The Eyes are Opened

Petaka Tour ke Jogja ( Part 06)



Petaka Tour ke Jogja ( Part 06)

320 Oktober 2012. Hari kedua tour di Jogja.     

Setelah kenyang sarapan dengan nasi gudeg khas Jogja serta menikmati jajanan pasar yang sangat enak, aku bersama rombongan yang lainnya akhirnya meninggalkan rumah makan Bu Sriharti. Waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 09.50 WIB. Bus kami perlahan meninggalkan rumah makan tersebut dan aku juga sempat membeli jajanan pasarnya untuk aku makan di perjalanan hari ini. Perut kenyang, hati senang. Terpancar di wajah semua orang yang ada di dalam bus ini. Pak Asep yang melihat hal yang serupa denganku pun langsung menyalakan lagu-lagu pop masa kini agar kami semua lebih menikmati acara hari ini dengan hati yang gembira. Semua anak di dalam buspun langsung ikut bernyanyi bahkan langsung berdiri di lorong bus, saat mendengar introlude dari lagu korea yang saat ini sedang naik daun. Yakni lagu yang di bawakan oleh PSY dengan judul Gangnam Style. Semua anak langsung heboh, berteriak seakan sedang berada di acara konser. Ada yang merekam video anak-anak yang menari, ada yang memasang lighting dari senter kamera, dan yang lainnya bersorak sorai bak penggemar berat mereka.     

Aku yang melihatnya dari depan pun hanyaikut tersenyum bahagia dan ikut merekam kekonyolan anak-anak di dalam bus saat itu. Satu lagu demi lagu yang benar-benar sedang populer saat ini di putar oleh Pak Asep di TV Karaoke bus. Hingga tak terasa selama satu jam perjalanan, kami akhirnya tiba di pemberhentian selanjutnya. Kami tiba di pelataran yang sangat luas dengan bangunan candi-candi yang besar berdiri kokoh di belakang kami. Yap. Kami pagi itu tiba di Candi Borobudur. Candi yang terbesar yang ada di Indonesia dan masuk ke dalam 7 keajaiban dunia yang terkenal hingga ke manca negara. Kami di sambut dengan seorang tour guide di sana, yang bernama Mas Krisna.     

"Selamat pagi teman-teman sekalian!" Salam Mas Krisna saat pertama kali menyapa kami.     

"Pagi!" Jawab kami serentak.     

"Baik. Sekarang kalian sudah tahu kan dimana ini? Apa ada yang belum tahu tempat ini? Nggak ada. Ada yang sudah pernah kesini? Oh, cukup banyak juga ya... Nah, kalau gitu bagi yang belum pernah ke sini, inilah wujud dari sebuah bangunan peninggalan sejarah kuno yang masih ada hingga saat ini. Bangunan ini diperkirakan dibangun sekitar tahun 800 masehi. Jadi sudah sangat tua sekali ya teman-teman. Nah, untuk lebih jelas dan detailnya mari ikut saya masuk ke dalam Candi Borobudur ini." Terang Mas Krisna sembari membawa rombongan kami masuk ke dalam Candi Borobudur.     

"Ndra, Ndra." Panggil Cherryl.     

"Hem??" Jawabku.     

"Mas-masnya cakep juga ya Ndra. Hehehehe..."     

"Iya Cher. Emang cakep. Tapi rasanya nggak cocok deh sama kamu." Ucapku sambil tersenyum.     

"Hah? Ya kan cuman ngomong aja Ndra... Nggak benera suka kalii..."     

"Hahahaha.. Ya kamu sih bisa-bisanya ngelihatin tour guidenya kaya gitu banget. Udah yuk." Ucapku sambil menarik lengan Cherryl berjalan lebih cepat menerobos anak-anak yang lainnya.     

Sepanjang tour kami memperhatikan dengan detail setiap penjelasan-penjelasan yang di berikan. Akupun tak segan-segan untuk mengambil gambar beberapa relief dan ukiran-ukiran pada dinding Candi Borobudur yang saat itu di jelaskan dengan sangat detail. Meskipun ada beberapa tempat di Candi Borobudur tidak boleh di foto, aku berupaya untuk menggambar singkat agar nanti saat mengumpulkan makalah, aku bisa memberikan gambaran detail apa yang aku dapat di sana.     

