Dokter Jenius: Si Nona Perut Hitam

Jangan Nakal dan Biarkan Aku Membelaimu (1)



Jangan Nakal dan Biarkan Aku Membelaimu (1)

3Roda terus berputar seraya rombongan kereta menyeberang masuk ke Negeri Kondor. Bocah kecil yang tampan menyembulkan kepalanya keluar dari salah satu kereta untuk mengintip pemandangan yang mereka lewati di Negeri Kondor, sepasang matanya yang besar dipenuhi dengan keluguan seorang anak.     

"Ini Negeri Kondor? Memang seperti julukannya yang merupakan negeri terbesar kedua di seluruh penjuru dataran, dipenuhi dengan pemandangan pegunungan dan sungai-sungai besar yang begitu mengagumkan." Bocah kecil itu berseru dengan kepala diletakkan di jendela kereta, menatap pemandangan yang begitu indah melewati mereka, matanya membelalak lebar penuh kegembiraan.     

Di dalam kereta kuda, seorang tua yang berusia sekitar enam puluh menggelengkan kepalanya seraya tersenyum pasrah, dan mengembuskan napas panjang lalu berbicara.     

"Yang Mulia harus lebih berhati-hati karena kereta ini berguncang-guncang dan kau bisa celaka."     

Walaupun bocah kecil itu sangat penasaran, ia sangat patuh, dan ketika ia mendengar perkataan pria itu, ia kembali duduk tanpa melawan lagi.     

"Guru Besar, berapa lama lagi hingga kita tiba di Ibu Kota Kekaisaran Negeri Kondor?"     

Wajah Sang Guru Besar terbelah membentuk senyuman ramah dan ia berkata, "Setidaknya, tujuh hari lagi dan kita akan tiba di Ibu Kota Kekaisaran Negeri Kondor. Dalam tujuh hari ini, aku memohon dengan sangat agar Yang Mulia bersabar selama perjalanan."     

Bocah kecil itu mengangguk dengan taat. Ia mengenakan pakaian mewah, tetapi tidak sombong, di mana ia terlihat begitu sederhana dan anggun. Berusia sekitar delapan atau sembilan tahun, dengan wajah tampan, walaupun belum dewasa, ia terlihat akan menjadi pemuda yang gagah di masa depan. Di atas kepalanya, ada sebuah mahkota yang menjadi simbol kekuasaan Kaisar, walaupun matanya dipenuhi dengan keluguan seorang bocah.     

Kereta kuda itu berjalan sepanjang setengah hari dan ketika matahari berada di puncaknya, rombongan itu berhenti di tepi hutan yang terbentang.     

Rombongan itu memiliki jumlah orang cukup banyak, kereta kudanya sendiri, ada lima, dan baik di depan maupun di belakang kereta, ada ratusan pengawal yang dilengkapi dengan senjata ringan.     

Setelah kereta kuda berhenti, iring-iringan itu menyalakan api untuk beristirahat sejenak.     

Bocah kecil itu duduk di pinggir api, bulu kulit rubah menutupi punggungnya, tangan kecilnya dingin terlihat sedikit merah ketika menggenggam botol panas, kepalanya menoleh melihat kereta terakhir di buntut iring-iringan dan kegembiraan di matanya pun sirna. Ia kemudian memalingkan kepalanya penuh rasa khawatir untuk menatap kembali Guru Besar yang duduk di sebelahnya dan berkata, "Guru Besar …."     

Guru Besar menatap ke arah yang bocah itu memandang dan ia mendesah pasrah.     

"Yang Mulia tenang saja. Hambamu telah mengatur semuanya dan ketika kita tiba di Negeri Kondor, semua akan baik-baik saja."     

Bocah itu mengangguk dan ia mengunyah makanan kering yang ia pegang di tangannya dengan tenang.     

Tengah hari baru saja berlalu dan sinar matahari mengusir dinginnya angin di musim dingin. Sepasang mata elang si bocah yang berwarna hitam berputar, merasa semua yang ia lihat adalah sesuatu yang baru dan menarik.     

Tiba-tiba, sosok kecil berbulu melompat dari belakang rerumputan.     

Mata bocah kecil itu langsung menatap, pandangannya tak bergeming karena terpaku pada sosok berbulu itu, matanya tiba-tiba menyala gembira.     

"Kelinci kecil … kelinci kecil sini …." Anak itu tidak takut dengan binatang kecil yang menggemaskan dan ia mengulurkan kedua tangannya yang pendek, berjalan terhuyung-huyung ke arah bola bulu kecil itu.     

Guru Besar di sampingnya melirik, dan ketika ia melihat itu hanya seekor Kelinci kecil bertelinga besar, ia tidak memperhatikannya lagi.     

Kelinci bertelinga besar berdiri tegak, dan memiringkan kepalanya untuk melihat bocah kecil yang mengulurkan tangannya ke arahnya.     

Hati bocah kecil itu meleleh melihat pemandangan ini dan ia langsung berdiri, melangkahkan kakinya ke kereta kuda. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia mengeluarkan sebatang wortel dan berjalan kembali ke tempat itu.     

"Kelinci cilik, aku punya wortel~ lihat? Kau mau memakannya~?" Bocah kecil itu berjongkok di atas rumput, dengan sabar merayu Kelinci bertelinga besar untuk datang mendekat.     

Kelinci bertelinga besar mengendus dengan hidungnya dan melompat dua langkah ke depan, hingga membuat jarak satu meter sebelum ia akhirnya berhenti, matanya berwaspada ketika melihat bocah kecil itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.