentar lagi juga balik."     

"Ohhh... Aku bantuin motong ini ya?" Ujar kak Andrew sambil mengambil sebongkah papan sterofoam dan alat potongnya.     

Tak berapa lama Alvaro, Alex, Zacky, dan Andhika tiba dengan membawa sebuah benda yang di tutup dengan kertas koran sekelilingnya.     

"Ro! Apa itu?" Teriak Karin yang kebetulan melihat Alvaro dengan yang lainnya membawa benda tersebut dari kejauhan.     

"Udah nanti aja di atas pasti tahu." Teriaknya sambil menggotong benda tersebut sambil menaiki tangga tengah gedung sekolah.     

Sesampainya di lantai dua, Alvaro dengan sigap langsung membuka bungkus benda yang ia tutupi dengan kertas koran tersebut. Terlihat beberapa kerangka yang terbuat dari batang bambu yang di bentuk setengah lingkaran. Aku yang berada di depan Alvaro saat membuka benda tersebut semoat terkejut dengan wujud benda tersebut.     

("Hah? keranda? Nggak salah kan itu kalau dibilang keranda meskipun lebih kecil?") Gumamku dalam hati.     

"Heh!! Apa ini Ro?!" Tanya Karin dengan tegas pada Alvaro yang sedang membereskan sobekan kertas koran yang berceceran di lantai.     

"Ini keranda Rin. Hehehehe.. kerenkaaann.. Kan pas gitu lhoo.. Ada mistik-mistiknya dikit. kalau kaya gini kan dikiranya kotak biasa, orang luar nggak tahu kalau ini pemakaman." Ucapnya dengan bangga.     

"Jangan aneh-aneh lahhh!! Pake bawa keranda-keranda segala! Buang sana!!" Teriak karin yang membuat semua anak berpaling melihat kearahnya.     

"Yaahhh.. tapi sayang lho Riiinnn kalau ini di buang." Ujar Varo dengan wajah memelas.     

"Nggak! Nggak! Pokoknya buang ya buang! Dapat dari mana sih kalian kaya beginian? Nggak mungkin juga kalian buat kan??"     

"Uhmmm... ituu.. kami nemu Rin di pinggir jalan, di bawah pohon dekat rumahnya Zacky." Ucap Andhika yang berdiri di belakang Karin.     

"Hah?! Waahhh.. kalian ini yaa.. sudah buang sana atau mau aku acurin nggak?! Jangan aneh-aneh titik!"     

"Heh Ro, Karin marah tuhh.." Senggol Alex.     

"Udah lex. Kamu diam aja deh! Dari tadi tuh kamu banyak bacot!"     

Varo yang baru saja di marahin oleh Karin pun langsung meninggalkan ruangan dengan wajah yang bete, seakan ia tak menyukai jika pendapatnya di tolak mentah-mentah oleh Karin. Dan memang akupun yang melihatnya sangat terkejut Alvaro membawa sebuah keranda bambu yang di gotong bersama'an. Melihat keranda itu terlihat sangat kotor penuh dengan lumpur meskipun bambunya masih terlihat bagus. Beberapa anak di sana pun langsung bergosip sendiri membahas masalah keranda yang di bawa oleh Alvaro, ada juga yang menyalahkan Alvaro tentang konsep yang kami kerjakan. Sedangkan Karin setelah berbicara itu dengan sangat keras pada anak-anak yang membawa keranda kembali merangkai artikel yang telah di siapkan.     

"Eh, terus ini kerandanya mau di gimana'in? Beneran mau di buang?" Ucap Zacky pada Andhika dan Alex.     

"Udah di taruh di ujung ruangan aja. Emang kalau mau di buang kamu sanggup angkatnya sendirian? Gitu-gitu berat banget tahu! Kita yang gotong empat orang aja susah payah kok." Jawab Andhika.     

"Iya. Kok aneh ya? Padahal kan hanya keranda yang di buat dari bambu? Tapi kok kerasa berat kaya ada isinya gitu. Pas dibuka juga kosong. Aneh." Timpal Alex.     

"Iya. Aneh nggak sih? Uhmmm... udah ah, jangan bahas ginian lagi. Sudah maghrib juga. Jadi merinding nih aku. Yuk kita geser aja di pojokan." Ucap Zacky sambil mengajak kedua temannya menggeser keranda tersebut.     

Beberapa menit kemudian terdengar alunan suara tanda maghrib telah tiba, Zacky, Bella dan Andhika yang muslimpun langsung ijin untuk menunaikan ibadahnya sore itu dan di ruangan ini tersisa hanya Aku, Karin, kak Andrew, dan Alex. Sedangkan Alvaro belum kembali juga sedari tadi.     