Setelah satu jam kami berkeliling mendengarkan penjelasan dari Mas Krisna tentang sejarah candi Borobudur, kamipun di beri waktu bebas untuk menikmati pemandangan di atas Candi ini sambil foto bersama. Namun ketika kami sedang menikmati waktu bebas kami sampai sebelum jam 12 siang, tiba-tiba ada beberapa anak mendapat teguran dari penjaga Candi yang lain. Pak Andi dan Bu Ayu yang mengetahuinya lebih awal langsung menghampiri mahasiswa tersebut dan menanyakan apa yang terjadi saat itu. Setelah selesai, kedua dosen dan mahasiswa tersebut dikenakan sanksi dari pihan manajemen Candi untuk membayar uang tunai sesuai bentuk kerusakan yang mereka terima. Aku dan teman-teman yang tak tahu pokok masalahnya seperti apa, saat itu langsung di bawa Pak Budi untuk dengan cepat turun dari Candi dan segera masuk ke dalam bus.     

Terlihat dari kejauhan Pak Andi, Bu Ayu dan ke tiga mahasiswa tingkat atas tahun 2010 di bawa oleh petugas keamanan Candi menuju ke dalam kantor manajemen Candi Borobudur yang tak jauh dari tempat parkir bus kami.     

"Heh! Heh! Heh! Itu lho yang tadi bikin ulah." Teriak Alex dari dalam bus sambil menunjuk ke arah ketiga mahasiswa tersebut.     

"Apa'o se bener e itu vin?" Tanyaku pada Avin yang duduk tepat di belakangku.     

"Aku juga kurang tahu pastinya Ndra. Tadi pas aku ada lagi foto-foto sama Christo sama Hans, tiba-tiba tiga orang itu langsung di tegus sama petugas Candi e. Kita ya nggak ikut dengerin se. Apalagi pas itu langsung di suruh turun sama Pak Andi." Jelas Alvin.     

"Hei! Sudah-sudah! Kalian berempat duduk di tempatnya masing-masing!" Teriak Mike dari belakang kami.     

Mendengar hal tersebut, kami berempat langsung duduk pada tempat kami masing-masing. Bus kamipun langsung meninggalkan tempat parkir Candi Borobudur, hanya bus nomor satu yang masih tetap tinggal di sana sampai masalah yang mereka hadapi selesai. Namun ada beberapa anak dari bus satu terpaksa di pindahkan ke empat bus yang lain, termasuk bus yang aku naiki. Agar tidak ketinggalan jam tour selanjutnya.     

"Selamat siang anak-anak!" Ucap pak Budi.     

"Selamat siang pak!"     

"Baik, untuk sementara anak-anak yang dari bus satu bergabung dengan kita sementara sampai kita tiba pada di destinasi selanjutnya. Nah, untuk destinasi selanjutnya ini kita akan menuju ke Taman Sari, lalu kita di sana tidak terlalu lama, langsung di lanjut ke Museum Ullen Sentalu, setelah itu kita akhiri hari ini ke Pantai Parangtritis. Untuk di pantai Parangtritis, terdapat beberapa peraturan yang harus kalian perhatikan maupun kalian hindari. Yang pertama, bagi mahasiswa-mahasiswi di harapkan untuk tidak mengenakan baju yang berwarna hijau selama bermain di pantai. Lalu tidak berenang di laut selama kita di Parangtritis, karena Pantai Parangtritis memiliki palung yang dalam, sehingga membahayakan kalian saat berenang." Jelas pak Budi.     

"Pak! Kita nggak ke pantai-pantai lainnya?" Tanya Bagas.     

"Di daerah parangtritis itu ya ada pantai Parangkusumo, Pantai Sadranan. Jadi kalian bisa menikmati wisata alam di sana." Ujar Pak Budi.     

