The Eyes are Opened

Merinding (Part 02)



Merinding (Part 02)

2Ternyata memang benar apa yang aku lihat di dalam mimpi semalam, Oma Mentik yang menghampiriku untuk berpamitan denganku dan menuntunnya kepada anak-anaknya yang masih banyak belum berkeluarga. Terasa sangat berat saat melihat kak Putri dan mas Putra saat menangisi tubuh Oma Mentik yang sudah terbujur kaku di dalam peti mati yang sudah berhiaskan bunga lili, bunga kesukaan Oma Mentik. Aku tak kuasa terus terusan untuk melihatnya, bisa-bisa aku juga ikutan menangis karena terbawa suasana. Aku memutuskan untuk cepat-cepat mengajak mama pulang sebelum hari semakin siang.     

Benar saja, saat aku keluar rumah duka Oma Mentik, langit langsung menyapa kami dengan awan yang mulai menjadi kelabu, suara gemuruh pun sudah tedengar bersaut-sautan. Akupun langsung menarik tangan mama yang tak ada henti-hentinya berbicara dengan tetangga lain yang juga datang melayat.     

"Ayoooo maaa... Mau hujan ini lhooo..." Ucapku dengan nada kesal.     

"Iya, iya. Kenapa sih buru-buru banget kamu Ndra." Ucap mama dengan santai sambil mengenakan sandalnya dan juga masih menebar senyuman ke orang-orang yang melewatinya.     

" Ya nggak apa... Ini sudah mau hujan gini lho ma... Kita juga nggak bawa payung kann?? Toh ya nanti malam ke sini lagi buat doa penghiburan." Ucapku sambil terus melangkah mendahului mama.     

Setibanya di rumah, aku langsung naik ke kamarku dan beristirahat sejenak, sedangkan mama langsung bersih-bersih badan di kamar mandi sambil memanggil namaku dengan kencang.     

"Andra!!! Andra!! Ayo cuci muka, cuci tangan dan kaki dulu!! Jangan langsung tiduran! Ganti bajumu dengan yang baru!" Teriak mama dari dalam kamar mandi.     

Rasanya sudah kebiasaan mama setiap kali pulang dari melayat ataupun dari penguburan selalu membersihkan diri sebelum melakukan aktivitas lainnya terutama masuk ke dalam kamar. Akupun dengan rasa malas langsung keluar kamar dan menuju ke kamar mandi dan membersihkan badanku, lalu segera turun menghampiri papa yang sedang duduk terdiam sambil membaca koran.     

"Pa, kenapa sih kok kalau kita abis dari ngelayat atau dari penguburan itu selalu harus bersih-bersih badan?" Tanyaku dengan rasa ingin tahu.     

"Ya memang harus gitu Ndra... Kita kan nggak tahu apa yang kita bawa saay sedang ngelayat atau di penguburan, bisa aja ada 'mereka-mereka' yang tertarik sama kita dan ngikut ke kita. Atau kata orang tua jaman dulu itu biar nggak sial sepanjang hari kita setelah datang melayat atau kepenguburan yahhh... bisa di bilang buang sial lah Ndra." Jelas mama yang tiba-tiba datang dan langsung duduk di sebelah papa.     

"Ohh... gitu ya... Andra baru tahu alasannya kenapa. Kan biasanya Andra nggak tahu alasannya kenapa harus bebersih badan sehabis ngelayat ataupun dari penguburan seseorang. Ow ya ma, nanti malam Andra nggak ikut ke doa penghiburan ya. Mama sama papa aja yang datang. Andra malas, pengen di rumah aja. Toh lagian Andra tadi sudah datang." Ucapku.     

"Ya udah kalau gitu nanti malam kamu jaga rumah yang bener lho ya! Pintunya di tutup semua, jendela-jendelanya juga. Jangan enak-enakan di dalam kamar sampai lupa sama pintu dan jendelanya kalau malam nanti." Tukas papa mengingatkan.     

