I'LL Teach You Marianne

Perasaan terdalam



Perasaan terdalam

1Hotel Le Place d'Armes     

Leon yang sudah tiba di Luksemburg langsung pergi menuju salah satu hotel terbaik di Luksemburg bersama 6 orang pengawal pribadinya, tanpa kesulitan mereka pun langsung mendapatkan pelayanan dari pihak Le Place d'Armes hotel. Leon menempati salah satu kamar terbaik yang ada di hotel itu, meski dari luar terlihat biasa saja akan tetapi ketika sudah memasuki hotel 4 lantai itu semuanya pasti akan takjup. Interior bangunan bergaya eropa klasik yang mewah masih terjaga dengan baik, begitu pula dengan kamar milik Leon. Lantai kayunya yang berwarna coklat dengan dinding putih terlihat sangat sempurna, belum dengan ranjang besar yang menjadi primadona di kamar itu.     

"Selamat beristirahat Tuan Ganke, saya permisi,"ucap petugas hotel pada Leon saat berpamitan.     

Leon hanya mengangguk pelan tanpa bersuara, ia masih terpesona akan keindahan kamarnya. Kamar hotel tempatnya menginap saat ini mengingatkan kamar tempat Anne dulu di rias sebelum mengucapkan janji suci dengannya, kamar tidurnya yang sangat ia benci karena dijadikan kamar pengantin dengan Anne saat ini. Sampai esok harinya Leon merubah semua isi kamarnya, pasalnya ia merasa jijik pada kamarnya itu setelah digunakan Anne tidur pasca ia memaki-makinya sebelum akhirnya pergi menemui Stefi di apartemennya dan bercinta dengannya sampai pagi.     

"Andai saja aku bisa memutar waktu, aku pasti tak akan melakukan kebodohan seperti itu Marianne. Mungkin saja saat ini kita sudah bahagia bersama anak-anak kita." Leon bergumam lirih sambil menatap langit Luksemburg dari balkon kamarnya.     

Angin malam Luksemburg yang dingin membuat Leon semakin merindukan Anne, dalam otaknya hanya ada nama Anne saja saat ini.     

"Aku pasti akan mendapatkan hatimu lagi Marianne, kita bisa memulainya dari awal lagi. Membangun keluarga kecil kita kembali dari nol, aku harap kau masih bersedia melakukannya denganku...."     

Drrrtt     

Getaran dari ponsel pintar milik Leon yang berada diatas nakas membuat Leon tersadar dari lamunannya, perlahan ia masuk kembali ke dalam kamarnya dan memeriksa ponselnya untuk mencari tahu siapa yang menghubunginya.     

Kilat kemarahan langsung tergambar dalam mata hijau Leon saat membaca pesan dari Stefi yang mengabarkan kalau dirinya sedang dibandara untuk menyusulnya ke Luksemburg, dalam pesan itu Stefi marah besar dan mencurigai Leon sedang membuat janji dengan wanita lain bukan untuk urusan bisnis seperti yang dikatakan staf Ganke Inc Production saat siang tadi Stefi berkunjung ke kantor. Meski belum tahu dimana Leon menginap namun Stefi memutuskan untuk tetap datang ke Luksemburg.     

"Fuck..wanita sialan ini, dia akan mengacaukan rencanaku jika sampai berhasil menemukan keberadaanku,"umpat Leon lirih, tangannya menggenggam erat ponselnya melampiaskan kemarahan karena Stefi.     

Saat sedang mencari cara untuk menyingkirkan Stefi tiba-tiba Leon teringat akan tawaran Wayne beberapa saat yang lalu sebelum asistennya itu berangkat ke Berlin yang berjarak 762,2 Km dari Luksemburg. Tanpa pikir panjang Leon pun menghubungi seorang pria kenalan Wayne, Leon terlibat pembicaraan serius dengan pria itu selama hampir 30 menit.     

"Uang mukanya akan ku kirimkan sesaat lagi, sisanya akan kuserahkan padamu saat kau sudah berhasil mengurusnya,"ucap Leon pelan sambil tersenyum dengan seorang pria ujung telepon.     

"Baik Tuan, lalu wanita ini harus aku apakan?"     

Leon tersenyum sinis. "Terserah, kalian bisa menikmatinya bersama-sama."     

Suara tawa pun langsung terdengar di telinga Leon karena pria yang sedang ia hubungi sangat senang mendengar perkataan Leon. "Baiklah, aku akan dengan senang hati melakukan perintah anda Tuan."     

"Dan ada satu lagi yang aku ingin kalian lakukan untukku."     

"Apa itu Tuan?"     

"Saat kalian menidurinya jangan lupa ambil video dan berikan padaku,"jawab Leon datar tanpa ada rasa bersalah sedikitpun setelah meminta beberapa orang pria memperkosa istrinya.     

"Siap Tuan, itu mudah. Ya sudah saya akan bersiap, percayalah Tuan kami tak akan mengecewakan anda."     

Leon kembali menipiskan bibirnya. "Aku harap begitu." Setelah mengucapkan tiga patah kata yang bernada perintah yang tak bisa diganggu gugat Leon kemudian menutup panggilan teleponnya, di wajahnya terlihat kepuasan. Padahal perintahnya belum dilakukan oleh orang-orang yang dikenalkan Wayne padanya.     