Kami menempuh perjalanan kurang lebih satu jam setengah menuju ke museum Ullen Sentalu. Hanya sebentar aku berada di sana dan mendengarkan penejelasan yang di berikan oleh petugas di sana. Kami pun lebih memilih untuk merekam apa yang di sampaikan dari pada menulis hal-hal penting, serta lebih banyak foto-foto hal-hal penting. Tak sampai satu jam beralalu, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju ke Taman Sari yang terkenal dengan tempat mandi para putri pada jaman dahulu. Di Taman sari kami hanya berkunjung, melihat-lihat tempat yang ada di sana dan sebagian anak lebih memilih untuk berfoto estetik di sana. Setelah puas berkeliling di Taman Sari, semua panitia yang bertugas langsung memberi info kepada kami untuk langsung kembali ke bus, sebelum bus berangkat ke Pantai Parangtritis dan juga sebelum hari mulai gelap. Bus satu yang sudah tiba pun langsung membawa semua mahasiswanya berjalan kembali, sedangkan tiga mahasiswa angkatan atas yang membuat ulah di Candi Borobudur mendapatkan sanksi dengan tidak lulus di mata kuliah Manajemen Pariwisata yang mereka ambil.     

"Waahhh... Gila ya kalau kaya mereka." Ucap Jo sambil menengok ke belakang.     

"Siapa maksudmu Jo? Kakak tingkat yang itu?" Tanya Cherryl.     

"Iya lah! Siapa lagi. Aku dengar mereka itu sudah sudah skripsi dan tinggal matkul itu saja. Bayangin deh kalau itu terjadi sama kalian. Apa nggak nangis-nangis tuh."     

"Iya juga sih... Makanya aku nggak berani aneh-aneh kalau kaya gini ini. Nilai jadi taruhannya!" Tukasku sambil bertopang dagu.     

"Iya bener lu Ndra. Inget Ndra, nanti jangan pakai baju ijo! Nanti lu di ambil anak Nyi Roro Kidul lo! Hahahahaha" Gurau Jo sambil tertawa terbahak-bahak. Akupun hanya tersenyum melihat apa Jo yang tak bisa berhenti tertawa di dalam bus. Samapi-sampai teman sebangkunya memukulnya karena Jo terlalu berisik.     

"Nah anak-anak, kita akhirnya sudah tiba di Pantai Parangtritis. Bisa kalian lihat di sebelah kanan kalian itu sudah merupakan pantai yang akan kita tuju. Ingat ya! Saat kalian bermain di pantai, jangan terlalu ke tengah! Dan juga jangan mencobai menggunakan baju hijau! Jika ada sesuatu yang terjadi pada kalian, kamilah yang nanti menanggungnya!" Tukas pak Budi dengan tegas sekali lagi mengingatkan kami.     

"Baik pak!" Jawab kami serentak.     

Setiap bus perlahan mulai berhenti, kami pun langsung bergegas membawa barang seperlunya saat kami mau bermain di pantai. Baju ganti, topi, kamera, tak luput dari tas ransel kami. Hanya buku-buku dan alat tulis kami tinggal di dalam bus. Semua anak langsung berlarian menuju ke pantai. Ada pula yang berjalan menyusuri pinggiran pantai untuk melihat souvenir-souvenir yang di jual di sana. Aku dan Cherryl memutuskan untuk menuju ke toilet terlebih dahulu, untuk mengganti pakaian yang akan kami pakai bermain di pantai.     

"Waaaa... Waaaa.... Waaa...." Terdengar teriakan anak-anak yang lain saat sedang asik bermain di bibir pantai.     

"Cheerrr... Sudah belum?" Tanyaku yang sudah selesai ganti baju.     

"Iya. Bentar Ndra." Jawabnya dari dalam.     

Ketika aku menunggu di depan ruang ganti, aku sekilas melihat ada beberapa anak yang keluar dari bus sambil berlarian. Ada salah satu anak yang tidak mendengarkan apa yang di sampaikan para dosen ketika di bus, yakni tidak mengenakan baju berwarna hijau selama di pantai Selatan. Aku hanya terdiam saat melihatnya, namun ketika anak tersebut sudah berlari jauh dan mendekati bibir pantai, sekilas aku melihat seperti ada bayangan hitam bagaikan asap tipis yang terbang melintas di atasnya. Aku sempat nggak percaya hal tersebut dan mengabaikannya. Tepat setelah itu, Cherryl berjalan menghampiriku.     