"Ya kalau pintu kalian aja lahhh yang tutupin sebelum berangkat. Yaa..."     

"Heemmm... Kamu ini kebiasaan deh! Ya sudah kalau gitu. Tapi tetep itu telinganya di dengarin kalau ada suara orang ketok pintu." Ucap mama dengan sedikit kesal.     

"Iya-iya maa... nanti malam jendela Andra nggak di tutup deh biar kedengaran kalau ada orang datang. Kalian juga jangan pulang malam-malam banget. Kalau nggak Andra sudah tidur duluan gimana? Atau mama papa bawa kunci rumahnya aja deh. Jadi Andra di kunci dari dalam gitu..."     

"Nggak-nggak. Mama nggak mau kalau kaya gitu. Tetep kamu yang kunciin pintunya! Biar kamu ada tanggung jawabnya." Ujar mama dengan tegas dan aku hanya menghela nafas panjang mendengarnya.     

Setelah berbicara dengan mama papa, akhirnya siang itu aku habiskan untuk bersantai bersama di ruang keluarga sambil menonton film yang papa sewa beberapa hari lalu sampai nggak terasa hari sudah mulai sore. Hujan yang sangat deraspun perlahan mereda, hanya rintik-rintik kecil yang masih terus membasahi tempat tinggalku. Mama sudah sibuk di dapur sedari tadi, mempersiapkan makan malam yang akan kami santap sebelum mama dan papa pergi ke doa penghiburan Oma Mentik. Langit semakin gelap diluar, lampu-lampu jalan di komplek juga mulai menyala satu demi satu, suara adzan maghrib terdengar di kumandangkan menandakan hari sudah mulai malam. Akupun langsung beranjak dari ssofa ruang keluarga dan langsung berlari menuju ke kamarku, menyalakan lampu dan tak lupa menutup jendela kamar yang terbuka dari siang tadi. Udara dingin setelah huja menyelimuti kamarku meskipun sedari tadi aku tak menyalakan pendingin ruangan sama sekali. Aku mengambil beberapa helai baju ku dan aku langsung mandi sebelum aku di tinggal sendirian di rumah.     

"Ndraaa!! Kalau sudah mandi ayo makan dulu!" Teriak mama dari dapur.     

"Iya ma!" Jawabku dari dalam kamar setelah selesai mandi.     

"Kenapa kamu? Kok tumben pakai baju lengan panjang, celana panjang juga?" Tanya mama yang memperhatikanku setelah aku turun dari tangga.     

"Nggak apa kok. Cuman hawanya lagi dingin aja, makanya Andra pake baju kaya gini." Ucapku sembari duduk di bangku meja makan.     

"Ya tumben aja. Biasanya meskipun cuacanya lagi dingin kamu masih pakai baju singlet atau daster Bali. Lah ini pakai hoodie, pakai celana training." Ujar mama yang terlihat penasaran padaku.     

"Iya sudah lah maa... Kalau anaknya kedinginan masa iya tetep pakau baju kaya gitu? Atau Andra bawa selimut juga ke sini?"     

"Kenapa sih kok ribut-ribut?" Ucap papa yang baru saja selesai mandi dan langsung menghampiri kami di meja makan.     

"Ini lho paa... masa Andra nggak boleh pakai baju kaya gini? Padahal hawanya lagi dingin lho pa..." Ucapku ke papa mencari pembela'an.     

"Ya udah to... Emang ada yang salah ya ma sama yang di pakai Andra sekarang? Yang penting kan anak kita masih pakai baju, iya kalau nggak pakai baju baru kamu ngomel." Tukas papa saat membelaku. Akupun hanya tersenyum gembira saat mendengarnya dan melihat mama yang hanya terdiam dan berusaha tak menghiraukannya.     

Akupun langsung menyantap makan malamku sembari televisi di ruang keluarga sedang menyiarkan pertandingan sepak bola kesukaan papa.     

"Ding-dong! Ding-Dong!"     