"Eh, lampu yang ujung aku nyala'in ya? Biar lebih terang kelasnya." Ucapku sambil berjalan menuju saklar lampu yang berada di sebelah pintu.     

[Ceklek. Ceklek]     

"Kenapa Ndra?" Tanya kak Andrew.     

"Ini lampunya rusak?. Kok nggak bisa nyala dari tadi." Ucapku dengan perasaan heran.     

"Hah? Masa? Kemarin masih bisa nyala lho! Sini aku coba." Ucap Karin tiba-tiba sambil berlari kearahku untuk mencoba saklar lampu bagian ujung kelas.     

[Ceklek. Ceklek. Ceklek. Ceklek.]     

"Lho? Kok Aneh ya? Kemarin lho aku di sini sama pak Lukas sampe sore juga. Semua lampu di kelas ini nyala lho! Nggak ada yang rusak. Kok sekarang nggak bisa ya? Masa iya lampunya putus sih? Aneh banget? Sudahlah pintunya di buka aja semua biar ada cahaya dari luar." Ucap Karin sambil membuka dua daun pintu di sebelahnya.     

Saat itu baik aku sama kak Andrew tak merasakan hal apapun selama kami mendekor mading yang sudah sudah jadi 50%. Aku juga nggak berpikiran hal buruk masalah lampu ini akibat dari keranda yang di bawa oleh Alvaro tadi siang. Masing-masing kami juga masih terus bekerja mendekor mading agar cepat selesai hari ini dan kami nggak samapi pulang larut malam. Namun, ketika kami sedang menghias artikel yang akan di pasang, tiba-tiba aku mencium bau bunga yang sangat harum di sekitar kelas. Aku beberapa kali mengusap hidungku untuk memastikan apakah indra penciumanku yang salah atau memang ada bau bunga. Aku nggak berani berbicara apapun tentang masalah bau bunga itu. Aku hanya terdiam dan tetap fokus untuk menghias artikel mading. Tak lama kemudian, Karin dan kak Andrew ijin keluar untuk membelikan kami makanan di dekat sekolah untuk makan malam dan aku masih belum berani untuk membahas masalah bau bunga yang abru saja aku cium. Hingga akhirnya Alex yang duduk di bagian belakang dekat kerandapun mencium bau bunga itu.     

"Eh, kok ada bau wangi-wangi ya? Bel! Kamu pake parfum ta?" Teriak Alex pada Bella yang sedang asik dengan memotong sterofoam.     

"Hah? Apa lex?"     

"Kamu pake parfum ta?"     

"Iya lah. Masa ya nggak pake. Lak ya bau kecut aku nanti seharian kalau aku nggak pake parfum." Ucap Bella dengan ketus.     

"Bukaaaannn.. Maksudku kamu barusan nyemprotin parfum ta?"     

"Hah?? Ya nggak lahh.. Ngapain juga pake parfum. Parfumku itu mahal Lex, pake sekali semprot aja harumnya sudah tahan lama seharian. Ngapain pake parfum berulang-ulang. Boros banget. Kelihatan murahan tuh parfum." Jawab Bella dengan nada sarkasme.     

"Haaaahh.. aku tanya baik-baik malah di jawab kayak gini. Yo wes lah.. Kalau kamu Ndra? Kamu pake parfum bunga-bunga ta?"     

"Nggak lah Lexxx.. mana suka aku bau parfum kaya begituan. Kamu juga tahu sendiri dari dulu aku tuh selalu pake parfum baunya vanilla atau nggak buah-buah gitu.. Tapii aku tadi juga nyium bau bunga juga sih lex.."     

"Tuh kan! Berarti aku nggak salah nih hidungku!"     

"Kenapa lex?"     

"Aku lho dari tadi nyium bau bunga-bunga gitu... Kaya melati atau apaaa... gitu.. Ya nggak sih Ndra?"     

"He'e. Aku tadi juga cium bau kaya gitu."     

"Addduuuhh udah deh kalian berdua ini jangan ngomongin yang nggak enggak deh! Udah di sekolah sepi, maghrib-maghrib juga. Eh, tapi.. kok aku juga baru nyium bau wangi sekilas ya dari luar?"     

"Tuh kan Belll... Aku bilang apa!! Eh, tapi Alvaro itu pulang ta? Kok nggak balik balik ya?" Ujar Alex yang juga penasaran dengan Alvaro.     

"Nggak kok. Tuh tasnya masih di sana." Tunjukku pada tas selempang biru dongker milik Alvaro yang tergeletak di dekat pintu.     

"Hmmm.. Kemana ya tuh anak. Aku coba cari aja deh. Masa iya ngambek sampe berjam-jam nggak balik." Ucap Alex yang langsung mencari Alvaro dan meninggalkan Aku dan Bella berdua di dalam ruang mading.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.