"Ndra. Yuk!" Ajak Cherryl yang sudah siap dengan kaos hitam polos, celana pendek dan sandal jepitnya.     

"Ndra, itu anak-anak di sana nggak apa tuh pakai baju warna hijau? Bukannya tadi pak Budi sudah kasih tahu ya?"     

"Nggak tahu Cher, udah biarin. Toh yang penting kita nggak pakai baju ijo aja." Ucapku sambil berjalan di sepanjang bibir pantai.     

Deru ombak menyapu setiap kaki kami saat berjalan di tepian pantai. Pasir pantai yang berwarna hitam, dan masih hangat di sambut dengan air laut yang dingin, membuat kaki ku terasa sejuk dan tak ingin lepas dari sana. Kami menyusuri pantai dan berjalan hingga tak terasa sudah cukup jauh. Pasir pantaipun mulai berbeda dengan yang sebelumnya. Kini pasirnya lebih terang dan lebih lembut. Aku berjalan naik ke tengah-tengah pantai sambil duduk di atas sandal kami, dan menikmati matahari yang mulai tenggelam saat itu.     

"Ndra, bagus banget ya pemandangannya di sini." Ucap Cherryl.     

"Iya. Makanya aku ajak duduk di sini dulu. Hehehehe... Anginnya juga sejuk, enak banget." Jawabku sambil terus memandang ke arah laut yang seakan tak memiliki batas di ujung sana.     

"Ndra, yuk balik yuk. Lihat tuh langitnya tiba-tiba jadi mendung." ucap Cherryl sambil menunjuk ke arah langit yang mulai di tutupi dengan gumpalan-gumpalan awan hitam yang tebal.     

Akupun langsung beranjak dari tempat dudukku dan berjalan sedikit cepat menuju ke tempat kami datang. Anak-anak yang lain terlihat sangat senang bermain air laut di pinggir pantai. Sesekali terdengar teriakan yang riuh saat ombak datang menghempas dengan sangat kencang dan besar. Namun ketika aku melihat ke arah anak-anak itu, angin yang berhembus semakin kencang, lebih dingin, serta suasana pantai seketika terlihat lebih gelap dari pada sebelumnya. Perasaanku semakin tak nyaman dan tak berani lebih dekat dengan bibir pantai. Beberapa petugas pantaipun datang memperingatkan anak-anak yang masih asik bermain di pantai untuk segera menepi ke tengah, di karenakan ombaknya yang semakin tinggi dan besar terus menerus datang. Hal tersebut bisa membahayakan mereka saat bermain air. Tetapi masih ada aja anak yang nggak mau mendengarkan perintah tersebut sampai akhirnya anak yang memakai baju hijau itu hampir saja terbawa ombak ke tengah laut. Beberapa anak perempuan yang ikut bermain langsung berteriak minta tolong, petugas pantai langsung dengan cepat berlari menghampiri mereka dan berhasil menangkap anak tersebut ke pinggir pantai.     

Bulu kuduku seketika berdiri saat hal itu terjadi. Semua orang terlihat panik saat melihat temannya terkapar di pinggir pantai dan masih belum sadar.     

"Yang lain tolong untuk menjauh dulu dari sini!" Teriak sang petugas.     

"One, Two Three! Pump! Hump! Hump! Hump! Hump!"     

Petugas pantai terlihat sedang memompa dada anak yang hampir terbawa ombak, namun belum ada reaksi yang terlihat pada anak tersebut. Aku yang penasaranpun memberanikan diri untuk melihat siapa anak yang hampir tenggelam tersebut.     

"Lho Ndra, itu kan Reina sama teman-temannya, Sheila, Samuel, Adit, Noel dan Ika?" Ucap Cherryl.     

"Iya Cher. Aku ya nggak nyangka kalau Reina yang hampir tenggelam itu tadi. Waktu aku baru selesai ganti baju juga nggak ngeh kalau itu dia." Ucapku sambil terus melihat ke arah Reina yang masih belum siuman.     