Terdengar bunyi bel rumah yang berdaring, akupun langsung berlari menghampiri sumber suara tersebut dan melihat siapa yang datang malam itu.     

"Permisi Ndra, mamamu ada? Apa sudah berangkat ke doa penghiburan Oma Mentik ya?" Ucap tante Rosa yang sedang berdiri di depan pintu rumah kami.     

"Oh belum kok te. Tunggu sebentar ya te." Ucapku sambil lalu dan memanggil mama yang masih di dalam kamar, saat sedang bersiap.     

"Ma, ada tante Rosa tuh." Ucapku sambil menunjuk ke arah pintu rumah.     

"Oha iya! Pa! Ayo kita berangkat sekarang!" Teriak mama yang tergesa-gesa dan langsung menyambar tasnya yang tergantung di balik pintu kamar. Dengan cepat mama dan papa langsung pergi dari rumah malam itu juga. Aku melihat ke belakang dan memperhatikan jarum jam yang saat itu sedang menunjuk ke arah pukul tujuh malam. Tak lupa menutup semua jendela rumah dan pintu sebelum aku naik ke kamar.     

"Aahhh... (Brugh!)"     

Aku melempar tubuhku ke tempat tidur. Suasana di rumah terasa sangat sunyi, hanya terdengar suara detik jam dinding, dan suara orang menggaungkan doa di masjid. Aku langsung mengambil ponselku yang tergeletak di atas meja belajar, membukanya membuatku semakin tak bersemangat. Tak ada satu notifikasi sama sekali yang muncul. Hanya pesan dari kartu sellular yang masuk beberapa kali untuk menawarkan promo paket. Yap. Sejak hubunganku dengan Dito nggak ada kejelasan hingga hari ini, aku merasa sedikit kesepian, namun aku berpikir berulang kali jika ingin menjalin hubungan yang toxic itu. Iya... aku memang masih ada perasaan sayang padanya, tapiii... jika di kata, aku ini sudah babak belur, namun buta cinta padanya. Aku hanya menghela nafas panjang dan langsung membaringkan tubuhku kembali.     

Hujan yang tadinya masih rintik-rintik, kini perlahan mulai lebih deras, butiran-butiran air hujan yang turun pun semakin besar dan mulai membasahi pinggiran jendela kamarku. Aku langsung bangkit dari tidurku dan dengan cepat menutup pintu jendela kamarku sebelum kamarku menjadi basah semua.     

"Haaaaahh... ngapain ya enaknya malam ini?? Agak bosan juga sih. Tapi kalau ikut doa penghiburan malah lebih bosan." Tukasku.     

Setelah berdiam diri beberapa menit, tiba-tiba aku mendengar suara nyanyian dan doa dari rumah Om Bagas terdengar olehku begitu sangat jelas, meskipun hanya sayup-sayup. Aku melihat dari balik jendela dan memperhatikan posisi rumah Om Bagas.     

"Aneh, kok suara pujian dan doanya kedengaran sampe sini ya? Kan mereka nggak pakai toa atau alat pengeras lainnya?" Gumamku.     

Seketika sauasana menjadi sangat hening dan sunyi. Jalanan di depan rumah yang tadinya masih ada yang lewat pun seketika nggak ada orang sama sekali. Lampu-lampu jalanan juga menjadi sedikit temaram, angin berhembus sangat kencang, mambuat daun-daun pohon di sekitar berguguran. Aku langsung menutup gorden jendelaku dan berjalan menuju ke lemari buku novel. Aku malam itu memutuskan untuk membaca buku novel yang masih belum selesai aku baca.     