Bunyi notifikasi yang masuk dalam ponselnya membuat Leon senang, para preman itu senang sekali karena ia mengirimkan uang yang jauh lebih besar dari bayangan mereka. Bagi Leon tak masalah berapa banyak jumlah uang yang ia keluarkan saat ini, asal bisa menyingkirkan Stefi rasanya tak masalah. Wanita tak tahu diri itu sangat sulit sekali lepas darinya, seperti permen karet yang melekat di sepatunya. Yang sudah kotor dan menjijikan.     

Karena suasana hatinya sedang baik Leon kemudian meraih jaket tebalnya dan langsung keluar dari kamarnya, tak lupa ia menghubungi anak buahnya untuk menemani. Tujuan Leon saat ini adalah sebuah bar terbesar di Luksemburg, ia ingin merayakan malam paling membahagiakannya itu dengan minum dan wanita cantik yang melayaninya minum. Karena Luksemburg menggunakan bahasa Jerman tak sulit untuk Leon berkomunikasi, dengan menggunakan mobil khusus yang disediakan pihak Le Place d'Armes hotel Leon bisa pergi kemana saja dengan nyaman.     

"Malam ini aku akan mentraktir kalian, tidurlah dengan sebanyak apapun wanita yang kalian mau. Aku akan membayarnya, malam ini aku sedang sangat senang hahahaha..."     

Ucapan Leon sontak membuat keenam anak buahnya kegirangan, sudah lama mereka tak merasakan pelukan tubuh wanita. Karena itulah mereka sangat bersemangat dan berkali-kali berterima kasih pada Leon.     

"Thanks God, akhirnya wanita sialan itu bisa menghilang dari hidupku,"Batin Leon dengan wajah yang berbinar, ia senang sekali melihat keenam anak buahnya girang saat diberikan kebebasan tidur dengan sebanyak apapun wanita yang mereka mau.     

Senyum Leon semakin merekah sata bayangan wajah Anne muncul dalam ingatannya. "Bersabarlah sayang, Marianneku terkasih. Setelah ini kita akan bahagia."     

*****     

Aaron yang sedang duduk di taman seorang diri dikagetkan dengan datangnya Rose yang mengulurkan secangkir kopi tanpa gula seperti yang diminta Aaron sebelumnya.     

"Thanks Rose,"ucapnya tulus.     

Rose tersenyum. "Jangan berterimakasih, ini pekerjaanku."     

Aaron terkekeh, ia kemudian menyesap kopi pahit kesukaannya dengan hati-hati karena masih panas.     

"Bukankah kau tak boleh minum kopi,"celetuk Rose pelan sambil terus menatap Aaron yang baru saja meletakkan cangkir kopinya diatas meja.     

"Aku sudah terbebas dari maag sejak dua tahun lalu setelah aku mengikuti anjuran dokter pribadiku Rose, lagipula aku juga tak terlalu sering minum kopi."     

"Begitukah?"     

Aaron mengangguk. "Yes, lalu bagaimana denganmu? Apa maag yang kau derita masih sering kambuh?"     

Wajah Rose memerah. "Sejak mengenalmu waktu makanku sangat teratur, belum lagi dengan vitamin-vitamin yang kau berikan. Jadi mana mungkin aku masih bisa merasakan sakit maag lagi." Rose menyebutkan kebaikan-kebaikan yang Aaron lakukan padanya selama hampir dua bulan mereka dekat.     

"Good, itu yang aku mau. Tak mungkin bukan kalau kita sama-sama punya sakit yang sama, rasanya akan sangat lucu jika suami istri punya sakit yang sama."     

"Su-suami istri?"     

Kedua mata Aaron berkilat. "Yes, kau sudah menerima lamaranku. Jadi statusmu saat ini bukan lagi hanya kekasihku saja Rose, kau adalah calon istriku. Selangkah lagi menjadi teman berbagi suka dukaku."     

Rose terdiam, ia kemudian meraih teh chamomilenya dari atas meja dan meminumnya perlahan. "Aku masih punya beberapa pertanyaan padamu Aaron, apa kau bersedia menjawabnya?"     

"Sure!" Tanpa pikir panjang Aaron langsung menyahut perkataan Rose.     

Rose menghela nafas panjang, ia masih sedikit takut jika membahas hal ini apalagi pasca ia mengetahui soal berita masuknya Marissa Henderson ke penjara satu hari yang lalu. Membahas wanita-wanita di masa lalu Aaron membuatnya sedikit takut.     

"Apa yang ingin kau tanyakan Rose?"     

Rose mengangkat wajahnya dan menatap Aaron dalam. "Marianne, apa kau masih mencintainya?"     

Meski suara Rose terdengar tenang dan datar namun kedua tangannya yang saling menaut dibawah meja menunjukkan betapa gelisahnya Rose saat ini menanyakan hal seperti itu padanya, dari semua nama wanita yang disebutkan Daniel sebelumnya hanya nama Marianne saja yang menarik perhatian Rose. Karena itulah ia memutuskan untuk bertanya padanya atau lebih tepatnya menghilangkan perasaan tak tenang dalam dirinya pasca mengetahui kalau Aaron dulu sangat tergila-gila pada Marianne.     

Bersambung     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.