("Kok aneh ya wajahnya Reina nggak kaya biasanya. Lebih pucat, tapi sekilas kaya orang lain.") Gumamku dalam hati.     

Aku semakin merasa nggak nyaman dekat di kerumunan ini saat itu, kepalaku terasa pusing dan berat. Aku mendorong beberapa orangyang berada di belakangku agar akubisa keluar dari sana. Cherryl yang melihatku keluarpun hanya melirikku dan aku memberi tahunya jika aku tunggu dia di dekat pintu masuk. jantungku berdebar dengan kencang, nafasku terasa berat. Aku langsung mengambil sebotol air mineral dari dalam tasku, dan meneguknya sampai habis. Aku mulai lebih tenang dari pada tadi, namun kepalaku masih terasa berat. Aku duduk di pinggir pantai sendirian sampai beberapa menit kemudian ada seorang pria tua yang mengenakan pakaian adat, dengan kain batik coklat yang melilit pinggangnya, atasan hitam dan tak lupa topi blangko serta keris yang tersemat di punggungnya menghampiriku.     

"Punten dek, itu ada apa ya?" Tanya sang bapak kepadaku.     

"Oh itu tadi ada anak yang hampir terseret obak pak." Jawabku singkat. Mendengar hal tersebut sang bapak langsung berjalan meninggalkanku dan mendekati kerumunan tersebut. Terlihat dari kejuahan bapak itu mengeluarkan kerisnya, di taruh di dadanya dan lalu mengangkat keris itu tinggi-tinggi. Semakin bingung aku melihatnya, aku hanya terdiam di sana dan tak berkutik apapun. Tetapi yang membuatku heran, tak ada satu orang pun yang peduli dengan keberadaan si bapak. Selang 5 menit kemudian, terdengar suara sorak sorai dari teman-teman Reina yang terdengar bahagia. Aku langsung berdiri dan melihat dari kejauhan Reina sudah siuman dan sudah dapat berdiri. Ada perasaan lega saat melihatnya berhasil hidup kembali. Reina dan teman-temannya langsung di bawa ke pantai atas untuk mengeringkan badan dan ganti baju agar tidak sakit. Semua orang langsung berbondong-bondong kembali ke tempatnya masing-masing.     

Saat aku sedang mencari bapak yang menghampiriku tadi, aku melihat bapak tersebut masih ada di dekat bibir pantai dimana Reina terbaring. Beliau terlihat seperti masih melakukan sebuah ritual di sana, sampai-sampai beliau bersimpuh menghadap ke laut Selatan. Di saat yang bersamaan, ombak dan tinggi besar menghantam bibir pantai, namun tidak mengenaik bapak tersebut yang masih bersimpuh di sana. Seketika itu pula angin di pantai lebih tenang, begitu pula dengan ombaknya yang langsung reda. Langit yang tadinya kelabu, kini perlahan menghilang menyisakan bulan yang sudah terlihat di atas langit. Cherryl yang mengikuti perkembangan Reina pun langsung berlari ke arahku sambil tersengal-sengal.     

"Gimana tadi Cher? Kok bisa tadi akhirnya siuman?" Tanyaku.     

"Ya aku tadi cuman lihat petugas penjaga pantainya beberapa kali melakukan CPR se. Terus akhir e Reina muntah air laut, dan yah, bisa kamu lihat sendiri." Ucapnya sambil menunjuk ke arah Reina yang akhirnya di bawa ke bus untuk istirahat.     

Saat Reina di bawa ke bus dengan di papah kedua temannya ke dalam bus, anak-anak yang lain serta panitia yang tak ikut bermain di pantai langsung terlihat panik dan menghampiri Reina. Namun hal itu langsung di cegah oleh pak Andi yang bertanggung jawab di busnya dan tak membiarkan satu anakpun masuk ke dalam bus selain Reina dan teman-temannya.     