[Tik! Tok! Tik! Tok! Tik! Tok! Tik! Tok]     

Dentuman mesin jarum jam yang terus bergerak terdengar semakin jelas di telingaku. Perasaanku malam itu mulai merasa ngggak nyaman. Aku beberapa kali memperhatikan ke arah jam dinding yang saat itu sudah menunjukkkan pukul ddelapan malam. Semakin lama semakin larut, di luar rumah juga semakin sunyi. Hujan perlahan mulai reda kembali. Bau tanah basah menyeruak masuk ke dalam kamarku melalui ventilasi kamar. Hawa di kamar juga semakin dingin. Aku beranjak dari tempat tidurku untuk mengecilkan suhu pendingin ruangan lalu kembali melanjutkan membaca novelku. Di saat sedang asik membaca novel, tiba-tiba di pekarangan rumah aku mendengar seperti ada sesuatu yang terjatuh. Akupun langsung bangun dan memeriksanya dari jendela kamar.     

"Hah? Itu tadi suara apa ya? Kok kaya ada yang jatuh? Bukan pot bunganya papa mama kan? Mana gelap lagi dari sini." Gumamku saat berusaha untuk melihat ke bawah.     

Awalnya aku nggak terlalu memperdulikan hal tersebut dan kembali membaca novelku. Namun selang beberapa menit terdengar suara aneh lagi.     

[Srak! Srak! Srak!]     

"Siapa juga yang malam-malam gini, apalagi lagi huja nyapu halaman." Gumamku sambil terus membaca novel.     

Hari semakin malam, jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan. Aku keluar kamar dan melihat ke arah pintu rumah memastikan papa dan mama sudah datang. Namun saat itu mama dana papa belum juga pulang ke rumah. Akhirnya aku kembali ke kamar. Di saat aku sedang naik tangga ke kamar, tiba-tiba suara barang jatuh kembali aku dengar dari dapur. Aku dengan cepat langsung menghampiri sumber suara tersebut.     

"Apa itu tadi yang jatuh?" Gumamku sambil mencari barang yang terjatuh. Melihat ada sendok sayur yang tergeletak di lantai aku langsung mengambilnya dan menaruhnya kembali di dekat panci semur yang tadi sore mama masak.     

"Kok bisa sih sendok sayurnya jatuh. Padahal di rumah nggak ada tikus lho!" Gumamku.     

Aku langsung membalikkan badanku setelah mengembalikn sendok sayur dan berjalan kembali ke kamar. Saat aku baru saja melangkahkan kakiku ke anak tangga, tiba-tiba dari ruang tamu sekelebat aku melihat ada bayangan orang yang baru saja lewat. Langkah kakiku sejenak langsung berhenti dan kepalaku menoleh ke arah ruang tamu yang dapat terlihat dari tangga.     

"Hah? Itu tadi siapa? Apa mama sudah pulang ya? Tapi kok nggak ada suaranya?" Gumamku sambil memperhatikan ruang tamu yang kosong dan hanya lampu teras yang menerangi sebagian ruangan malam itu. Aku mencoba melihat ke ruang tamu, memberanikan diri untuk memastikan apkah di sana ada orang atau tidak. Saat aku menyalakan lampu rang tamu dan ruang keluarga aku tak melihat siapapun. Perasaanku semakin tak karuan, bulu kuduku seketika berdiri dari ujung kepala samapi ujung kaki. Aku melihat ke kanan dan ke kiri tak melihat siapapun disana. Aku langsung menyalakan semua lampu di rumah yang tadinya masih mati. Perasaanku semakin tak enak, seakan ada 'seuatu' yang datang ke rumahku. Aku langsung berlari dan masuk ke dalam kamar dengan meninggalkan lampu di seluruh ruangan menyala dengan sangat terang.     

Suasana di ruang tamu tadi terasa sangat mencekam, hingga aku tak berani untuk keluar kamar. Malam itu aku langsung menelepon papa untuk memastikan mereka pulang jam berapa. Dan kebetulan papa langsung mengangkat teleponku.     

"Hallo?"     

["Iya Ndra?"] Jawab papa.     

"Papa pulang jam berapa?"     

["Ya masih lama. Ini aja masih firman kok."]     

"Terus abis gitu langsung pulang?"     

["Ya enggak lah. Kenapa sih? Tadi di ajak nggak mau, sekarang orang belum pulang nyuruh cepat-cepat pulang."] Tukas papa heran.     

"Ya abissnya di rumah tadi ada yang aneh. Ada suara-suara aneh gitu. Andra kira mama sama papa sudah pulang, ternyata bukan e..."     

["Halah, mungkin itu tikus. Sudah dulu ya. Papa mau masuk ke dalam lagi."] Jawab papa hendak mengakhiri panggilan teleponku.     

"Bukan tikus pa! Ya sudah. Kalau sudah selesai cepetan pulang pokoknya ya!" Jawabku.     

Aku langsung berbaring kembali ke tempat tidur sambil sesekali membuka ponselku, berharap ada seseorang yang menghubungiku malam itu agar aku tak meerasa kesepian. Namun, sudah hampir sepuluh menit, hasilnya nihil. Suara-suara aneh di dalam maupun di luar sesekali terdengar di sambut dengan erangan kucing liar yang selalu berkeliaran di sekitar komplek rumahku. Iya. kucing-kucing itu mengerang dengan sangat kencang hanya di depan rumahku. Entah apa yang mereka lihat hingga kucing-kucing itu tak menyukainya. Hawa di rumahku juga semakin terasa mencekam, hingga aku tak bisa berhenti untuk terus berdoa meminta perlindungan dari-Nya agar aku tak mengalami hal-hal yang tak di inginkan.     

Terdengar satu-dua kucing terus mengerang di depan rumahku, aku memberanikan diri untuk melihatnya dari jendela kamar. Yang aku lihat hanya dua ekor kucing hitam dan kucing belang tiga yang mengerang menghadap ke pohon dekat rumah. Sedangkan pohon dekat rumah tampak lebih gelap dari biasanya. Batang pohonnya pun tak nampak meskipun terdapat lampu taman dan lampu jalan yang menerangi pohon tersebut. Setelah aku melihat dua kucing tersebut, aku langsung kembali ke tempat tidurku dan bersembunyi di balik selimut. Namun bukannya berhenti, suara kucing-kucing tersebut semakin kencang dan semakin bertambah. Terdengar olehku dari dalam kamar, seperti ada lebih dari dua kucing yang ikut menggeram di luar sana. Hingga beberapa menit kemudian seketika suasana menjadi sangat sunyi. Nggak ada suara erangan kucing di luar sama sekali. Suara rintik hujan juga kian lama reda dan langit di tengah malam, malam itu juga mulai terang dan menampakkan bulan sambit yang bersinar dengan terang.     

Terdengar suara langkah kaki di luar, aku langsung melihat apakah itu mama dan papa yang sudah pulang. Dan benar saja, dari kejauhan mama dan papa terlihat berjalan bersama dengan beberapa warga yang ikut datang di doa penghiburan Oma Mentik akhirnya pulang. Di saat aku melirik ke bawah, aku melihat ke anehan di sana. Kucing-kucing yang mengerang dengan kecang tadi itu seketika duduk bersimpuh di depan rumah, ada yang di pagar, dan ada yang di halaman rumah. Seakan mereka telah menjaga dan melindungi rumahku dari hal buruk yang hendak masuk ke dalam rumahku.     

"Lho kok banyak kucing di sini pa?" Ujar mama saat hendak membuka pintu pagar.     

"Iya. Hush! Hush! ayo kalian pergi dari sini!" Teriak papa yang mencoba mengusir kucing-kucing itu.     

"Ndraaa!!" Teriak mama yang baru saja membuak pintu rumah.     

"Mana ini anak?! Kok semua lampu di dalam rumah di nyalakan semua sih!" Ujar mama dengan nada kesal.     

"Ya mungkin Andra sudah tidur kali ma... Sudah lah... Lagian ini juga sudah jam sebelas malam." Ucap papa sembari masuk ke dalam kamar setelah bebersih badan dan mengganti pakaian baru yang sudah di siapkan di dalam kamar mandi.     