Setelah semua orang pergi meninggalkan pantai, dan pantai mulai sepi, beberapa ibu-ibu yang menggunakan pakaian adat seperti bapak tadi yang aku temuipun berbondong-bondong masuk ke dalam pantai Parangtritis. Terlihat di setiap tangan mereka membawa sebuah besek yang berisi bunga dan beberapa makanan. Dengan tenang dan khidmat semua orang berjalan, berbaris menuju pura yang tak jauh dari pantai lalu mereka berdoa di sana.     

"Yuk Ndra, kita kembali ke bus aja. Tapi kita ganti baju dulu ya." Ajak Cherryl.     

"Ya." Jawabku sambil mengikutinya di belakang.     

Saat sedang mengantri untuk bisa ganti baju, bapak tersebut menghampiriku lagi namun beliau tak mengatakan sepatah apapun. Melihat kondisi demikian, aku langsung memberanikan diri untuk bertanya lebih dulu.     

"Permisi pak. Kalau boleh tahu, tadi kenapa ya teman saya? Lalu kenapa bapak melakukan ritual di sana?" Tanyaku dengan sangat hati-hati.     

"Oh, kamu anak yang tadi. Iya. Tadi ada Nyai datang dan ingin menjemput temanmu itu. Dia anak dari Bali ya?" Tanya sang bapak yang membuatku semakin terkejut.     

Benar-benar kejadian yang nggak bisa aku sangka dan nggak bisa masuk di akal saat itu. Namun aku nggak bisa berkata apapun ketika seorang yang berpakaian adat kerajaan berkata seperti itu.     

"Maksudnya pak? Bagaimana ya?" Tanyaku memastikan.     

Bapak itu hanya tersenyum dan mengulanginya dengan lembut.     

"Iya. Tadi temanmu anak Bali itu kan menggunakan baju warna hijau kan? Itu sebenarnya yang di dalam tubuh anak itu bukan rohnya. Melainkan roh penjaganya sehingga tanpa sadar ia mengenakan baju yang di larang di tempat ini. Dan bertepatan hari ini adalah hari dimana Nyai Ratu naik ke pantai Selatan untuk menerima seserahan dari kami para abdi dalem kraton yang bertugas di pantai Selatan. Saat Nyai Ratu naik, dan melihat anak Bali itu, Beliau sangat amat tertarik dengannya dan hendak di bawanya ke kerajaannya. Makanya kejadian temanmu itu hampir terseret oleh ombak, meskipun berhasil di selamatkan oleh petugas pantai, rohnya sudah di bawa oleh sang Nyai Ratu." Terang bapak itu kepadaku.     

"Ohhh.. jadi yang bapak lakukan di pantai dengan keris dan sampai bersujud di sana itu kenapa pak?"     

"Hmmm... kamu sampai memperhatikan saya sampai situ ya? Hahahahaha... Ya. Saat itu saya meminta mohon kepada Nyai Ratu untuk mengembalikan roh dari sang anak Bali itu. Awalnya Nyai Ratu tak merestui saya dan bersikukuh untuk membawa anak itu. Namun dengan seserahan yang saya bawa, akhirnya Nyai melepaskan anak itu kembali ke dalam tubuhnya. Namun anak bali itu tidak akan bisa lagi kembali ke sini. Jika ia tetap kembali ke sini, ia tidak bisa keluar dari Jogja."     

"Ow ya, kalau anak Bali itu mengalami hal aneh lagi, berarti Nyai memang sangat menyukai dia. Apakah kamu ke sini ikut rombongan besar itu?"     

"Iya pak."     

"Hmmm... Saya rasa kamu dan rombonganmu akan susah keluar dari Jogja ini karena anak Bali itu. Saya harap kalian banyak berdoa kepada Gusti Allah, agar di beri perlindungan dan kelancaran pada segala aktivitas yang kalian lakukan di kota ini dan yang terpenting, kalian bisa pulang dengan selamat." Ucap beliau lalu langsung berjalan menuju ke pura terdekat di sana.     

"Ndra. Yuk cepetan ganti baju." Ucap Cherryl yang akhirnya keluar dari ruang ganti.     

"Ah, iya." Ucapku yang langsung masuk ke dalam ruang ganti setelah melihat Cherryl sudah selesai.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.