"Ya tapi pa masa semua lampu di nyalakan kaya gini sih!" Ucap mama yang masih terus mengomel.     

"Ini lagi! Masa iya sendok sayur di biarin di lantai gini? Mana tutup pancinya kebuka hampir separuh lagi?!"     

"Sudah lah ma... Besok aja kalau Andra sudah bangun di tanyain baik-baik." Ucap papa dengan santai.     

Akhirnya malam itu aku bisa tidur dengan tenang meskipun esok hari aku pasti bakalan kena omelan mama yang nggak kalah panjangnya seperti kereta api. Namun malam ini sudah membuatku ketakutan setelah sekian lama aku nggak pulang, rasanya memang terasa asing rumahku saat ini. Sesekali aku merasa ada yang seperti sedang mengawasiku dari kejauhan, namun aku juga nggak tahu dan nggak bisa melihat siapa itu. Tetapi setelah mama dan papa ada di rumah kembali, perasaanku yang tadinya campur aduk, merinding hingga bulu kuduku berdiri semua, kini sudah lenyap dan aku malam ini bisa tidur dengan nyenyak.     

[Chirp-Chirp-Chirp!]     

Terdengar suara burung di depan jendela, menandakan hari sudah berganti hari lagi dan matahari juga sudah mulai mengintip di sela-sela gorden kamar yang tak sabar ingin masuk dan menyapa ke dalam kamarku. Akupun lekas bangun dari tidurku daan tak lupa untuk doa pagi setiap aku bangun tidur. selesai doa aku langsung beranjak dari tempat tidurku dan turun menuju ke lantai satu dimana terlihat mama yang sudah selesai masak untuk sarapan, sedangkan papa sedang bersantai sambil membaca koran pagi dan menikmati kopi hitam yang masih hangat.     

"Pagi ma... pagi pa..." sapa ku saat menuruni anak tangga.     

"Iya pagi Ndra..." Jawab mereka berdua.     

"Ndra, kemarin malam kenapa semua lampu di dalam rumah kamu nyalakan sih?! Sampai-sampai dapur, dan lampu belakang juga?" Tanya mama saat langsung melihatku turun.     

"Ya abisnya kemarin Andra ngerasa takut sih. Masa Andra dengar ada yang jatuh di dapurlah, padahal nggak ada apa-apa. Jejak tikuspun nggak ada. Sama Andra lihat di ruang tamu, di situ (sambil menunjuk ke arah jendela pintu utama dan lampu sudut) Andra lihat ada sekelebat bayangan lewat. Waktu Andra nyalain lampunya nggak ada." Jawabku terus terang.     

"Lha kamu tahu yang jatuh itu apa yang di dapur?" Tanya mama memastikan.     

"Iya tahu. Sendok sayur. Pas itu Andra lihat ada sendok sayurnya semur tergeletak di lantai."     

"Terus kamu ambil nggak?" Ucap mama memastikan dengan nada ketusnya.     

"Iya Andra ambil kok."     

"Kamu ambil apanya?! Orang mama pas pulang semalem itu masih di bawah kok, belum lagi tutupnya hampir kebuka setengah." Tukas mama dengan nada sedikit kesal.     

"Hah?! Nggak mungkin lah! Orang Andra benar-benar sudah ambil kok. Lagian waktu itu tutup semurnya itu nggak kebuka sama sekali. Masih tertutup rapat, hanya sendok sayurnya aja yang jatuh." Ucapku membenarkan. Namun pagi itu mama masih nggak percaya dengan ucapanku seakan-akan aku sedang berbohong.     

"Mama itu tahu kamu Ndra... Kamu kalau lagi malas-malasan, dan sudah di dalam kamar. Kalau ada apa-apa di luar kamar kamu jarang banget mau perhatian sedikitpun. Apalagi hal kaya gini mana pernah kamu mau perhatikan! Sudah lah bilang kalau memang kamu nggak ambilin ya sudah kok. Mama ngerti!" Sungut mama sambil terus mencuci piring kotor.     

"Andra itu nggak bohong ma! Beneran deh! Andra itu semalem sudah ambilih tuh sendok sayur, Andra telungkupin di sini lho! (Sambil tunjuk di sisi kuping panci). Ngapain juga sih Andra bohong hal kaya gini juga! Ini masih pagi lho ma!"     

"Iya kalau masih pagi juga kenapa? Mama ini lagi negur kamu! Bukannya di dengarin malah bantah terus!" Ucap mama yang semakin lama meninggikan nada suaranya.     

"Ada apa sih kok dari tadi papa dengerin malah jadi ribut! Sudah-sudah! Kalau Andra ngakunya sudah di kembalikan lagi ya sudah! Ngapain sih di bahas mulu! Sudah ayo kita sarapan." Ujar papa yang langsung duduk di meja makan sambil menasehati mama.     

Selesai sarapan pagi, tiba-tiba ponselku berbunyi dan aku langsung melihat siapa yang mengirimiku pesan. Ternyata bagian promotor di kampus memberi pengumuman jika minggu depan ada tour ke Jogja satu angkatan dan di haruskan membayar Rp. 1.500.000,- untuk biaya akomodasi di sana dan biaya pendaftaran sebesar Rp. 25.000,-.     

"Waduuhh... ada acara kaya ginian lagi. Papa apa ya bolehin aku ikutan coba? Duuuhh... bikin dag dig dug." Gumamku saat membaca pengumuman tersebut.     

"Kenapa Ndra?" Tanya papa yang tiab-tiba muncul dari belakangku saat aku sedang duduk di bangku ruang keluarga.     

"Ah, nggak apa kok pa. Ow ya pa, minggu depan kampus Andra ada acara tour ke Jogja selama tiga hari dua malam." Ucapku sambil terus menatap mata papa yang sedang bermain dengan ponselnya.     

"Teruuss??" Ucap papa singkat.     

"Ya nggak terus-terus pa... Andra mau minta uang buat bayar tournya."     

"Berapa?"     

"Satu juta lima ratur dua puluh lima ribu." Jawabku dengan sedikit rasa takut.     

"Lah kok ada dua puluh lima ribunya di belakang?"     

"Iya itu biaya pendaftarannya juga."     

"Hmmm... kalau nggak usah ikut nggak apa kan?" Tanya papa dengan santai.     

"Lah kenapa Andra nggak boleh ikut?" Tanyaku penasaran.     

"Ya ngapain ikut juga kamu? Udah nggak usah ikut aja." Jawab papa dengan santai dan tetap tanpa memberi kejelasan padaku membuatku seemakin penasaran.     

"Iya kenapa pa??? Andra nggak boleh ikut itu pasti ada alasannya gitu lho. Papa lagi nggak ada uang atau kenapa? Toh ya Andra sudah gede. Masa Andra ikut acara kampus pun masih nggak boleh? Lagi pula ini acara ini juga termasuk tugas dari dosen pariwisata Andra pa! Nanti sepulang tour di suruh buat laporan perjalanan. Kalau nggak ikut nilai Andra dong yang keancam?!"     

"Ya kalau nggak ikut bilang aja sama dosennya minta tugas khusus buat kamu. Gampang kan??"     

Mendengar ucapan papa tersebut aku merasa semakin kesal. Entah kenapa sejak kecil sampai sekarang aku nggak pernah di bolehin buat pergi sendiri meskipun itu bersama teman-teman. Aku juga nggak tahu alasannya apa. Akhirnya setelah papa nggak merespon sama sekali aku langsung kembali ke kamar dan nggak turun kamar sama sekali sampai sore hari. Namun di sisi lain aku nggak tahu menahu jika kepergianku ikut tour ke Jogja malah mengalami musibah yang nggak akan aku sangka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.